[Cerpen]
Irama Br Sinaga
AKU mengenalnya secara kebetulan, kami pernah bergabung dalam satu acara juga satu kelompok dan tak taunya kebetulan juga satu fakultas, beda jurusan juga secara kebetulan. Hari-hari kami lalui, kebetulan kami tidak satu kost jadi aku sering main dan bahkan tidur di tempatnya. Terkadang juga numpang nyuci pas kebetulan di asramaku tidak ada air.
Bulan pun berganti tahun, banyak cerita masa lalu yang terungkap. Kebetulan aku orangnya suka mendengarkan curhatan. Eitsss tapi tetap terjaga..! meski terkadang kebocoran saat terlalu banyak bercanda, kapan ya materi tentang pernikahan??? hm lama menunggu.
Suatu hari kebetulan pulang dari pengajian, kami pergi kesebuah pantai di tempat kami menuntut ilmu, kebetulan salat ashar telah lalui di tempat biasa kami berkumpul dengan teman-teman Rumah Dakwah. Kebetulan juga saat itu suasana pantai ramai dengan berbagai macam ragam manusia dan orang jualan beraneka ragam, tapi secara kebetuan kami cuma selera makan sate.
Kebetulan kami anak perantaun, uang pun masih dikirim dari kampung. Eitsss si kawanku ne banyak uang, jadi kali ini aku ditraktir deh…!!!cihuiiiiiii makan sate gratis di pantai,,asikkkkk
Kebetulan satenya agak lambat datang jadi sambil memandang lautan kami buka senjata masing-masing. Si kawan buka Al-Qur’an coy. Essssss si kawan ku ne memang alim dan salehah. Dipantai pun baca Al-qur’an…!!!!! sepertinya bukan one day one juz lagi ne tapi every time one juz kalau disingkat jadi ETOJ (kaek minuman yang harga lima ratus deh, kalau dimasukkan kulkas dingin dan segar menyejukkan jiwa)…hm
Dan aku tak kalah saing dengan si kawan. Kebetulan ne, aku juga bawa senjata ampuh meluluhkan jiwa-jiwa yang lemah (hm yalah dah lemah pun). Ku buka buku kecil warna krim yang ku beli tak seberapa murahnya, kuambil pulpen hitam yang tintanya hampir habis, (bersyukur dindingnya hitam jadi gak keliatan mau habis he he). Ku tatap lautan yang luas, aku tak menemukan dimana ujungnya (lupa bawa kaca mata).
Aku coret-coret buku, seolah-olah sedang menulis sesuatu. Pandangan ku terganggu karena suara hiruk pikuk pemain sepak bola tim amburadul itu terlalu heboh jadi aku tak fokus menulis apa yang ingin aku sampaikan lewat tinta yang menunggu ajalnya.
Kebetulan kawanku sedang khusyuknya membaca Al-qur’an jadi aku potret saja untuk kenang-kenangan karena aku yakin suatu saat kami pasti berpisah karena kebetulan kami tidak sekampung. Kami bertemu pun kebetulan aku menuntut ilmu diperantauan ini kalau gak,,mana ketemu he he
Warna langit pun berubah menjadi merah jingga menandakan senja akan berlalu, kami pulang dan aku diantar ke asrama.
Malam itu minggu, selesai magrib ada teriakan dari lantai dua asramaku, kebetulan kamarku dilantai satu. Aku pun pergi mengikuti arah suara teriakan, kebetulan suaranya tak jauh dari tangga lantai dua. Aku masuk dan melihat adik asramaku kesurupan, aku pegang tangannya sembari baca tiga qul (tiga qul singkatan dari surah Al-ikhlas, Al-falaq dan An-nas). Teriakannya semakin kencang, jantungku berdebar (ternyata aku sok berani).
Adik-adik asrama yang lain pada ketakutan, hanya beberapa orang yang menangani, setelah beberapa saat kemudian badannya dingin dan dia minta diselimuti. Kebetulan ada kawan sebaya denganku, dia orangnya sedikit pakrol dan rasa ingin tahunya ketinggian, jadi dia penasaran setan siapa yang masuk dalam tubuh adik asrama itu. Dia pun mengorek dengan mengawali pertanyaan “Kenapa kamu kedinginan?”.
