Sisi Lain Pendidikan Pasca Konflik di Aceh

oleh

*Kosasih Ali Abubakar

KosasihEMPAT bulan setelah penandatanganan MoU Helsinky, Aceh telah berubah. Tsunami telah menyediakan sebuah kesempatan unik mencapai perdamaian dan menghasilkan bantuan jutaan dolar… Memperkuat perdamaian, bagaimanapun, adalah proses jangka panjang yang berkelanjutan. Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pasca konflik masyarakat akan menghadapi tantangan sangat besar dan berkelanjutan, hingga risiko timbulnya kembali kekerasan (Utomo, 2009).

Sudah hampir 30 tahun, hampir dua generasi, Aceh dalam peperangan melawan pemerintah Indonesia, dengan begitu banyak dasar atau alasan untuk dijadikan alasan bahwa perang ini boleh dilaksanakan. Secara isu internasional dikatakan bahwa Aceh adalah sebuah bangsa yang merdeka, tidak pernah dijajah oleh Belanda sebagai dasar peletakan wilayah NKRI. Secara isu nasional dikatakan bahwa Bung Karno tidak menepati janjinya setelah Daud Beureuh menyatakan bergabung dengan NKRI terkait dengan kekhususan Aceh. Secara fakta lokal, adanya keinginan sebagian wilayah Aceh untuk mendirikan provinsi baru karena perbedaan budaya dan keinginan untuk mempercepat memakmurkan daerahnya.

Dibalik segala isu tersebut, tentunya sebuah keinginan yang wajar ketika seluruh masyarakat Aceh mempunyai ekspektasi yang amat tinggi menginginkan untuk mengejar ketertinggalan mereka pasca konflik yang terjadi dengan adanya perdamaian ini. Utamanya 10 tahun terakhir setelah MoU Helsinky  di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf dan Zaini Abdullah.

Salah satu dampak yang paling terasa adalah masalah pendidikan, selama 30 tahun konflik telah menghilangkan banyak kesempatan bagi generasi muda Aceh untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena masyarakat selalu dalam ketakutan dan ketidakpastian dengan adanya konflik ini.

Penulis selalu mengatakan kita telah kehilangan generasi emas Aceh selama beberapa dekade. Tapi dengan datangnya perdamaian ini, marilah kita semua membuka lembaran baru untuk generasi muda dan generasi penerus di Aceh.

Lepas dari Ketidakpastian dan Rasa Takut
Salah satu sebab kemunduran pendidikan di Aceh adalah karena perasaan tidak aman dan ketidakpastian yang diakibatkan menjadi daerah konflik. Sebuah fakta hingga saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai oleh daerah-daerah yang relatif tenang atau mempunyai kepastian yang jelas, seperti halnya negara-negara barat dan Amerika Serikat, begitu juga di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan yang dengan cepat mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara maju untuk hal iptek. Atau bila dibandingkan dengan saudara-saudara kita di Indonesia seperti di Jakarta dan Yogjakarta serta masih banyak lainnya.

Rasa takut dan ketidakpastian ini tentunya sifatnya kasat mata atau tidak terlihat, bahkan mungkin itu tidak dapat terlihat pada anak kita sendiri, karena rasa takut itu merasuk ke dalam jiwa anak-anak kita di Aceh.

Pasca trauma konflik dan trauma tsunami, seharusnya masyarakat di Aceh bisa mendapatkan trauma konsuling, terutama anak-anak. Kemudian untuk menjaganya seharunya sudah tidak ada lagi urusan-urusan yang merusak perdamaian, seperti ancaman-ancaman ataupun opini-opini yang mengakibatkan ketidaknyamanan atau membuka kembali trauma paska konflik itu.

Sehebat apapun potensi anak-anak di Aceh, jika kita tidak berusaha menghilangkan trauma paska konflik yang terjadi hampir selama hampir 2 serta tidak menjaganya maka kita tidak akan bisa mencapai kembali generasi emas seperti Kerajaan Aceh dahulu.

Pendidikan dan Islam adalah Perajut Kekalnya Perdamaian
Konflik telah menyisakan persoalan-persoalan yang kasat mata, seperti perasaan dendam, perasaan tersia-siakan dan perasaan tidak terpuaskan dengan segala yang telah dilakukan. Konflik juga telah menghasilkan anak-anak yang selalu ketakutan, khususnya anak-anak yang langsung menjadi korban konflik akan dipenuhi dendam dan berpikiran pendek. Kesemuanya hanya menyebabkan mereka terkesan berada di dunianya sendiri dan akan dengan mudah dihasut untuk menjurus kepada kekerasan.

