AROMA Roasting kopi Arabika yang dikerjakan Mukhlis JL Almuzha merebak keseluruh ruangan Sada Coffee, lebih terasa ngopi selepas tarawih, Rabu malam di lampriet, Banda Aceh. Yang terbayang kemudian bukanlah kebun kopi di Gayo, Aroma itu justru mengenangkan beberapa puluh tahun silam, ketika Nek Darus di Blang Kolaq Satu, Takengon, mengongseng kopi di Belanga besar, Aroma ini begitu akrab, walau sebenarnya bukanlah kopi Arabika, tapi Kopi robusta. Tapi tetap kopi.
Tentu untuk menemukan belanga besar seperti Wak Darus kerjakan tempo dulu, bukan perkara mudah dimasa sekarang. Walau beberapa lokasi, seperti di Desa Lamreueng, Aceh Besar, masih ada cara itu. Namun sebenarnya, rasa aroma kopi malam ini sungguh sebuah kenangan, ketika di kampung saya Blang Kolaq Satu tempo dulu ada cara khas menggonseng kopi, hingga rasanya seperti ikut memabukan, karena terasa ada aroma ganja di dalamnya. Tentu rasa yang ini bukan dilakukan Wak Darus, tapi sajian khusus yang dikerjakan keluarga lainnya dalam cara yang kurang difahami secara umum, lantaran pelakunya dikenal mantan seorang juru masak dimasa Belanda dulu yang berasal dari Jawa.
Dari cara menggonsengnya terlihat nenek itu berpenggalaman, mungkin itu pelajaran yang pernah dia terima dari Belanda, menggunakan felling dan keyakinan. Rasa “ganja” yang dimaksud adalah pola menggongseng hingga mengeluarkan rasa itu, sama persis inovasi mesin rosting yang terus berlomba soal dirasa.
Wak Darus yang saya maksud adalah keluarga yang mengembangkan bisnis bubuk kopi ketika itu, beliau adalah juga ahli masak dimasa Belanda, sementara nenek yang menggongseng kopi untuk keluarga, adonannya tanpa ganja tapi rasa yang dihasilkan seperti itu, dan nenek itu juga seorang tim memmasak Belanda.
Tentu berbisnis Kopi tempo dulu sangat berbeda, lantaran keberadaan kopi Gayo tidak seluas lahan dimasa kini. Kopi ditanam dikawasan tertentu saja. Di daerah seperti Kecamatan Linge sekarang belum dibudidayakan kopi seperti saat ini. Aceh Tengah kala itu, baru “kaget” setelah masyarakat transmigrasi di kawasan Jagong, Linge, mulai memanen kopi dengan kualitas luar biasa, sejak itu, kawasan Jagong menjadi salah satu kawasan dengan komoditi kopi Arabika besar di Aceh Tengah, termasuk Atu Lintang dan sekitarnya.
Tiori “kopi” baru berkembang sekitar 5 tahun ini, termasuk berbisnis kopi Arabika yang semakin trendi, bahkan setahun belakangan keberadaan Arabika kian terasa mulai bersaing dengan kopi-kopi lain di pesisir Aceh, karena disana bukan berbisnis biji, maka persaingan itu di level warung kopi, karena pengkomsumsi kopi tidak peduli apakah yang dia minum dari biji robusta atau Arabika, karena bagi pedagang kopi Arabika juga menyediakan kopi sanger (campur susu) di kopinya, sementara beberapa warung yang selama ini menjual kopi Robusta juga mulai trendi memakai “espresso” di warungnya. Gaya “espresso” saat ini identik dengan Arabika pula.
Di Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai kabupaten yang menghasilkan banyak kopi Arabika, juga baru beberapa tahun ke belakang berkembang bisnis Coffee, dan seingat saya yang memulai bisnis itu adalah “Bergendal” di Simpang teritit, kehadirannya membuat bangga lantaran standar yang ditawarkan, ikut bersaing dengan trendi Sturbuck Coffee, sebuah perusahaan Frenchais asal Amerika, dan membayangkan “ngopi” ala Sturbuck di Simpang Teritit, Bener Meriah, sangat menyenangkan.
Kopi Gayo sekarang sudah tidak asing lagi, dari belahan dunia manapun bagi pencinta kopi selalu mengaitkan Kopi Gayo sebagai “gaya hidup” yang patut menjadi kenang-kenangan untuk di bawa pulang ke negaranya, dan menjadi sebuah kebanggaan pula, bahwa dirinya sudah membawa kopi berkualitas terbaik dunia langsung dari kawasannya. Begitu tinggikah gengsi kopi Gayo sekarang?.
Inovasi dalam rasa kopipun terus dilakukan oleh pelaku kopi, bahkan berbagai rasa ikut lahir, termasuk rasa-rasa yang biasa dilakukan petani anggur di Eropa, seperti Wine dan Bir. Namun sebenarnya, itu hanya mengolah rasa saja, bukan mengakali cita rasa kopi Gayo yang disetiap sajian punya citarasa khas tersendiri. Alasan cita rasa itupula yang menjadikan harga Kopi Gayo lebih tinggi 20 persen di pasar New York, Amerika Serikat.
Sayangnya, banyak rasa kopi Gayo dalam gaya Gongseng telah hilang lantaran tidak ada penerusnya. Ini berarti menghilangkan kekayaan. Rasa Gongsengan Wak Darus dan Nenek tidak ada lagi dimasa kini, kendati sebenarnya bisnis kopi terus berkembang. Bedanya, bila dulu Kopi Luwak adalah meinuman yang bikin malu, maka sekarang menjadi minuman paling mahal di dunia. Bila dulu kopi digongseng menggunakan belanga besar, maka sekarang dikerjakan mesin. Hasilnya tetap membanggakan, hingga suatu ketika nanti tetap kita akan rindukan “kopi” gongsengan Wak Darus, karena menggunakan mesin biasanya selalu berujung pada kejenuhan dan kadaluarsa, hingga dibutuhkan pengerjaan manual dengan menggunakan tangan dan tenaga.
Bila Inovasi kopi kembali kepada Gongsengan, maka ibarat musik maka kita kembali menggauli Jazz, karena musik itu penuh inprovisasi dan menselaraskan insting, hanya bedanya malam ini Aroma kopi yang di roasting sangat dinikmati pengunjung SADA Coffee, selain itu diperkuat melodi Jazz George Benson, Lee Riteuner, Kazumi Watanabe dan vocal khas pelantun Jazz lainnya Al-Jereu. Walau sebenarnya tidak ada yang tahu apakah musisi-musisi Jazz itu menyukai kopi atau tidak, namun nikmat kopi Gayo malam ini ada Jazz, musik yang mengeluarkan manusia dari ketertindasan. Itu sebenarnya…
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Online dan Tabloid LINTASGAYO.CO