Masyarakat Gayo Saat Ini

oleh

Arfiansyah*

Arfiansyah 3Pada tahun 2001, Ng Aik Kwang, seorang pengajar di  Nanyang Technological University, salah satu universitas terkemuka dunia dari Singapore, menerbitkan buku “Why Asians are Less Creative than Westerners” (Mengapa Orang Asia Kurang Kreatif Dibandingkan Dari Orang Barat). Buku yang mengkritik orang asia tersebut menjadi kontroversi semenjak diterbitkan namun juga menjadi buku terlaris pada tahun itu. Kwang, dalam buku tersebut, minimalnya mengulas 5 penyebab kelemahan orang Asia sehingga tertinggal dari Barat sebagai berikut:

  1. Bagi orang Asia, materi yang berlimpah adalah ukuran untuk hidup sukses.Kegemaran dan cita rasa kurang dihargai.Sehingga pekerjaan dibidang kreatifitas kalah popular dibandingkan dengan pekerjaan dibidang jasa, yang dianggap bisa menjadikan seseorang cepat kaya.
  2. Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang diperoleh lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. dalam kata lain, orang Asia lebih mementingkan hasil daripada proses. Sehingga tidak mengherankan prilaku koruptif ditolerir seperti suap menyuap untuk memberi atau mendapatkan pekerjaan, yang seharusnya tidak membutuhkan biaya.
  3. Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hapalan berbasis kunci jawaban, bukan pada pengertian.Ujian kelas, nasional, dan tes masuk perguruan tinggi dan sejenisnya kebanyakannya berbasis hapalan.Sampai menjadi mahasiswa pun disodorkan rumus-rumus dan konsep-konsep yang harus dihapal.Karena berbasis hapalan, sekolah-sekolah di Asia dijejalin dengan banyaknya mata pelajaran.Mereka dididik untuk tahu sedikit tentang banyak hal namun tidak ahli dalam bidang apapun.Karena model pendidikan demikian, maka tidak mengherankan bila banyak anak Asia yang menjadi juara Olimpiade Fisika dan Matematika, tetapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainnya berbasis inovasi dan kreativitas.
  4. Orang Asia takut salah dan takut kalah.Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.
  5. Bagi kebanyakan orang Asia bertanya adalah bodoh. Maka rasa penasaran tidak mendapatkan tempat dalam proses pendidikan sekolah. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau di dalam ruang seminar maupun workshop peserta jarang mau bertanya, tetapi setelah sesi berakhir peserta kemudian mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.

Sebagai bagian dari keluarga besar Asia, mentalitas masyarakat Gayo saat tidak keluar dari ke-lima point yang dijelaskan oleh Kwang. Kalaupun mungkin tidak lebih buruk dari itu. Ketika Kwang menjelaskan tentang tujuan sukses orang Asia, dia seperti menjelaskan tujuan sukses orang Gayo, yaitu materi yang berlimpah. Sehingga, jarang sekali kita temui di Aceh Tengah dan Bener Meriah pekerjaan-pekerjaan dibidang jasa atau pekerjaan yang berbasis inovasi dan kreativitas. Karena tujuan adalah materi dan kreatifitas kurang dihargai, maka kebanyakan masyarakat Gayo bergantung sepenuhnya pada keuangan negara, baik menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau kontraktor.Pada dataran pemerintahan, membuka lapangan pekerjaan sebagi abdi negara menjadi solusi mengurangi penganguran, sehingga banyak desa dan kecamatan yang dimekarkan, Kotamadya diusulkan dan provinsi baru diperjuangkan.

PNS dipandang sebagai pekerjaan satu-satunya yang dapat memberikan kenyamanan seumur hidup.Sedangkan kontraktor membuka peluang menjadi kaya dengan sangat cepat.Salah seorang teman saya yang baru memasuki dunia kontraktor mengeluhkan keadaan ini “Pengumuman pemenang tendernya masih lumayan lama, tapi prosesnya harus dikawal. Karena kalau tidak akan berpindah ‘jalur’ kepada ‘pemberi yanglebih dermawan’. Meski semua sudah online dan kelihatan transparan, tapi prakteknya sama saja. Bedanya sekarang kontraktor dan kepala-kepala dinas lebih hati-hati dalam dalam serah terima amplop”.

Karena harta yang berlimpah adalah ukuran kesuksesan, maka kebanyakan kita, masyarakat Gayo,  kurang menghargai proses. Semuanya ingin serba instan. Karenanya suap, korupsi dan nepotisme ditolerir dan menjadi rahasia umum bahkan berubah menjadi resep sukses. Seorang anggota keluarga, kerabat atau sahabat yang dinilai mulai sukses akan didorong dan didukung, meskipun terkadang hanya ngombal. Sering tujuannya adalah sebagai jalan pemulus atau pelumas mesin keluarga, kerabat, atau sahabat-sahabatnyauntuk cepat menjadi sukses dan kaya. Ungkapan “kati temas le kami pe puren”atau “kati temas le adek-adek mu nipe puren” menjadi ungkapan umum.Ungkapan ini secara tidak langsung mengambarkan tradisi pemerintahan selama ini.

