[Cerpen] Oleh Ruhana Abd. Karim*
Suara gaduh apa itu?
Berisik sekali, membuat telinga ini rasanya sakit. Hati ikut panas ingin mehentakkan kaki menghentikan suara dengan amarah tingkat tinggi. Semakin lama aku berdiam, gaduh itu semakin menjadi-jadi, aku terus menunggu ada suara yang berteriak, di ruangan itu untuk menenangkan amukan barang-barang, yang di banting ke lantai dan dinding.
Hampir satu jam aku duduk dan beriramakan gaduh riuh yang tak beraturan. Aku berjalan pelan sambil mengucap istigfar untuk meredam amarahku. Satu meter berjalan kubersitkan mata ke dalam ruangan dari kaca yang tidak begitu lebar yang di pasang di tengah pintu kayu. Kulihat jelas ada empat bocah kecil yang berumur lima tahun, yang melempari barang dan merusak tatanan ruangan yang rapi.
Di sudut ruangan ada seorang wanita yang duduk termenung memandangi tingkah keempat bocah, yang semangat melempari barang. Ada air mata mengalir di pipinya, dan wajah yang lelah.
“Tok… tok..”. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam, wanita itu kaget sambil bergegas membuka pintu. Tapi keempat bocah itu tidak peduli dengan kedatanganku.
“Silakan duduk”. Hanya itu, yang terucap dari mulut wanita yang sekarang ada di sampingku, yang masih betah memandangi tinggah bocah-bocah yang ada di ruangan. Dia tau, apa yang aku pikirkan dan tanpa bersusah payah bertanya.
“Saya Wita, guru di sekolah Sekolah Luar Biasa (SLB) ini pak. Kebetulan saya di tugaskan membimbing anak-anak Tuna Grahita (hiperaktif). Biasanya saya berdua bersama teman saya, berhubung teman saya sedang sakit, jadi saya sendiri pak. Saya baru enam bulan berada disini. Setiap hari saya menghadapi keadaan seperti ini pak. Yah, seperti yang bapak lihat sekarang. Saya harus berusaha keras menjadi guru yang sabar, bijaksana menghadapi pekerjaan ini”.
Sambil mendengar cerita bu Wita kupandangi dengan lekat bocah-bocah yang amat aktif, sambil mengingat memori yang pernah kuisi dengan pelajaran cara menghadapi anak Sekolah Luar Biasa (SLB). Terbesit senyum di bibir ini, ada rasa lucu melihat tingkah anak-anak ini. Ya Allah, begitu besar kuasa-Mu, aku bersyukur diberi kesadaran diri yang bagus, tidak seperti mereka.
“Pak, pak..”, aku sedikit kaget.
“Ya bu !”
“Bapak ada urusan apa ya datang kesini?.”
“Maaf bu, dari tadi saya lupa memperkenalkan diri, saya Tio bu. Saya sekarang sedang kuliah dan diberi tugas dari kampus meneliti anak Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk bahan laporan saya tiga bulan yang akan datang bu. Nah, kebetulan kost saya dekat sini, jadi saya milih magang disini bu.
“O.., begitu ya pak, saya senang kalau bapak mau magang disini, kebetulan dalam beberapa bulan kedepan saya sendiri pak, jika bapak tidak keberatan saya mau bapak magangnya di kelas saya saja”.
“Aduh, bagaimana ya bu, saya sangat senang bisa membantu ibu. Tapi, saya perlu ngomong dulu sama Kepala Sekolah-nya, dari tadi saya nunggu Kepsek-nya datang bu, udah jam segini belum juga datang. Kebetulan saya mendengar ada suara ribut-ribut, makanya saya kesini”.
“Walah, saya terlalu senang pak, udah nawarin duluan, ternyata bapak belum ada izin ya ?.”
“Ya gitu lah bu, nanti kalau memang saya dikasih kesempatan magang disini, saya pertimbangkan tawaran ibu barusan.
“Ya enggak apa-apa lah pak, keadaan kelasnya juga seperti ini, sudah pasti bapak ogah ngajar di kelas saya”.
Saya hanya bisa menjawab pertanyaan ibu Wita dengan senyuman. Aku bergegas keluar dan menuju kantor Kepsek. Lega rasanya, ternyata aku diberi kesempatan magang disini. Aku diberi waktu magang lebih awal karena sekolah ini membutuhkan guru. Sambil berjalan pulang, ucapan bu Wita aku renungkan, apa aku menerima tawaran bu Wita atau tidak, karena Kepala Sekolah memberi aku dua pilihan, magang di kelas bu Wita atau di kelas Tuna Netra yang di bimbing bu Lisa. Sebenarnya menghadapi Tuna Netra lebih gampang dari pada Tuna Grahita.
