Sabela Gayo, S.H, M.H, Ph.D[1]
Berdasarkan data dari LKPP, ada sekitar 1.200.000 paket pekerjaan setiap tahunnya di Indonesia. Paket-paket pekerjaan tersebut tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi baik pusat maupun daerah. Dengan banyaknya paket pekerjaan yang ditawarkan oleh pemerintah setiap tahun anggaran maka memungkin untuk munculnya protes, sanggahan, rasa tidak puas, dan sengketa mengenai pengadaan barang/jasa baik antara sesama penyedia barang/jasa maupun antara penyedia barang/jasa dengan pemberi pekerjaan. Di dalam Pasal 57 mengenai tahapan pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya ada diatur mengenai tahapan sanggah kualifikasi, sanggahan terhadap penetapan pemenang dan sanggahan banding.
Kemudian, Pasal 59 (2) poin g Perpres No.54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur adanya mekanisme yang dapat ditempuh oleh penyedia barang/jasa apabila proses pengadaan barang/jasa dianggap tidak adil, tidak transparan, tidak akuntabel atau bahkan di duga ada potensi terjadi kecurangan, persekongkolan, persaingan tidak sehat dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Mekanisme yang dapat ditempuh yaitu dengan mengajukan sanggah kepada Kelompok Kerja (Pokja) Unit Layanan Pengadaan yang ada di lingkungan Kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing.
Sesuai dengan Pasal 17 (2) poi g (1) Perpres No.54/2010 maka Pokja memiliki hak untuk menjawab atau tidak menjawab sanggah tersebut. Kemudian, Pasal 60 (1) poin d menyebutkan bahwa masa sanggah terhadap hasil kualifikasi adalah 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hasil kualifikasi diumumkan. Kemudian di Pasal 60 (1) poin i disebutkan bahwa masa sanggah terhadap hasil lelang/seleksi adalah 5 (lima) hari kerja juga dan masa sanggah banding adalah 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima jawaban sanggahan. Sanggah banding diajukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi. Namun, jika sanggah banding tidak dikabulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi maka Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) diterbitkan paling lambat 2 (dua) kerja setelah adanya jawaban sanggahan banding dari Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi [Pasal 60 (1) poin k Perpres No.54/2010]. Namun sanggah banding yang diajukan ke Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi harus terlebih dahulu menyerahkan jaminan sanggah banding kepada panitia pengadaan [pasal 67 (2) poin e]. Sanggah yang diajukan kepada Pokja ULP tidak menghentikan proses penetapan pemenang lelang dan penerbitan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) tetapi sanggah banding yang diajukan kepada LKPP akan menghentikan proses pengadaan barang/jasa. Bahkan jika sanggah banding dikabulkan maka ULP wajib memulai proses pengadaan barang/jasa dari awal karena hasil pengadaan barang/jasa sebelumnya dianggap gagal.
Kondisi tersebut ternyata memberikan dampak negatif terhadap percepatan pelaksanan pembangunan dan penyerapan anggaran pemerintah karena di berbagai daerah ditemukan banyak penyedia barang/jasa yang tidak puas dengan hasil pelelangan kemudian mengajukan sanggah banding ke LKPP dengan maksud agar proses pengadaan barang/jasa yang sedang dilakukan dapat dihentikan sambil menunggu keputusan sanggah banding. Dampak negatif tersebut disikapi secara serius oleh Pemerintah sehingga terjadi revisi terhadap Perpres No.54/2010 sebagaiman telah diubah dengan terbitnya Perpres No.4/2014 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang di dalamnya tidak ada lagi mengatur hak penyedia barang/jasa yaitu hak mengajukan sanggahan banding khususnya dalam pelaksanaan E-Tendering [Pasal 109 (7) poin b dan poin d] . Sedangkan hak sanggah masih diberikan kepada penyedia barang/jasa walaupun mekanisme tersebut tidak menghentikan proses pengadaan barang/jasa.
Di satu sisi kebijakan yang diambil pemerintah dapat dipahami sebagai jalan untuk mempercepat proses penyerapan anggaran agar hasil pembangunan dapat dirasakan oleh masyarakat. Namun, di sisi lain penghapusan Pasal sanggah banding tersebut justru menutup ruang akses bagi para pencari keadilan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Bahkan akhir-akhir ini pemerintah disebutkan akan mengeluarkan 2 (dua) Perpres dan 1 (satu) peraturan Pemerintah yang akan melindungi pejabat pemerintahan dari upaya kriminalisasi yang disebabkan oleh kebijakan pengadaan barang/jasa yang dikeluarkannya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan solusi yang dapat menampung 2 (dua) aspirasi yang berbeda yakni di satu sisi penyerapan anggaran pemerintah tidak terhambat dengan adanya sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik dan di sisi lain akses keadilan bagi para pencari keadilan di bidang pengadaan barang/jasa juga tidak diabaikan oleh negara. Solusi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa Pengadaan Barang/Jasa yang dapat mengadili sengketa Pengadaan Barang/Jasa secara independen, objektif, kredibel, transparan, proses sederhana, cepat, mudah diakses, berbiaya murah dan akuntabel.[SY]
[1] Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengacara Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia (DPN APPBJI) Periode 2015-2020 dan Advokat Senior di Kantor Hukum Sabela Gayo & Partners (SGP) di Jakarta.