Sebagai bagian kecil dari keluarga Asia, banyak masyarakat Gayo juga takut salah dan takut kalah.Dalam sebuah seminar, jarang sekali ada peserta yang mau bertanya karena takut salah atau malu. Masyarakat Gayo juga takut kalah.Untuk menghindari kekalahan,  kebanyakan masyarakat Gayo enggan terlibat dalam kompetisi dengan orang luar atau pendatang untuk mencapai sesuatu. Mereka lebih memilih menjadi penonton atau keluar dari arena dan berpindah ke lokasi aman lainnya, dimana kompetisi tidak ada.hal ini sedikit menjelaskan kenapa masyarakat Gayo lebih suka merubah hutan rimba menjadi kebun daripada berkreatifitas membuka lahan usaha baru. Sikap-sikap ini menjadi massif ketika pemerintah juga tidak memiliki kreativitas untuk mendorong usaha kreatif baik menyediakan modal perangsang, pelatihan atau promosi. Pemerintah lebih fokus pada aktivitas rutin pelayanan publik.

Darimana prilaku ini bermuara?Bila merujuk pada penjelasan Kwang, perilaku ini bermula dari sistem pendidikan.Sekolah-sekolah menjejalkan siswa-siswinya dengan banyak mata pelajaran dan semuanya harus dihapal bila ingin menjadi juara kelas. Proses pendidikan demikian terus berlaku hingga bangku kuliah. Model pertanyaan sering sekali dimulai dengan “sebutkan….!, apakah ciri-ciri dari…? “ dan sejenisnya. Anak-anak dituntut untuk menjadi juara kelas. Bukan dituntut untuk memahami mata pelajaran dan mendorong mereka untuk menguasai pelajaran yang mereka gemari dan cintai. Karena didorong untuk menjadi pelayan yang memuaskan hasrat orang tuanya dengan menjadi juara kelas. Anak-anak dididik untuk menjadi pelayan, bukan tuan. Sehingga, anak-anak berusaha mencari pekerjaan, bukan berkreatifitas membuka lapangan pekerjaan.

Perilaku koruptif atau mendorong perilaku koruptif tidak hanya terjadi pada proses mendapatkan perkerjaan (PNS, pegawai honorer, kontrakan, dan projek), namun juga terjadi pada masa-masa pendaftaran perguruan tinggi bahkan pada tingkat-tingkat sekolah.  Karena sukses diukur dengan materi, maka anak-anak diminta untuk memilih jurusan yang sesuai dengan lapangan pekerjaan yang biasanya meminta pegawai negeri baru dalam jumlah yang banyak, misalnya pendidikan, kesehatandan Ekonomi. Anak-anak tidak disarankan untuk mengambil jurusan yang ia gemari. Kebanyakan orang tua akan berusaha untuk membuka jaringan dan menyediakan ‘modal suap’ agar anaknya diterima di jurusan yang mereka sarankan. Akibat dari “dorongan” orang tua yang demikian, maka proses pendidikan di perguruan tinggi menjadi formalitas belaka untuk memperoleh ijazah. Bukan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian-pengertian.Karena anak tidak mendapatkan jurusan yang dia minati dan gemari.

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan ini?Dr. Ng Kwang menawarkan beberapa solusi untuk keluar dari permasalahan tersebut dan semua bermuara pada pendidikan sejak dini. Kwang menyarankan untuk mulai menanam pada kanak-kanak agar menghargai proses atau menghargai orang lain karena pengabdiannya. Bukan karena hasil akhir atau kekayaannya.Mulailah berhenti mengajarkan anak-anak berbasis kunci jawaban. Biarkan mereka memahami bidang yang paling mereka sukai, yang menjadi kegemarannya.Jangan jejali mereka dengan banyaknya hapalan. Untuk apa diciptakan kalkultar bila jawaban 9×8 harus dihapal? Biarkan mereka memilih sedikit mata pelajaran/mata kuliah, tetapi yang benar-benar mereka gemari dan kuasai.Biarkan anak-anak memilih pekerjaan berdasarkan rasa cinta dan kegemarannya pada bidang itu.Bukan memaksa mereka untuk mengambil jurusan kuliah atau pekerjaan tertentu yang orang tua anggap lebih cepat menghasilkan uang.

Karena dasar kreatifitas adalah rasa penasaran dan berani mengambil resiko.Jadi, tanamkan pada anak-anak keinginan untuk selalu bertanya. Guru adalah fasilitator, bukan Tuhan yang mengetahui segalanya. Jadi, mari kita akui bahwa kita memang tidak mengetahui apa-apa ketika kita memang tidak mengetahui jawabannya.Bukan lantas memarahi anak-anak karena pertanyaannya atau memberi jawaban yang tidak dibutuhkan.

Kegemaran dan rasa cinta adalah anugerah yang Kuasa.Sehingga kita bertanggungjawab untuk mengarahkan anak-anak untuk menemukan kegemaran dan cintanya serta mendukungnya.Dengan demikian mudah-mudahan kita memiliki generasi yang jujur, kreatif dan inovatif sekaligus memiliki integritas dan idealism yang tinggi, anti prilaku koruptif.

*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti di International Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.