Setan itu menjawab “Aku baru pulang dari pantai”. (Setan kok bisa ngomong ya)
Kawan sebaya ini pun semakin penasaran, dia tanya lagi “Kenapa kok kamu bisa kedinginan, kamu mandi ya?”. Seolah dia sedang ngobrol sama adik sendirinya (jangan-jangan yang bertanya setan juga he).
“Ya aku mandi”. Jawab setan itu singkat.
Aku yang sedang mengepal telapak tangannya, dengan cepat bulu kudukku berdiri semua, merinding mendengar obrolan mereka. Kebetulan yang kesurupan tadi punya abang jadi kami hubungi dan suruh datang dan tak lama kemudian abangnya datang dan memberikan air putih yang dibacakan ayat-ayat Al-qur’an. Setelah keadaannya memulih kami pulang kekamar masing-masing. Tak sengaja aku teringat dengan obrolan setan tadi, katanya dia baru pulang dari pantai. Kebetulan aku juga pulang dari pantai “apa jangan-jangan dia mengikutiku ya?” bulu kuduk ku merinding dan aku tak lepas mengucap istighfar.
Beberapa bulan setelah kejadian kesurupan itu, secara kebetulan aku jumpa dengan si kawan yang salehah, yang sering kusapa dengan nama kesukaannya Tia kalau nama panjangnya tiaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Kalau nama di KTP nya Fitria Rahmi, nama yang keren seperti orangnya keren dan ideal.
Sebenarnya kami setiap akhir pekan selalu jumpa namun secara kebetulan pengajian akhir bulan itu tentang pernikahan. Aku senyum-senyum melihat si Tia, inilah materi yang ditunggu-tunggu. Namun diakhir pertemuan sang murabbi menegur Tia. Aku penasaran kenapa Tia ditegur seakan sudah ada orang yang ingin melamarnya. Mungkinkah aku ketinggalan informasi?.
Kebetulan aku orangnya memiliki rasa penasaran kelas atas. Jadi sepulang pengajian aku tanya pada Tia sahabatku yang salehah itu. Kebetulan setiap pulang dari pengajian aku ngebeng dengannya. Jangankan motor, sepeda pun aku tak punya namun tak meluluhkan hati untuk menuntut ilmu (Orang zaman dahulu, gak da motor juga bisa sukses).
“Ukhty, asik ya materi hari ini tadi, materi yang ditunggu-tunggu tu?”. Aku memulai jurus ala Sule. Aku memanggilnya ukhty (saudara perempuan).
“Ya, aku sangat suka”. Jawabnya singkat dan sembari melemparkan senyuman.
Wow, ada apa gerangan, penasaran ku pun semakin meningkat. Aku korek lagi..
“Hmm napa tu senyum-senyum, jangan-jangan ukhty yang dibilang ma murabbi tadi ya?, jawab jujur ukh, kalau gak aku doain ukhty tambah gendut”. Hm jurus ku sudah masuk 98%, karena kalau benar dia sudah ada yang mau melamar pasti dia gak mau gendut.
“ye ukhty ne ya? Masak gendut, hm yaudah deh kita cari tempat untuk cerita ya?”. Jiah peluru ku tidak meleset, benar adanya sahabatku ne sudah ada yang mau melamar.
Kebetulan senja belum menyapa, kami duduk ditepi pantai namun kali ini sate, tim sepak bola amburadul dan senjata kami tidak ada. Pantainya pun kami cari tempat yang sepi yang gak berisik. Kebetulan juga suasananya cocok untuk cerita dan curhatan gitu.
Setelah semua terungkapkan, perjalanan hidup yang begitu indah penuh tikungan, kami pun pulang ke habitat masing-masing. Kebetulan si kawan ne sudah lama ingin menikah walau usianya masih muda. Akhirnya Allah menjawab doa yang dipanjatkan disetiap sujud malamnya. Aku senang mendengar beritanya tak sabar melihat dia duduk dipelaminan pasti dia terlihat cantik dan cetar membahana.
