*Kosasih Ali Abubakar
Selalu menjadi sebuah pertanyaan kepada diri kita semua tentang masa lalu dan masa depan, sejauh mana kita harus memegang keduanya. Lebihkah kita condong kepada masa lalu atau condong kepada masa depan. Mereka yang cenderung kepada masa depan akan menganggap masa lalu itu adalah sebagai nilai-nilai saja sebagai bahan pelajaran untuk menghadapi masa depan. Namun, berbeda dengan mereka yang cenderung kepada masa belakang, akan menjadikan masa belakang itu sebagai pedoman atau panduan atau cita-cita hidup masa mendatang.
Provinsi Aceh sebagai contoh tentang masih terbaginya masyarakat Aceh menjadi dua bagian, yaitu bagian yang cenderung kepada masa lalu dan bagian yang cenderung kepada masa depan. Hal inilah yang menjadi pertaruhan bagi perdamaian di Aceh kelak, bila perbedaan ini tidak dikelola dengan benar maka akan mudah muncul kembali kekerasan-kekerasan yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang dahulu bertikai.
Baru-baru ini, kita semua dikejutkan dengan adanya pembunuhan 2 satuan organik TNI yang ditenggarai dilakukan oleh Kelompok ex combatan Din Dimini. Din Dimini terkenal sebagai pemuda yang mempunyai kepribadian yang baik, serta ia dikenal juga sebagai bagian dari sempalan GAM yang menuntuk atau mengingatkan untuk Pemerintah Aceh sekarang yang juga berasal dari ex combatan untuk lebih peduli kepada ex combatan yang belum mendapatkan kehidupan yang layak. Din Dimini juga sebagai seorang anak pejuang tokoh GAM yang amat terkenal keberaniannya ketika menghadapi TNI dan POLRI.
Kemudian, baru-baru ini juga terjadi sedikit pergolakan terkait dengan pro ALA dan kontra ALA. Kembali terdengar suara-suara untuk melepaskan diri kembali dari provinsi Aceh dalam rangka percepatan pembangunan dataran tinggi Gayo serta pihak-pihak yang mempertanyakan sepak terjang KP3ALA yang selama ini terkesan membisu.
Kesemua kejadian ini tentunya haruslah disikapi secara jernih, kemudian menjadi sebuah pertanyaan kepada kita semua, apakah Aceh masih hidup dalam bayangan masa lalu? Atau sudahkah Aceh sudah melangkah kedepan dengan bayangan masa lalu di belakang?.
Pertikaian-pertikaian ini kemudian mulai di bawa ke dalam ranah-ranah media online, pembentukan wacana-wacana yang juga sebenarnya hanyalah untuk memperebutkan sejarah. Seperti diketahui bersama perdamaian di Aceh tidak ada pemenangnya, sehingga sampai saat ini tidak ada yang menjadi pembuat sejarah. Karena biasanya pemenangan dari peperanganlah yang selalu membuat sejarah. Tentunya, permasalahan ini akan kembali menjadi sebuah potensi konflik.
Konflik selama 30 tahun telah menghilangkan segala potensi yang ada di Aceh dan Gayo, yang paling utama adalah potensi sumber daya manusia Aceh dan Gayo yang luar biasa. Konflik juga telah meninggalkan sebuah luka yang amat dalam, bahkan selama hampir 10 tahun Aceh dikuasai pemerintahannya oleh ex combatan, masih belum berhasil menyelesaikan masalah-masalah masa lalu itu dengan adanya kejadian-kejadian di atas tadi.
Pemerintah Aceh, mau tidak mau harus mulai memikirkan upaya-upaya untuk bisa mengatasi masalah psikis yang ada di masyarakat Aceh, trauma akan konflik, rasa takut, mengelola perbedaan dan lain sebagainya. Konflik juga telah meninggalkan korban, baik korban langsung maupun korban tidak langsung. Korban langsung adalah mereka yang telah berjuang selama ini dengan GAM akan tetapi merasa tidak sesuai dengan harapannnya, atau orang-orang yang terkena langsung dampak pertikaian dari GAM dan TNI atau GAM dengan masyarakat sipil lainnya yang tidak setuju dengan GAM.
Sedangkan korban tidak langsung adalah korban yang diakibatkan dengan lingkungan, seperti ketakutan yang tidak tentu, kesimpangsiuran informasi, hasil dari didikan komunitas yang berperang dan lain sebagainya. Bila mereka semua tidak diberikan sebuah perlakuan yang benar, maka potensi konflik akan menjadi lebih besar.
Pemerintah Aceh saat ini, ex combatan, sudah harus menghilangkan pendekatan-pendekatan militer, karena mereka sudah menjadi pemimpin seluruh rakyat Aceh. Pendekatan militer yang dimaksud adalah “membunuh atau dibunuh” atau dalam bahasa mudahnya jika ada pebedaan maka dianggap tidak ada atau dihilangkan. Mereka seharusnya melakukan pendekatan dengan kelompok Din Dimini dan beberapa kelompok kecil lainnya yang menjadi sempalan mereka, tidak ikut ke dalam kelompok Irwandy Yusuf atau Muzakir Manaf. Begitu juga dengan kelompok-kelompok yang menginginkan pemekaran dari provinsi Aceh dengan cara-cara yang baik.
Selain itu, mulai melakukan sebuah pembangunan atau penyembuhan psikis dari masyarakat Aceh, paling tidak menjadikan seluruh masyarakat Aceh aman dan mempunyai kepastian untuk masa depannya. Penyembuhan ini dapat dilakukan melalui pendidikan dan ajaran-ajaran Islam sebagai kekhasan dari provinsi Aceh, sebuah pandangan hidup baru, tidak merdeka dari NKRI, akan tetapi merdeka dari kemiskinan dan kebodohan serta menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Sebelum ada kata terlambat, karena Aceh dan Gayo bukanlah milik per orangan. Mereka milik dari generasi masa depan, bukan milik generasi dahulu. Marilah kita hidup menyongsong masa depan dengan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran, bukan membawa masa lalu menuju masa depan, karena resikonya adalah generasi emas masyarakat Gayo dan Aceh. Semua harus berpikir untuk mendahulukan kepentingan masa depan anak-anak kita atau generasi penerus kita, karena merekalah masa depan kita, sedangkan kita akan menjadi masa lalu.
Terlebih lagi bagi masyarakat Gayo, haruslah bersatu untuk itu. Terlalu kecil jika Gayo ini menjadi milik perorangan atau milik sebuah kelompok. Sudah saatnya masyarakat Gayo menjadi cerdas dalam mensikapi masa depan seperti biasanya yang dilakukan oleh masyarakat Gayo sejak leluhur kita.
*Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan bekerja di Pusat Penelitian dan Kebijakan, Kemdikbud.