HUJAN lebat mengguyur sebagian wilayah Takengon kamis (28/08) sore lalu. Jalan menuju kampung Paya Reje Kecamatan Kebayakan tampak becek akibat badan jalan dijatuhi tanah dari bukit-bukit yang dikikis motor beko.
Sekejap, kilat menyambar berasahutan, seorang wanita paruh baya berjalan dengan berpayungkan ulung ni awal keken yang tumbuh liar di pinggir jalan. Daun itu tak sempurna melindungi tubuhnya. Namun langkahnya tidak seperti orang yang takut akan hujan, pelan tapi pasti. Beberapa kali ia berjalan ditengah jalan dan terkejut ketika kendaraan yang lewat membunyikan klakson, ia tersenyum sendiri sambil meminta maaf pada pengendara.
Sri Kati, wanita berumur 36 tahun ini adalah seorang wanita yang memiliki kecacatan di bagian mata sebelah kiri. Pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai pengutip kopi di kebun warga sekitar. Keterbatasannya dalam melihat berpengaruh terhadap aktivitasnya sehari-hari, hal ini sering membuat ia kalah cepat dengan teman-temannya sesama pengutip kopi. Mata sebelah kiri Sri Kati pada dasarnya bukanlah penyakit bawaan sejak lahir/penyakit keturunan.
“Dulu waktu saya masih sekitar kelas 3 SD saya bermain di halaman rumah, kakak saya membelah kelapa tua untuk santan membuat sayur disuruh ibu. Ketika di belah kelapa itu tidah terbelah dua seperti biasanya, tetapi retak, kakak saya mencoba membelahnya lagi dan ketika dibelah serpihan kelapa yang tajam itu menancap di bola mata saya” tutur Sri Kati mengenang.
Sejak kejadian itu ia tidak pernah di bawa berobat kemanapun akibat keterbatasan biaya, ibunya hanya mengobati dengan air gula yang diteteskan pada mata sebelah kiri yang sempat mengeluarkan darah pada saat kejadian.
“Sampai sekarang belum pernah berobat, kalaupun berobat tidak tau bagaimana caranya kalau kerumah sakit. Saya juga tidak punya uang, lagian ini juga sakitnya udah biasa saya tahan sejak kecil, jadi sudah biasa. Tapi kalau ada kessempatan dan rezeki saya mau berobat,” katanya sambil memegang matanya.
Namun bukan kebiasaan menahan sakit yang dikeluhkan Sri Kati, melainkan semakin hari bola matanya semakin keluar dari kantung matanya. Hingga keinginan berobat sangat diimpikan oleh ibu yang sedang mengandung ini.
“ Dulu ada yang datang minta data saya, Kartu Keluarga dan KTP, katanya mau membantu untuk di obati. Tapi sampai sekarang saya tunggu tidak ada.” sambungnya lagi.
Ia mengaku bola matanya itu sekarang memang tidak terasa sakit karena sudah terbiasa, tetapi karena semakin lama semakin membesar, penglihatannya yang dulu masih samar-samar kini sama sekali tidak bisa melihat lagi. Ia hanya mengandalkan mata sebelah kanannya saja.
Dikisahkannya lagi, karena impian untuk sembuh sangat tinggi Sri Kati menerima tawaran dari kerabatnya yang menjanjikan untuk membawanya berobat ke Banda Aceh.
Saat itu Sri Kati sangat bersyukur, ia membayangkan setelah pulangnya dari sana nanti matanya akan pulih. Setidaknya walaupun mata sebelah kirinya tetap tidak bisa melihat namun bisa kelihatan normal seperti mata orang-orang lain.
“Sampai di Banda, sekitar 3 bulan lamanya saya disana tidak juga di bawa berobat. Tetapi saya dijadikan sebagai tukang cuci piring, tukang sapu rumah, cuci baju. Seperti pembantu lah kasarnya”, ungkapnya terbata-bata menahan tangis.
“Akhirnya saya minta pulang, saya lebih baik begini saja, di kampung sendiri, di rumah sendiri mengurus anak-anak saya, saya lebih bahagia,” katanya.
Sri Kati berharap adanya bantuan yang pasti untuk kesembuhan matanya, ia juga berharap matanya bisa di operasi dan ia akan sangat berterima kasih jika ada pihak yang mau membantunya. (Bensu Lia)