Di kampus saja tiap kali aku terjun langsung ke kelas Tuna Grahita batin ini terasa letih dan hati lelah. Itu baru sekali masuk. Apalagi tiga bulan berhadapan dengan mereka dan tiap hari masuk, aduh, gimana ini. Tapi apa salahnya ya, saya mencoba hal baru yang tidak saya suka.
Sekarang hari Sabtu, Kepsek nyuruh aku Senin sudah mulai magang, hanya ada hari ini dan besok waktuku berpikir menentukan kelas mana yang akan kuambil. Ya tuhan, bantulah hambamu, aku ingin nilai magangku bagus, karena menentukan nilai semester ini.
Seumur hidupku tidak pernah ada kata takut menghadapi hari, tapi kali ini kok beda, aku takut hari Senin. Dengan mengucap basmallah, aku berjalan pelan, menuju sekolah sambil berusaha menghilangkan rasa takut pada hari ini.
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam, silakan masuk”
Aku dorong pintu ruangan Kepsek, dan perlahan masuk sambil melempar senyum“. “Selamat pagi pak Tio, apa kabarnya pagi ini? Dan apa keputusan bapak?”
Aku bingung mau jawab apa, karena belum ada keputusan sama sekali, aduh pie iki. Dengan basmallah aja lah, apa yang keluar dari mulut ini, ya aku ambil itu aja, walaupun aku tidak suka, semalam shalat istikharah, tapi kok belum ada tanda-tanda, apa aku shalatnya sambil menghayal, jadi Allah ngak mau memberi pilihan yang baik. Saya pilih magang di kelas Tuna Netra aja pak.
“Ya bagus pak, kalau bapak sudah ada keputusan, kebetulan saya juga berharap bapak memilih Tuna Netra, karena kasihan ibu Lisa sendiri dan muridnya juga lumayan rame pak ada tujuh orang”.
Dengan memberi saya ucapan selamat karena sudah mau bergabung di sekolah Sekolah Luar Biasa (SLB) ini, aku menuju ke kelas yang akan aku jadikan tempat berjuang merebut nilai yang bagus dari hati ibu Lisa, saya ditemani bu Dina yang diberi tugas mengantar saya ke kelas.
“Permisi”
Ibu Dina mengeluarkan suara merdunya, apalagi bu Dina masih gadis, dia cukup memenuhi kriteriaku sebagai lelaki. Bu Dina melempar pandangan padaku, dan aku membalas pandangan itu dengan senyuman khasku untuk mengisi memorinya dengan menghayalkan senyuman manisku.
Tidak apalah aku sedikit sombong dengan tampang yang kupunya saat ini. Toh di kampus saja banyak teman-teman cewek yang ngajak saya jalan, walaupun terkadang hanya untuk memancing mantan mereka yang lebih dulu punya pacar baru. Itu tidak masalah buatku, yang penting tiap kali jalan aku makan free, dan uang belanja buat sekali makan bisa aku tabung, tapi aku bukan tergolong cowok murahan, hanya saja murah saat perut ini lapar.
Saat pintu dibuka. Waw, aku melihat sesosok wanita yang tidak terlalu tinggi, kulitnya putih mulus bak model, dengan senyuman yang mampu mematikan senyuman dahsyatku.
“Pak Tio,”
“Ya bu”
“Maaf pak saya harus kembali ke ruangan saya”
“Ya bu, terima kasih banyak sudah mengantar saya. Bu Dina berlalu meninggalkan aku, bisikan dalam hati masih aku lanjutkan, kalau tidak, pasti yang baca buku ini merasa penasaran apa saja yang aku pikirkan.
Ah, aku punya saingan ni dalam melempar senyum, aku akan berusaha menciptakan senyuman baru untuk senjata menarik hatinya dan mengajak jari tangannya mencoret kertas dengan nilai yang bagus, karena itu tujuanku, dan tak peduli mampu atau tidak aku menghadapi Tuna Netra. Aku tersadar, apa yang aku pikirkan, ini bukan ajang menaklukkan hati cewek, melainkan mencari nilai yang bagus.
“Halo, saya Lisa saya yang membimbing kelas ini, muridnya ada tujuh, mereka sama seperti kita, hanya saja mereka tidak seberuntung kita. Kita bisa melihat, sedangkan mereka tidak. Tapi, hati mereka lebih peka dari hati kita pak. Itulah kelebihan mereka. Mungkin bapak juga sudah belajar tentang ini di kampus bapak”.