Terdapat juga anak-anak korban konflik yang tidak langsung, di dalam jiwa mereka akan terkotori dengan pemikiran-pemikiran tentang konflik itu sendiri, karena pada saat itu komunitas yang sedang berkonflik telah mendidik mereka.

Maka untuk memecahkan permasalahan itu semua, salah satu cara yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Sebagai salah satu contoh, pendidikan di Aceh memang sudah seharusnya di arahkan kepada Islam sesuai dengan budaya dan juga karena terdapat nilai-nilai kebaikan dan saling memaafkan disana. Selain itu,  pendidikan harus bisa memberikan sebuah nilai-nilai persatuan dalam perbedaan dan arti kemerdekaan hakiki untuk lepas dari kebodohan dan kemiskinan.

Dengan pendidikan, manusia bisa direkontruksi dengan meminimalisir pemikiran-pemikiran yang sifatnya merugikan dari korban konflik atau mereka yang masih usia dini dan memaksimalkan pemikiran-pemikiran yang baik. Sehingga kita tidak terlambat memberikan langkah-langkah untuk memaksimalkan potensi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi pada anak-anak Aceh untuk menjadi lebih baik kedepan sebagai generasi penerus.

Bila ini semua dilakukan, dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai Islam sebagai rahmatan lil alamin maka insya Allah akan melestarikan perdamaian ini menjadi lebih kekal sehingga Aceh kembali menghasilkan generasi-generasi emas dan mampu berkiprah kembali di dunia.

Menggunakan Norma dan Budaya Lokal
Permasalahan pendidikan dan social di Aceh pasca konflik dan tsunami sudah menjadi kajian oleh peneliti yang diseminarkan dalam sebuah konferensi tentang pendidikan di Oxford University tahun 2013, serta dipublikasikan di International Journal of Education Development, vol 8, pp. 2-12, 2014.

Sebagai orang Gayo, ketika membaca penelitian ini cukup menyentak hati karena peneliti bisa melihat perbedaan tindakan terhadap suku Gayo. Peneliti dengan lugas menjelaskan pada halaman 9, bahwa perlu ada perlakuan khusus dari pemerintah Aceh terhadap beberapa kelompok yang perpanjangan dari bentuk termarginalisasi, eksklusif dan tidak sama. Terdapat 4 kelompok yang disebut, 3 diantaranya disebabkan karena dampak dari penerapan syariat Islam di Aceh, sedangkan yang satunya terkait dengan perlakuan terhadap etnik yang berbeda dan bahasa yang berbeda, seperti halnya suku Gayo yang tinggal di dataran tinggi Aceh.

 Tentunya hal ini menjadi masukan bagi Pemerintah Aceh untuk lebih menghargai perbedaan yang ada, begitu juga ketika melaksanakan pendidikan haruslah lebih menghormati kekhasan lokal, seperti muatan lokal tentang bahasa Gayo untuk di dataran tinggi Gayo, tarian-tarian tradisional, pahlawan Gayo, dan lain sebagainya.

Bila hal ini dilakukan tentunya masyarakat yang berbeda dari etnik Aceh akan lebih termotivasi lagi, menghilangkan ketidakpastian dan menenangkan. Inilah modal utama untuk bisa memajukan pendidikan di Aceh.

Terakhir, untuk menjadi sebuah kesatuan tidak berarti harus sama, akan tetapi seperti yang dikatakan oleh founding father di Indonesia yang bisa berhasil menyatukan puluhan ribu pulau dengan ratusan etnik dan bahasa, yaitu Bhineka Tungga Ika. Perbedaan yang harus dikelola.

Sejarah juga membuktikan bahwa kedekatan masyarakat Gayo dengan pemerintah RI bukanlah sebagai isapan jempol belaka atau bukan seperti anak yang baru meminta permen kepada ibunya, tapi kedekatan itu sudah terjalin amat lama. Lebih kepada hubungan sejarah seperti radio rimba raya di Bener Meriah, pahlawan-pahlawan nasional di Gayo, dan lain sebagainya sebagai bentuk kedekatan tersebut.

Marilah kita semua membangun pendidikan di Aceh menjadi lebih baik lagi, menciptakan generasi-generasi penerus yang tidak saja bisa berkiprah di Aceh, akan tetapi juga di Indonesia maupun di dunia internasional. Marilah kita bercontoh kepada Jepang, setelah kehancurannya di bom atom oleh Amerika, maka yang pertama kali ditanya oleh pemimpinnya adalah berapa guru yang masih tersisa? Setelah itu mereka bangkit dengan memajukan pendidikannya terlebih dahulu hingga seperti sekarang ini.

*Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.