Inen Beben, Menggapai Asa Dari Sebuah Wajan Penggorengan

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Inen BebenNama Upik Maulida, mungkin tidak begitu dikenal oleh warga Takengon dan sekitarnya, tapi begitu disebut nama Inen Beben, orang akan segera tau siapa perempuan berusia 43 tahun ini. Dalam kultur masyarakat Gayo, seorang perempuan dewasa yang sudah menikah akan lebih dikenal namanya dengan sebutan nama anak pertamanya, begitu juga dengan pemilik nama Upik Maulida ini, dia lebih dikenal dengan panggilan Inen Beben yang artinya ibunya Beben, karena memang putra pertama hasil pernikahannya dengan Iwan (45) seorang perantau asal Pekanbaru itu bernama Beben.

Inen Beben bukanlah seorang publik figure yang selau muncul di media setiap hari, juga bukan seorang wanita karir yang punya karir cemerlang di kantor atau perusahaan, dia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang sekilas terlihat begitu bersahaja. Namun dibalik kesedarhanaannya itu, perempuan setengah baya ini memiliki smangat dan kegigihan yang luar biasa. Tanpa mengandalkan ijazah SMA yang dimilikinya, dia bersama suaminya tanpa mengenal putus asa merangkai masa depan keluarga mereka bermodalkan keterampilan sederhana yang mereka miliki.

Pada awal perkawinan pasangan Upik dan Iwan yang menikah hanya berbekal modal “tekat” ini merintis kehidupan mereka sebagai pedagang kain yang menjajakan dagangannya dari pasar satu ke pasar lainnya. Setiap hari sepasang pengantin muda ini menaik turunkan barang dagangan mereka dari mobil pick up sewaan yang setiap hari membawa dagangan mereka. Pagi buta, mereka sudah harus bersiap menuju pasar atau yang di daerah Gayo dikenal degan nama “pekan” itu, bungkusan besar kain dagangan mereka harus dinaikkan ke atas mobil pick up, kemudian mereka sediri duduk di atas tumpukan barang itu sampai ke pasar. Di pasar, mereka menggelar dagangan di “lapak” yang telah mereka sewa, dan mulailah dia membongkar bungkusan besar itu kemudian menjajarkan kain-kain itu diatas lembaran terpal plastik yang menjadi “etalase” dagangan mereka.

Pada waktu itu, prospek usaha berdagang kain masih sangat bagus, karena belum banyak saingan, merekapun begitu menikmati usaha mereka itu. Hasil hasil berdagang kain keliling itu mereka mulai mrenda hari-hari mereka, sedikit demi sedikit mereka menabung hasil usaha mereka untum membangung kehidupan yang lebih baik. Hasilnya, sebuah rumah sederhana berhasil mereka bangun, kebetulan tanah tempat mereka membangun rumah itu mereka dapatkan secara cuma-cuma karena orang tua Upik sudah menyediakan “tapak rumah” bagi anak dan menantunya itu. Dirumah sederhana itu kemudian lahirlah 3 orang putra putri mereka.

Tapi yang namanya hidup pasti banyak cobaan dan ujian, begitu juga dengan pasangan Upik dan Iwan ini. Konflik berkepanjangan yang melanda hampir semua wilayah Aceh pada tahun 2000 sampai 2003 membuat usaha dagang mereka “kolaps”, pasar yang semakin sepi serta ancaman gangguan keamanan dalam perjalanan menuju pasar tempat mereka berjualan, semakin memperparah usaha mereka. Apalagi status Iwan sebagai “pendatang” memang sangat rentan terhadap keselamatan dirinya pada masa konflik itu. Pernah ketika itu, sekitar tahun 2002, ketika pulang dari berjualan di pasar, mobil pick up yang mereka tumpangi dihadang sekelompok orang bersenjata, karena panik dan takut, Iwan berusaha menyelamatkan diri dengan meloncat dari kendaraan yang sedang berjalan itu, dia memang selamat, tapi dia menderita patah tulang tangan dan kaki akibat meloncat dari kendaraan itu. Beruntung orang tua Upik yang tidak lain mertuanya itu seorang “dukun patah”, sehingga setelah hampir sebulan “dipegang” oleh mertuanya, kaki dan tangannya kembali pulih. Meski sudah pulih, tapi kejadian itu menyisakan trauma yang begitu mendalam bagi Iwan.

