Sengeda Si Ahli Siasat dan Kontroversinya

oleh

*Kosasih Ali Abubakar

ilustrasi-gajah-tari-guelLELUHUR Urang Gayo secara turun babah kepada anak cucunya melestarikan kisah tentang Sengeda, seperti halnya kisah-kisah lain di Gayo seperti Atu Belah dan Putri Pukes. Tentunya leluhur kita bermaksud untuk memberikan sebuah pembelajaran dan nilai kepada kita semua sebagai generasi penerusnya dari kisah ini.

Dengan begitu banyak kisah yang ditulis tentang Sengeda ini dengan berbagai pandangan akan tetapi tetap dengan satu topic dan alur cerita yang hampir sama, maka penulis mengacu kepada tulisan dari Abubakar Bintang, 1940, tentang Kerajaan Linge dan Adat Istiadatnya.

Dalam kisah ini, secara garis besar Sengeda adalah seorang hamba yang berasal dari Raja Cik Serule Lanang yang ahli dalam berstrategi untuk mencapai keinginannya atau katakan saja sebagai ahli siasat yang luar biasa hingga berhasil mendirikan Kerajaan baru di negeri Linge.

Eksploitasi Keahlian dan Mengerti Keinginan Orang Lain
Hal ini dibuktikan dari kemampuannya untuk memanfaatkan keahliannya menggambar seekor gajah untuk menarik perhatian seorang Sultan Aceh yang terkenal bila mempunyai keinginan akan sulit ditahan untuk tidak didapatkannya.

Dalam kisah ini, keahlian menggambar seekor gajah yang tidak pernah dilihat oleh Sultan Aceh menggambarkan pengetahuan Sengeda tentang daerah yang ia tempati serta mampu untuk mengekploitasi kemampuannya itu untuk diketahui orang lain. Ia juga mampu memperkenalkan sesuatu yang hanya ada di daerahnya untuk kemudian dijadikan sebagai keuntungan.

Selain itu, ia juga mampu mengetahui karakter dari Sultan Aceh tersebut, artinya ia berhasil menemukan seorang penguasan yang mau melakukan apapun untuk mendapatkan yang diinginkannya, ia mempunyai ilmu untuk mengetahui keinginan, tindak-tanduk atau gerak-gerik seseorang.

Menurut penulis, inilah sebenarnya keahlian yang ada pada suku Gayo sejak dulu kala atau seharusnya dikuasai oleh orang Gayo, mental entrepreneur, mampu mengenal potensi dirinya dan potensi wilayahnya untuk kemudian dipasarkan untuk kepentingannya.

Percaya Diri Dengan Kepenuhatian, Pengaturan Waktu dan Amat Menghargai Hasil Pekerjaannya
Kisah Sengeda ini juga menceritakan kesabaran dan kepercayaan diri Sengeda untuk tidak meminta langsung pekerjaan menangkap gajah itu dari Sultan Aceh, karena ia mengetahui betul hubungan antara Sultan Aceh dan Raja Linge sebagai saudara sekandung. Menunggu.

Hingga akhirnya Sultan Aceh memberikan perintah kepada Sengeda untuk menangkap gajah tersebut setelah Abang dari Sultan Aceh, Raja Linge tidak memenuhi permintaan adiknya dengan segala alasan. Sengedapun berhasil mendapatkan sumpah dari Sultan Aceh untuk memenuhi kebutuhan yang ia inginkan bila mendapatkan gajah tersebut dan menggunakan orang-orang terbaik untuk membantunya. Menariknya, pada saat itu ia tidak mengatakan permintaannya kepada Sultan Aceh.

Inilah bentuk dari kepercayaan diri Sengeda dengan kehati-hatian dan ketepatan waktu untuk mendapatkan keinginannya serta menghargai hasil pekerjaannya.

Mampu memimpin dan mengelola sumber-sumber kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan
Kisah ini menceritakan, bagaimana setelah Sengeda mendapatkan sumber-sumber kekuasaan atas perintah dari Sultan Aceh, maka iapun mengumpulkan orang-orang yang dianggapnya bisa membantunya di bawah kepemimpinannya, sekaligus ia mempersiapkan alat-alat untuk membantunya dan perancangan daerah yang akan di jelajahi untuk mencar gajah tersebut.

