Jakarta-LintasGayo.co : Di tengah hiruk pikuk politik dan ketidakpuasan sosial, muncul kesadaran baru generasi muda Aceh untuk mengkaji ulang kebesaran masa lalu peradaban Aceh. “Ada banyak hal yang belum diketahui secara pasti kesahihannya. Ada beragam budaya yang sampai sekarang belum juga dapat ditemukan asal usulnya secara pasti. Oleh sebab itu, kita manfaatkan peluang ini untuk mengkaji sungguh-sungguh, agar generasi muda Aceh dan masyarakat luar Aceh bisa mengetahui kekayaan peradabaan Aceh yang megah itu,” kata Dr. Ahmad Farhan Hamid, Ketua Pelaksana Kongres Peradaban Aceh, dalam sambutannya pada acara pembukaan Focus Group Discussion Prakongres Peradabadan Aceh di Hotel Aryaduta Jakarta, Jum’at (26/6/2015).
Di sisi lain, jelasnya, masyarakat Aceh juga mengalami pergeseran makna yang memerlukan perhatian. Misalnya, perangai mereka yang secara materi sudah mencukupi, namun berprilaku masih miskin, sehingga hak-hak orang miskin tak henti diambilnya. Lalu, lebih banyak menuntut dibandingkan kemauan mengoreksi diri, mudah mencari kesalahan orang lain ketimbang mengusulkan perbaikan, keinginan untuk menguasai dan mengambil, dan tidak memberi. “Semua itu bukan perilaku positif yang dibutuhkan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik. Singkatnya, peradaban Aceh terus tergerus secara perlahan,” sebut Farhan Hamid.
Awal Gagasan Kongres
Dilanjutkan Mantan Wakil Ketua MPR RI (2009-2014) itu, gagasan Kongres Peradaban Aceh ini dimulai dari kegelisahan tentang penguatan identitas keacehan. Kemudian, dilanjutkan dengan diskusi yang ramai di media sosial, April 2015, Diaspora Aceh. Setelah itu, gagasan Kongres Peradaban Aceh semakin menguat. Termasuk, adanya dukungan dari Anggota DPR RI Nasir Djamil dan Wali Nanggroe Tengku Malik Mahmud al-Haytar. Pada akhirnya, panitia kecil terbentuk dan focus group discussion ini dilaksanakan.
“Kongres ini merajut ulang nilai-nilai positif dari Peradaban Aceh untuk dapat diwariskan kepada generasi muda dan generasi mendatang. Dengan demikian, kongres ini merupakan jawaban dari kegelisahan generasi muda Aceh terhadap tergerusnya identitas keacehan,” tegas Farhan Hamid.
Kongres Peradaban Aceh diharapkan akan diselenggarakan secara berkala, tiap tahun dan dengan tema yang berbeda, sesuai dengan unsur-unsur pembentuk peradaban. “Tema kali ini Penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh. Karena, bahasa adalah inti dari peradaban. Elemen utama peradaban adalah bahasa, sebagai alat komunikasi. Aceh memiliki keragaman bahasa lokal. Ada 13 bahasa lokal di Aceh, yaitu bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Jamee, Devayan, dan lain-lain. Bahkan, di Kabupaten Simelue konon ada lima bahasa, tiga diantaranya, Devayan, Sigulai, dan Lekon. Itu salah satu bentuk keragaman etnik di Aceh dan kita ingin semua berada dalam kesetaraan,” sebutnya.
Kondisi Bahasa Lokal di Aceh
Ada temuan penelitian, ungkap Mantan Anggota DPD RI Propinsi Aceh (2009-2014) itu, bahasa-bahasa lokal secara perlahan mulai tergerus dan hilang. Ini merupakan bencana nyata bagi punahnya peradaban. Kalau terjadi di Aceh, berarti sebagaian peradaban Aceh ikut punah. Saat ini, jamak diketahui, dalam pergaulan, misalnya, kalangan anak-anak muda terutama di kota-kota lebih sering berkomunikasi dengan bahasa Indonesia daripada bahasa ibunya sendiri.
Secara khusus, kata Farhan, panitia mengucapkan terima kasih kepada H. Adnan Ganto yang memberi dukungan besar untuk penyelenggaraan dikusi terarah. Juga, kepada mereka yang telah meuripee, memberi donasi untuk kegiatan ini.
“Hormat kami, panitia persiapan Kongres Peradaban Aceh (Ahmad Farhan Hamid, M. Nasir Jamil, Ifdhal kasim, Mustafa Ismail, Nuly Nazlia, Fahmi Mada, Ferry Soraya, Fikar W. Eda, Fuad El Radhy, Irham Istens, Islamuddin Ismady, Mahlil Ruby,alm. M. Jamil Hasan, Mohd Amin Usman, Morenk Belandro, Nezar Patria, Rany T Hamzah, Teuku Johan Pahlevy, Umaimah Wahid, Zubaidah Azwan, tim kerja Jakarta. Illiza Sa’aduddin Jamal, Reza Pahlevi, Cut Aja Musrifa, Zainuddin Regen, dan Zaini Djalil, tim kerja Banda Aceh),” tegas Farhan sambil menyebutkan nama inisiator/panitia satu persatu. (Genali)