Akhirnya kedua orang suami isteri itu sepakat untuk berhenti berjualan, sementara menunggu situasi yang lebih kondusif. Tapi tuntutan kebutuhan keluarga yang tak kenal kompromi, membuat pasangan itu harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang semakin hari semakin meningkat, apalagi anak-anak mereka juga sudah mulai beranjak besar. Terpikir oleh mereka untuk membuka kios kecil-kecilan di rumah mereka, tapi letak rumah mereka yang agak di ujung kampung Pinangan itu, sepertinya kurang perspektif untuk membuka usaha.

Tahun 2004 yang lalu, ketika kondisi keamanan sedikit demi sedikit semakin kondusif, mereka memutuskan untuk “hijrah” ke kampung Kebayakan, sebuah kampung tak jauh dari desa asal mereka yang mulai “berubah” menjadi kota kecil karena letaknya memang berada di pinggiran kota Takengon. Rumah pribadi mereka tinggalkan dan keluarga mereka menyewa sebuah rumah kayu yang kebetulan berada di lintasan jalan menuju lokasi wisata Danau Laut Tawar. Naluri bisnis pasangan itu kembali muncul, di depan rumah sewa itu, mereka mulai membuka usaha kecil-kecilan. Usaha yang mereka rintis itu adalah berjualan gorengan berupa pisang, tempe dan tahu goreng. Tanpa diduga, ternyata gorengan “karya” Upik alias Inen Beben langsung laris manis, lokasi berjualan mereka yang tegolong strategis itu sebagai salah satu pemicunya. Bermodal sebuah wajan penggorengan dan sebuah rak kaca sederhana itu, usaha yang kemudian mereka beri label namanya sendiri “Inen Beben” berkembang sangat pesat, dari usaha kecil-kecilan dengan omset puluhan ribu rupiah, kemudian berkembang menjadi mencapai omset ratusan ribu rupiah per harinya, memang warung gorengan Inen Beben yang terkenal gurih dan enak itu, dari pagi sampai sore selalu ramai dikunjungi pembeli, bukan hanya warga sekitar saja, tapi para pengguna jalan dan wisatawan local maupun luar daerah yang kebetulan melitas didepan warungnya, selalu tertarik untuk mencoba mencicipi gorengan Inen Beben.

Hanya dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun, Inen Beben dan suaminya, Aman Beben telah berhasil menumpulkan pundi-pundi rupiah yang cukup lumayan, semua kebutuhan mereka bisa tercukupi dari usaha mereka bahkan mereka mulai bisa menabung. Mereka semakin yakin bahwa usahanya itu memang cocok untuk mereka geluti seterusnya, tidak lagi terpikir untuk kembali melakoni “road show” dari pasar ke pasar untuk menjajakan kain seperti dulu.. “Feeling” bisnis pasangan sederhana itu ternyata sangat baik, usaha yang awalnya coba-coba itu akhirnya bisa jadi tumpuan masa depan keluarga mereka.

Dari hasil usaha penggorengan itu, pada tahun 2011 yang lalu, Inen Beben dan suaminya bisa membangun sebuah ruko berlantai dua yang terletak di persimpangan Rumah Sakit Datu Beru Takengon di lintasan jalan raya yang tidak pernah sepi dari pengguna jalan. Setahun berikutnya, ruko yang mereka bangun itupun sudah siap untuk ditempati, rumah sewa yang telah mereka diami selama hampir tujuh tahun itupun akhirnya mereka tinggalkan. Merekapun menempati ruko baru mereka untuk melanjutkan usaha penggorengan yang ternyata punya prospek sangat bagus itu.

