
Jakarta-LintasGayo.co : Focus Group Discussion Prakongres Peradaban Aceh tanggal 26 Juni 2015 di Hotel Aryaduta dihadiri tokoh-tokoh dari beragam profesi, diantaranya perwakilan penutur dari bahasa-bahasa lokal yang ada di Aceh, inisiator acara/panitia, rektor, akademisi, peneliti, penulis, perwakilan pemerintah kabupaten/kota dari Aceh, penyair, sejarawan, budayawan, linguis, tokoh masyarakat, pengusaha, anggota DPR/DPD RI, dan juga Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar. Tak ketinggalan, peserta dari Gayo.
“Kita sangat mengapresiasi acara ini,” kata Arjuliska yang merupakan master of ceremony pada acara FGD tersebut. Mengenakan baju kerawang Gayo, putri budayawan gaek, Saifoeddin Kadir ini, mengatakan, tinggal pelaksanaan kongres dan tindaklanjutnya diharapakan benar-benar bisa terlaksana.
Selain aktivis perempuan Gayo di Jakarta itu, turut hadir penyair nasional asal Gayo yang juga Wartawan Serambi Indonesia, Fikar W. Eda. “Ini yang kita angkat salut sama saudara kita dari pesisir. Selain peduli, mereka mau. Padahal, yang dibahas persoalan bahasa. Tak tanggung-tanggung, Pak Farhan langsung mengetuai acara ini. Bahkan, Nasim Jamil dan Pak Adnan Ganto ikut terlibat,” sebut Fikar yang ikut sebagai panitia pelaksana.
Selanjutnya, hadir pula Dawan Gayo, yang merupakan tokoh pemuda Gayo. Senada dengan Arjuliska dan Fikar, Dawan juga sangat mengapresiasi kegiatan tersebut. Kemudian, linguis yang juga akademisi dan peneliti, Yusradi Usman al-Gayoni yang jadi nara sumber aktif. Yusradi yang jadi nara sumber kedua yang memaparkan kondisi kekinian bahasa Gayo dan langkah-langkah penyelamatan bahasa-bahasa lokal di Aceh.
Zonasi Muatan Lokal
Dalam paparannya, Yusradi menekankan bahwa bahasa lokal perlu masukan ke dalam kebijakan baik berupa Qanun maupun dalam kebijakan, berupa muatan lokal di sekolah-sekolah di daerah. Disamping itu, perlu dibuat Fakultas Ilmu Budaya di universitas-universitas di Aceh. “Sampai sekarang, belum ada Qanun Bahasa Gayo di Kabupaten Aceh Tengah,” tegasnya, sambil menambahkan, pentingnya zonasi pelaksanaan muatan lokal di Aceh.
“Bahasa-bahasa lokal yang ada di Aceh tetap dikenalkan di seluruh Aceh. Namun, dalam pelaksanaannya, disesuaikan dengan zona tutur bahasa lokal tersebut. Misalnya, muatan lokal bahasa Aceh di pesisir Aceh, bahasa Gayo di Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Lokop Serbejadi, dan Kalul Aceh Tamiang), bahasa Alas di Kutacane, bahasa Singkil di Singkil, dan bahasa Tamiang di Kabupaten Aceh,” sebutnya.
Kalau tidak dilakukan zonasi, maka akan terjadi penyeragaman bahasa, hanya bahasa Aceh. Dampaknya, ungkapnya, bahasa-bahasa minoritas di Aceh, selain bahasa Aceh dan bahasa Gayo bisa cepat punah. Karena, penuturnya lebih kecil. Belum lagi, pengaruh kerusakan lingkungan yang masif di Aceh, makin mengurangi keaneragaman hayati/ bahasa-bahasa lokal. Soalnya, wujud fisiknya sudah tidak ada lagi dan tidak terkemas dalam ingatan penuturnya. “Aceh tidak lagi kaya. Kita juga mengabaikan keberagaman dan kesetaraan di Aceh. Bagaimana kita bisa hidup damai, setara, penuh harmoni, dan saling menghargai perbedaan dalam satu Aceh,” kata linguis yang berspesialisasi Ekolinguistik (Ekologi Bahasa) tersebut.
Terkahir, hadir Dato’ Hj. Pocut Haslinda Syahrul MD, tokoh perempuan dan penulis sejarah Aceh berdarah Gayo. “Saya menulis sejarah Aceh, karena wasiat orang tua saya. Saya punya silsilah keluarga. Setelah saya selusuri, rupanya saya berdarah Gayo. Besar sekali sejarah Gayo itu, makanya orang Gayo itu coba dikecilkan. Sebab, dari awal mereka sudah besar,” kata Pocut Haslinda yang mengenakan balutan upuh ulen-ulen saat berbuka puasa bersama. “Kalau tidak bangga dengan Gayo, saya tidak akan mengenakan ini (upuh ulen-ulen) kemana-mana,” ungkapnya penuh semangat. (AF)