Beberapa bulan setelah kami cerita, kebetulan dia sudah tamat kuliah dan pulang ke kampung halamannya meneruskan hidup dan mengurus pernikahannya. Lama kami tak bersua, tak ada cerita dan canda dihari-hari yang kami lalui.
Aku pun pada akhirnya tamat jua, meski tamatnya disepak-sepak dulu (Seperti bola). Setelah tamat aku jua pulang ke kampung halaman, hanya lewat sms kami mengobati rasa rindu akan kebersamaan. Kebetulan ijazahku belum keluar, setelah sebulan kemudian aku ke perantauan lagi mengambil ijazah. Dua hari di perantauan aku kerumah sang murabbi, rindu pada anak-anaknya. Aku dikejutkan dengan kabar yang gembira namun sedih.
“Ra, ada rencana datang ke pernikahannya Tia?”. Murabbi ku bertanya seolah-olah berita gembira itu sudah kukantongi.
“Lo, mangnya Tia kapan nikah kak? Ra gak dapat undangan?”. Jawab ku dengan nada asli Batak ku keluar.
“Jadi Ra belum dapat undangannya? Atau mungkin undangannya sudah dengan kawan pengajian? Kakak ne undanganya?”. Jawab sang murabbi dengan lemah lembut.
“Wah, masak Ra gak di sms sih kak?”. Tanyaku, seakan aku ne orang terpenting dalam hidup Tia. Sembari membaca surat undangannya, aku bertanya pada murabbi..
“Kak, calon suami Tia juga tidak punya orang tua lagi ya?”. Tanyaku dengan nada yang paling rendah menurutku. Kebetulan Tia juga tidak punya orang tua lagi, dulu semasa kami bersama, Tia pernah cerita. “Ya Ra”. Jawab murabbiku singkat.
Kebetulan kampung halaman Tia, jalan yang sering ku lewati ketika mau pulang kampung. Sebenarnya aku ingin lama di perantauan, ingin menikmati barangkali ini yang terakhir menginjak tempatku menuntut ilmu. Namun karena kebetulan Tia menikah dan aku ingin sekali menyaksikan akadnya. Perencanaan awal pun meleset aku lebih memilih untuk mengahadiri undangan pernikahan sahabatku dari pada berlama-lama di perantauan.
Malam itu senin, aku langsung menuju kampung halaman Tia. Kebetulan aku juga punya sahabat satu lagi di kampung Tia namanya Husnul, setelah tamat kami sudah lama tidak bertemu jadi aku singgah di tempat Husnul dan selasa paginya kami kerumah Tia menyaksikan pernikahannya. Bahagai bercampur sedih, saat itu aku ingin seklai menulis cerpen yang berjudul “Air Mata Kebahagian Membanjiri Aula KUA” kebetulan aku kehilangan kata-kata untuk mengawali ceritanya. Seperti biasanya kami mengabadikan pertemuan dengan berpose namun kali ini Tia memakai gaun yang indah dan dia terlihat sangat cantik seperti bidadari turun dari pesawat.
Kebetulan rinduku pun begitu dalam dan luas jadi aku tak ingin jauh darinya sehingga rindu pun terobati saat hari pernikahannya. [SY]
Irama BR Sinaga. Lahir di Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1990. Putra dari Tedek Sinaga dan Ibu Inang Angkat ini adalah anak bungsu dan putri satu-satunya dari lima orang bersaudara. Mempunyai hoby membaca dan traveling dengan motto La takhaf, Innaka Antal a’la (jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul). Sejumlah karya Irama Br Sinaga terpublikasi di beberapa media online. Saat ini selain menulis ia mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an di tanah kelahirannya dan tinggal di Jln. Hamzah Fansury Desa Lae Pinang Kecamatan Singkohor Singkil. Buku pertamanya terangkum dalam “Perempuan Berjangkat Utem” The Gayo Institute (TGI), 2015.