Tapi baru sekitar setahun mereka menempati ruko yang sekaligus menjadi rumah tinggal mereka, ujian dan cobaan datang lagi menguji kesabaran mereka. Gempa tektonik yang melalanda Dataran Tinggi Gayo pada tanggal 2 juli 2013 itu, turut meluluh lantakkan “impian” mereka, ruko yang baru selesai dibangun itu “rontok” digoyang gempa berkekuatan 6,2 skala Righter itu, keluarga Inen Beben pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya yang lama di kampung Pinangan.

Meski cobaan itu dirasakan sagat berat, tapi pasangan Inen Bebeben dan suaminya bukanlah orang yang mudah patah semangat apalagi putus asa. Pelanggan gorengan yang sudah terlanjur “jatuh cinta” dengan kegurihan gorengan Inen Beben, memicu semangat pasangan suami isteri itu untuk bangkit kembali. Kebetulan masih ada tanah kosong yang letaknya persis berseberangan dengan rukonya yang sudah : hancur” itu. Inen Beben pun segera ber “nego” dengan pemilih tanah untuk menyewa tanah itu sebagai tempat baru untuk melanjutkan usahanya. Jalan dan kemudahan memang selalu diberikan Tuhan bagi ummatnya yang tidak mengenal putus asa, tanpa melalui negoisasi yang a lot, pemilik tanah tidak berkeberatan menyewakan rtanahnya pada Inen Beben.

Bermodalkan semangat yang seakan tidak pernah padam dari pasangan setia suami isteri itu, akhirnya sebiuah kis sederhana berhasil mereka bangun di atas tanah sewa itu, dan tidak lama setelah itu usaha pisang goreng, ubi goreng, tahu goreng dan tempe goreng berlabel “Inen Beben” itupun kembali berdiri. Nama Inen beben yang sudah melekat pada usaha penggorengan itu seakan sudah menjadi “jaminan mutu” bagi pelanggan-pelanggan mereka, tidak aneh kalo sampai sekarangpun usaha penggorengan Inen Beben sealu ramai dikunjungi pelanggan mereka.

Bangkit dari keterpurukan, bersabar atas cobaan, itulah kunci keberhasilan Upik alias Inen Beben dalam menjalani hidupnya. Iwan alais Aman Beben, suaminya yang tidak kalah gighnya itu, juga menjadi salah satu penyokong utama kesuksesan usaha keluarga itu. Usaha keras mreka memang tidak sia-sia, kini usaha gorengan Upik bisa menghasilkan omset 600 sampai 700 ribu rupiah per hari, dari omset tersebut, Inen Beben bisa menagntongi keuntungan bersih rata-rata 250 ribu rupiah perhari, sebuah hasil yang lur biasa. Dengan usaha sederhananya itu, kini Inen Beben sudah bisa merenovasi kembali ruko miliknya, begitu juga masa depan anak-mereka juga sudah sangat terjamin dengan kondisi ekonomi keluarga saat ini. Putra pertama mereka, Beben, kini sedang menggapai cita-citanya lewat sebuah perguruan tinggi di Medan, begitu juga kedua adiknya yang masih duduk di bangku SMA, semua itu bisa terjadi berkat usaha yang dirintis oleh orang tua mereka.

Itulah kisah sosok perempuan bernama Upik Maulida yang lebih dikenal dengan panggilan Inen Beben, perempuan tangguh dan gigih dari Dataran Tinggi Gayo yang begitu yakin dan optimis untuk menggenggam asa hanya dari sebuah wajan penggorengan. Sosok mandiri dan inspiratif yang bisa jadi teladan dan ilham bagi perempuan-perempuan lain dimanapun. Meski tanpa kata atau kalimat yang muluk-muluk, tapi perjuangan hidup Upik bersama suaminya seakan tela memberikan sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa sukses dapat diraih oleh siapa saja yang mau bekerja keras dan tidak mengenal putus asa. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.