Setelah dengan susah payah dan kerja keras akhirnya Sengeda bersama kelompoknya berhasil mendapatkan gajah yang diinginkan oleh Sultan Aceh. Sengedapun berhasil melewati rintangan-rintangan dalam perjalanannya ke Aceh dari Linge, seperti menjinakkan gajahnya agar bisa dibawa ke Aceh dan menemukan kembali gajahnya yang hilang.

Sesampai di Aceh, iapun kemudian memberikan gajah itu kepada Sultan Aceh, ketika Sultan menanyakan keinginan dari Sengeda, maka jawaban Sengeda cukup membingungkan Sultan karena ia meminta pusaka dari Raja Linge, Abangnya, sebuah Bawar.

Ketika ia mendapatkan Bawar tersebut, maka ia mendapatkan pengakuan dari Raja-raja dan Penghulu-penghulu di daerah sekitar Danau Laut Tawar dan berdirilah Kejurun Bukit di Linge.

Kontroversi Sengeda
Dalam tulisan ini, dikisahkan dengan adanya Sengeda maka terjadi pertengkaran antara Sultan Aceh dengan Raja Linge. Hal ini disebabkan karena Sultan Aceh memberikan Bawar Raja Linge kepada Sengeda sebagai hasil jerih payahnya menangkap gajah karena tidak bisa menduplikasinya, sedangkan Raja Linge memberikan Bawar tersebut hanya untuk dipinjam kepada Sultan Aceh dan untuk segera dikembalikan sebagai harta pusaka.

Hal yang sama dengan Datu Beru, karena dia mengetahui keras kepala dari saudaranya terkait dengan Bawar tersebut maka ia berhadap Allah SWT mengambil nyawanya di Tunyang, agar ketika Raja Linge ke Aceh bisa berkunjung ke kuburannya, begitu juga ketika Sultan Aceh ke Linge.

Selain itu, kejadian ini juga terbelahnya Kejurun Linge menjadi beberapa bagian serta keputusan dari Raja Linge untuk keluar dari penguasaan Sultan Aceh, ditandai dengan pelarangan seluruh penduduk Linge untuk membayar pajak kepada Sultan Aceh seperti yang dilakukan selama itu.

Sosok Sengeda bisa dianggap sebagai sosok yang kontrofersial. Ia bisa dikatakan sebagai seorang pengkhianat karena mengkhianati Rajanya, akan tetapi ia juga tidak bisa dikatakan pengkhianat karena ia mematuhi perintah dari Atasan Rajanya, Sultan Aceh. Anggapan pengkhianatannya karena ambisinya juga bisa dilihat dari permintaan Bawar kepada Sultan Aceh yang kemudian menyebabkan berdirinya Kejurun Bukit, berlepas dari Kejurun Linge.

Menurut penulis, Sengeda bisa saja dikatakan sebagai ahli siasat yang tahu akan keinginannya, sabar menuju kesana dan pekerja keras. Ia juga pandai dalam memanfaatkan setiap kesempatan atau kelemahan dari orang-orang yang bekerjasama dengan dirinya untuk kepentingan dirinya. Sehingga kekuragannya hanyalah satu, ia lebih mementingkan kepentingannya dibandingkan berpikir untuk kepentingan Kejurun Linge.

Menurut penulis juga, tidak sepenuhnya Sengeda bisa disalahkan. Sebelum Sultan Aceh meminta Raja Linge mencarikan gajah tersebut, ia sudah meminta bantuan kepada Raja Linge akan tetapi tidak disanggupi dengan berbagai macam alasan. Begitu juga ketika ia meminta Bawar, pada awalnya Sultan Aceh hanya meminjam Bawar dari Raja Linge untuk dibuat duplikasinya, karena tidak bisa maka diberikan aslinya ke Sengeda.

Akhirnya, penulis berharap akan banyak orang-orang Gayo sepintar Sengeda, akan tetapi lebih mementingkan kepentingan masyarakat gayo pada umumnya bukan menggunakan kepintarannya untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Penulis juga melihat bahwa dari kisah turun temurun ini, leluhur kita sudah memberikan petunjuk potensi dari orang Gayo, permasalahan ke depan yang mungkin di hadapi orang Gayo. Kesemuanya tergantung kita untuk memaksimalkan potensi kita dan meminimalisir kekurangan yang ada pada kita, karakter orang Gayo.

“Kenalilah dirimu sendiri, sebelum mengenal Tuhanmu, kemudian kenalilah yang lainnya, karena Allah menciptakan kita bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling mengenal dan saling menyebarkan rahmat-Nya.”[]

*Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.