Jakarta-LintasGayo.co : Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al Haythar mendukung penuh atas prakarsa pelaksanaan focus group discussion Kongres Peradaban Aceh yang digelar Hotel Aryaduta Jakarta, tanggal 26 Juni 2015.
“Sebagai orang tua, hari ini, saya sangat bangga. Ternyata, masih banyak para pemikir dan pendukung yang berkerja keras demi pelestarian adat dan budaya Aceh. Juga, cukup banyak bahasa yang ada di Aceh. Namun, masyarakat Aceh yang heterogen tetap hidup rukun dan damai dengan semua keberagaman yang dimiliki. Termasuk, keragaman bahasa dan memelihara silaturrahmi di bawah naungan ajaran Islam. Saya yakin, dengan usaha kita bersama, masa kejayaan Aceh dapat kembali kita wujudkan,” papar Tengku Malik Mahmud Al Haythar
Dalam sejarah Aceh yang panjang, jelasnya, pernah terjadi suatu keputusan yang menjadi pegangan tatanan peradaban Aceh, yaitu Qanun Meukuta Alam Al-Alsyi yang lahir pada tahun 1630 Masehi dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Qanun Meukuta Alam Al-Alsyi adalah modifikasi yang bersumber dari Undang-undang Kerajaan Aceh yang disebut juga dengan “Adat Bak Po Teumureuhom, Hukom Bak Syiahkuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Bentara Laksamana dan Panglima.”
Dilanjutkannya, masalah adat budaya telah diakui secara jelas dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu pasal 18 (b) Ayat 2 UUD Tahun 1945 dan secara Yuridis tertulis dalam MoU Helsinki butir 1.1.6 serta diregulasikan di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mulai Pasal 96 sampai dengan Pasal 99. Selanjutnya, telah pula dijabarkan dalam Qanun-qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota di Aceh, berdasarkan kebutuhan atas kekosongan hukum dan dinamika tuntutan terhadap aturan hukum itu sendiri.
“Budaya Aceh telah mengakar dan terpatri dalam jiwa dan kehidupan orang Aceh, walaupun yang tinggal sekarang hanyalah sisa-sisa puing dibandingkan dengan masa kejayaan Aceh dahulunya. Yang disebabkan konflik dengan kolonialis Belanda dan konflik yang berkepanjangan. Namun, patut dibanggakan, dijaga, dilestarikan serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya,’ tegas Malik Mahmud.
Masyarakat Aceh, sambung Malik Mahmud lagi, patut menjaga budaya Aceh daripengaruh globalisasi dan canggihnya perang cyber yang secara perlahan mereduksi budaya, sehingga mengikiskan bahasa-bahasa ibu yang jadi kebanggaan seluruh rakyat Aceh, yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuek Jamee, Singkil, Alasa, Tamiang, Keluat, Devayan, Sigulai, Pakpak, Haloban, Lekon, dan bahasa Nias.
“Yang perlu dikaji dan dilestarikan di sini, mulai dari penuturan sehari-hari sampai kepenulisannya baik abjad Arab maupun Romawi. Forum FGD ini diharapkan dapat melahirkan gagasan-gagasan yang konstruktif dan inovatif. Akibatnya, akan tersusun sebuah Ensiklopedia Aceh “all in about culture of Aceh” yang didalamnya terdapat kamus bahasa Aceh yang memuat bahasa-bahasa di Aceh secara komprehensif baik kamus cetak maupun kamus digital/elektronik. Alhasil, budaya kita yang telah tereduksi dapat kembali tumbuh, seperti masa kejayaan dan kegemilangan Aceh di masa lalu. Pada akhirnya, dapat menjadi warisan berharga dalam bentuk kebudayaan bangsa kepada anak cucu kita pada masa-masa yang akan datang,” sebutnya di hadapan 50 orang peserta yang diwakili penutur masing-masing bahasa lokal di Aceh, inisiator acara, akademisi, peneliti, sastrawan, sejarawan, budayawan, tokoh masyarakat, rektor perguruan tinggi, dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh dari Aceh. (AF)