Bulan pertama. Rasanya tidak semudah yang kubayangkan, masih banyak hal yang tidak aku tahu tentang mereka, membuatku harus bolak-balik perpustakaan kampus, mencari buku tentang mereka. Kalau pun ada bu Lisa, aku tidak mungkin terus bergantung, karena aku juga kuliah di bidang ini. Ternyata capek juga menjadi seorang guru, muridnya juga berbeda dengan sekolah umum. Rasa suka pada bu Lisa juga aku abaikan, karena tidak sempat melahirkan senyuman dahsyat, yang bisa kupikirkan hanyalah nilai.
Bulan kedua. Minggu aku libur magang, dan libur dari rutinitas sekolah dan kampus, aku merebah diri di kasur, mematikan ponsel, mengunci pintu, agar tidak ada yang menggangguku hari ini. Ingin rasanya tidur 24 jam. Mengumpulkan kembali tenagaku yang terkuras sebulan yang lalu.
Berusaha memejamkan mata, tapi kenapa tidak bisa, apa karena semalam aku sudah tidur dengan nyenyak. Mata ini masih terasa ngantuk. Saat mata ini ku pejamkan, terbayang anak-anak itu, anak-anak yang ku temui setiap hari. Mereka begitu luar biasa, mereka terus berjuang melawan kekurangan mereka, dengan belajar membaca, mengenali perbedaan tiap lembar uang dan nominalnya. Dan bisa membaca Alqur’an dengan bacaan yang pasih dan suara yang merdu.
Sedangkan aku, punya mata yang bagus dan indah, jika pandangan ini aku lempar ke kerumunan cewek-cewek di kampus, pasti mereka tidak bisa menolak pandangan ini dengan melempar pandangan mereka kearah lain. Karena mereka semua sudah tahu, jika mereka mengabaikannya sekali saja, enam bulan kedepan mereka tidak akan pernah melihat senyuman ini lagi. Sungguh malang nasib mereka yang berani mengambil keputusan yang membuat mereka terluka.
Shalat saja jarang aku kerjakan, apalagi shalat Jum’at, mungkin Sekolah Menengah Pertama (SMP) terakhir kali aku melakukannya. Sedangakn mereka, walaupun masih berusia sepuluh tahun, tapi mereka giat shalat dan membaca Alqur’an. Rasa kangenku hari ini terlalu berlebihan. Tetapi ngapain juga aku kangen sama mereka yang bukan siapa-siapa bagiku, aku berada disitu hanya untuk nilai bukan untuk kangen-kangenan.
Apa yang kurindukan dari mereka.?
Apa ya? Kenapa rasanya ingin cepat bertemu mereka lagi. Aku rindu pada nada, dia muridku, suaranya begitu merdu saat melantunkan ayat-ayat Alqur’an minggu lalu. Suaranya benar-benar menyentuh hatiku. Dan membuat aku mulai mencintai mereka, aku mulai memeluk, menyapa mereka dengan hati, bukan lagi dengan ambisi dan ego.
Bulan ketiga.
Kriiiiiing…..kriiiiing, ku ambil jam beker yang ada di atas meja dekat ranjangku, dengan mata yang masih enggan dibuka, sambil mengucek-ucek mata, aku perhatikan arah jarum jam,pukul 04.30,
Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan lunglai ke kamar mandi. Selesai mandi, biasanya aku langsung keluar menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk energiku di siang hari. Tapi hari ini ada yang beda dengan hatiku. Terasa ada yang kurang. Seperti ada rambu-rambu lalu lintas di pintu kamar mandi ini yang mewajibkan berhenti jika lampu berwana merah.
Kuingat-ingat lagi, rutinitasku tiap pagi, buang air kecil plus besar udah, apalagi ya. Tiba-tiba aku memutar badan dan melihat lagi tiap sudut kamar mandi, perhatianku tertuju pada kaca kecil transparan yang ada di kamar mandi, yang mengantar cahaya dari luar ke ruangan mungil ini. Kenapa belum ada cahaya ? masih gelap dan air yang ku pakai untuk mandi juga terasa dingin banget, beda dengan hari biasanya. [SY]. Bersambung…
Ruhana berasal dari Pintu Rime, Kec. Ketol. Alumnus MTsN 1 Takengon, MAN 2 Takengon dan UNIMED , saat ini tinggal di Pondok Cabe, Ciputat. Tang-Sel bekerja sebagai Terapis di sebuah klinik di Pondok Cabe, Jakarta Selatan.





