Lane; Penghasil Garam Kerajaan Linge

oleh
Lancang Banan. (LGco_Khalisuddin)

Khalisuddin

Lancang Banan. (LGco_Khalisuddin)

Lancang Banan. (LGco_Khalisuddin)

/ter sihen…..ter sihen dene ku Gayo/
/ter Lane…..ter Lane…..ter Lane renye ku Ise Ise/

BEGITULAH syair lagu AR.Moese tentang Lane, nama salah satu Kampung di Kecamatan Linge berlokasi sekira 78 kilometer disisi jalan Takengon-Blangkejeren, berdampingan langsung dengan kawasan pengembangan peternakan sapi Bali yang diprogramkan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah sejak tahun 2004 lalu.

Kampung ini menyimpan sejarah penting, saat Kerajaan Linge berdiri sekitar 1025 Masehi (416 Hijriah), masa kehadiran Belanda sejak tahun 1902, pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang pecah pada tahun 1953 hingga penebangan pinus Merkusii oleh PT.KKA (Persero) untuk bahan baku kertas yang dimulai tahun 1985.

Lane, menurut saksi sejarah kelahiran 1936, M. Yusuf Aman Darma, warga Kala Empo Kampung Lane berasal dari kata Lan dan ne. Lan berarti material penyebab air keruh, air menjadi tidak jernih. berarti “nya”. Lanne berarti lumpurnya.

Nenek moyang warga Gayo menyebut Lane karena ditempat tersebut ada dua sumber mata air yang airnya tampak keruh, berasa asin kepahit-pahitan. Lanne ini menurut warga setempat yang berubah menjadi garam setelah dimasak, prosesnya persis seperti membuat garam di pesisir pantai. Jika ada pertanyaan bernada heran kenapa air yang dimasak menjadi garam, mereka menjawab Lanne yang menjadi garam.

Sumber mata air itu jaraknya sekitar 2 kilometer dari sisi kanan jalan menuju Blangkejeren dari arah Takengon. Mereka menamainya Lancang Rawan (Laki-laki-Gayo:red) dan Lancang Banan (Perempuan:Gayo-red). Jarak kedua Lancang ini sekitar 300 meter, Lancang Rawan berlokasi di arah timur di perbukitan dibawah rerimbunan pohon rotan dan jenis semak belukar lainnya sementara Lancang Banan di arah barat dipersawahan milik warga Lane.

Dataran tinggi Gayo umumnya termasuk kawasan Linge cukup jauh dari tepi laut, hingga ratusan kilometer. Dulu, butuh waktu berhari-hari berjalan kaki untuk mendapatkan garam. Kondisi ini menyebabkan warga Gayo “dulu” berpikir mencari solusi bagaimana cara memproduksi garam sendiri. Mereka kemudian memanfaatkan air asin yang bersumber dari Lancang Rawan dan Lancang Banan. Konon sebagian besar kebutuhan garam untuk kerajaan Linge berasal dari Lane ini.

M. Yusuf Aman Darma mengaku tidak pernah melihat pembuatan garam di zaman Belanda, namun turut menjadi pekerja pembuat garam paska kemerdekaan Republik Indonesia, di masa-masa sulit, persisnya saat pecahnya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di tahun 1950an. Dalam ingatan M. Yusuf Aman Darma pada tahun 1955 hingga 1958. Saat itu, pembuatan Garam di Lane dikoordinir oleh salah seorang tokoh DI/TII, Pang Alim. Pada tahun 1959, DI/TII sudah tidak eksis di kawasan tersebut dan pembuatan garam pun terhenti.

Proses Pembuatan Garam Lane
Dalam ingatan M. Yusuf Aman Darma, pembuatan garam dilakukan dalam beberapa belanga (wajan) besar dengan volume maksimal hingga 12 kaleng air atau setara dengan 480 liter (1 kaleng 40 liter). Suatu keanehan atau tanda tanya yang belum terjawab adalah air yang diolah menjadi garam mesti berasal dari kedua Lancang tersebut dengan volume yang sama. Jika yang dimasak atau diolah menjadi garam hanya bersumber dari salah satu Lancang baik Banan atau Rawan maka jangan diharap setelah di masak akan menjadi garam.

Pengalaman M. Yusuf Aman Darma, sebanyak 10 kaleng air yang dimasak akan menghasilkan garam sebanyak 3 are (bambu) garam dengan jangka waktu pemasakan sekira satu hari satu malam (24 jam). Garam yang dihasilkan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang memerlukan, tidak ada jual beli saat itu.

Lnacang Rawan. (LGco_Khalisuddin)
Lnacang Rawan. (LGco_Khalisuddin)

Catatan C. Snouck Hurgronje
Dalam catatan Muhammad Syukriberjudul Garam Lane di Mata Snouck, Lane berada di ketinggian 600 meter dari permukaan laut. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners (1903) yang telah diterjemahkan Hatta Hasan (1996) menjelaskan tentang Lane. Menurut dia, kondisi Lane saat itu (sekitar tahun 1901) selain pondok-pondok Peruweren (kawasan penggembalaan ternak khususnya kerbau) terdapat pondok pemasak garam sebagai tempat bermalam selama bekerja. Di daerah itu terdapat dua buah sumur garam yang bernama lancang, sumur yang berisi air keruh dan mengelegak,

Snouck mencatat, garam Lane rasanya agak tawar, tetapi kalau terlalu banyak menjadi pahit. Di tempat pembuatannya, harga garam Lane untuk 8 are (16 liter) senilai 1 ringgit. Pada tahun 1901, Jansen seorang insinyur tambang telah membeli sedikit sampel garam Lane.

Dia kemudian meminta Professor Dr. P. van Romburgh menganalisis garam Lane. Hasilnya terdiri dari air (22,39%); pasir dan lain-lain (7,50%); CO2 (15,40%); SIO2 (0,40%); Cloor atau CL (18,20%); Alumunium atau Al2O2 dan Fe2O2 (2,90%); Kapur (15,75%); Magnesia atau MgO (5,18%); Natron atau Na2O (17,10%); dan Kali atau K2O (0,20%).

M Yusuf Aman DarmaHal Aneh
Ada yang dianggap aneh dan belum terjawab hingga sekarang. Menurut warga setempat termasuk M. Yusuf Aman Darma, pernah terjadi dari Lancang ini keluar benda-benda yang lazim dipakai oleh manusia berupa pakaian dan benda-benda lainnya. Kondisi ini menurut cerita yang berkembang sempat membuat resah warga setempat dan berupaya menutup mata air Lancang tersebut.

Situs Sejarah Gayo
Lokasi sumber air Lane, Lancang Rawan dan Lancang Banan adalah situs sejarah yang semestinya diselamatkan dan sangat berpotensi sebagai tujuan wisata sejarah. Sayangnya, hingga saat ini samasekali belum disentuh terlebih dikelola dengan baik sebagai kekayaan daerah.

Kondisi tempatnya memprihatinkan, tidak ada akses jalan, selain jalan setapak menuju persawahan warga. Saat dikunjungi, sebagian lokasi Lancang Banan dipagar, ternyata adalah bagian dari Uwer (kandang ternak-Gayo;red). Di tempat masih terlihat bekas aktivitas masa lalu. Ada tonggak kayu yang menancap kuat kedalam tanah. Sementara Lancang Rawan, sulit ditemukan jika tanpa penunjuk jalan. Lokasinya di dalam hutan kecil, mesti merunduk dan membawa sejenis parang untuk bisa mencapai lokasinya.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.