
DALAM dunia modern Bandar Udara (Bandara) memiliki peran sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Sebab keberadaan bandara secara signifikan terbukti memperkokoh kehidupan politik, pengembangan ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan dan pertahanan di satu daerah. Di bidang pengembangan ekonomi, sosial dan budaya, angkutan udara jelas memberikan kontribusi besar antara pada bidang transportasi, pengembangan ekonomi daerah, pertumbuhan pariwisata dan ketenagakerjaan.
Salah satu penghalang yang membuat Gayo tidak bisa serius mengembangkan pariwisata, adalah tidak adanya bandara yang representatif yang dapat didarati oleh pesawat yang relatif besar. Bandara yang ada di Gayo baik Rembele di Bener Meriah maupun Blangkejeren Gayo Lues yang baru diresmikan tahun lalu baru bisa didarati oleh pesawat perintis.
Karena itulah rakyat Gayo banyak yang merasa bersyukur ketika pada tahun pemerintah pusat melalui Departemen Perhubungan mengucurkan dana APBN. Pada tahun 2014 Pemerintah mengucurkan dana sebesar 230 milyar rupiah dan ditambah sekitar 210 milyar rupiah. Dana ini digunakan untuk memperpanjang landasan pacu Bandara Rembele, sehingga salah satu bandara di Gayo ini akan bisa didarati oleh pesawat sekelas Wings Air.
Tentu saja ini merupakan angin segar bagi Gayo, sudah terbayang berapa banyak peluang ekonomi yang bisa terbuka di Gayo dengan keberadaan bandara yang lebih representatif seperti ini.
Tapi sayangnya, dari informasi terbaru yang didapat LintasGayo.co (LG.co) dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bandara Rembele Kabupaten Bener Meriah, Yan Budianto beberapa hari lalu. Proyek peningkatan Bandara Rembele yang akan membawa manfaat yang sangat besar pada masyarakat Gayo ini terancam gagal. Penyebabnya bukan karena pemerintah pusat menyetop dana APBN untuk Rembele. Tapi karena ada satu bagian tanah di dalam lokasi proyek yang tidak bisa dikerjakan karena masih dalam status sengketa.
“Jika tidak selesai pada 31 Desember 2015 ini, maka bisa dipastikan proyek ini akan gagal,” ujar Yan Budiyanto.
Hal itu katanya lagi, disebabkan karena pihaknya tak dapat bekerja maksimal, lantaran masih ada kendala dari segi pembebasan lahan. “Pembebasam lahan menjadi faktor utama kendala proyek ini,” katanya.
Sebenarnya, proses pembebasan lahan sudah ada titik terang. Namun, karena masih ada yang menggugat, pembayaran biaya ganti rugi dilimpahkan ke pengadilan. “Ada sengketa antara pemilik lahan, masalahnya bukan ada di kami. Karena memang, pembebasan lahan itu ditanggulangi oleh pemerintah daerah,” ungkapnya.
Sebagai putra daerah, Yan Budianto mengaku tidak mau berbenturan terlalu jauh dengan masyarakat. Dan dia mulai terlihat lelah, lantaran masalah tersebut tak kunjung usai.
“Di satu sisi, sebagai putra daerah saya beban moral, karenanya saya mencoba bertahan demi tanah kelahiran,” keluh Yan Budiyanto. Dia menyebut 2 hektar lokasi yang paling krusial. “Jika persoalan ini tak kelar, otomatis pembangunan tidak akan selesai, dan uang akan dikembalikan ke negara jika proyek ini gagal alias terbengkalai, jangan harap 10 tahun ke depan Bandara Rembele dapat beroperasi sesuai harapan,” ujar Yan Budiyanto.
Informasi yang dihimpun LintasGayo.co, soal ganti rugi tidak masalah, pemerintah Provinsi selaku yang membayar ganti rugi bisa langsung membayarnya dan sementara uang ganti rugi itu dipegang oleh pengadilan. Satu saat ketika pemenang dari sengketa itu telah diputuskan, uang itu bisa langsung diambil. Sayangnya opsi ini tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa.
“Apa boleh buat, mimpi Gayo untuk memiliki Bandara yang cukup layak masih tetap akan sebatas mimpi tanpa pernah tahu kapan mimpi itu dapat terealisasi,” tandas Yan Budiyanto. (red)