Siaran Pers : BKSDA Aceh
Hingga hari ini, Minggu 22 Februari 2015, tim BKSDA Aceh masih berada di Bener Meriah untuk melakukan penanganan konflik gajah liar yang eskalasinya telah meningkat dalam beberapa waktu terakhir ditandai dengan jatuhnya korban ke empat seorang ibu rumah tangga bulan lalu.
Keberadaan tim BKSDA kali ini lebih panjang dari biasanya, disebabkan oleh permintaan pemerintah kabupaten setempat untuk dilakukanya penanganan yang komprehensif sehingga tercapai solusi yang berdurasi jangka panjang.
Gayung bersambut, permintaan bupati Bener Meriah tersebut dijawab Kepala BKSDA Aceh dengan serangkaian rekomendasi yang langsung ditindaklanjuti termasuk didalamnya kebutuhan untuk memasangkan kalung GPS (GPS collar) kepada perwakilan individu pada populasi gajah liar di wilayah tersebut.
Serangkai tahapan strategis lainya turut direkomendasi termasuk pemasangan barrier buatan (artificial barrier) berupa galian parit pada lokasi-lokasi tertentu dengan tujuan menyambungkan barrier alami yang memang sudah tersedia dan efektif berupa tebing-tebing jurang yang membatasi kawasan budidaya masyarakat dengan kawasan habitat gajah liar.
Pemerintah Bener Meriah dengan sigap langsung memfollow up pembuatan barrier sesaat setelah tim BKSDA berhasil mengeluarkan kawanan gajah liar dari kawasan budidaya masyarkat. Saat ini penggalian parit pembatas masih dilanjutkan untuk beberpapa titik yang dibutuhkan.
Sebagai bagian tak terpisah dari rencana penanganan yang komprehensif BKSDA Aceh juga merekomendasi untuk dibentuknya tim CRU (unit respon konservasi) yang akan diperlengkapi dengan gajah jinak dan staf terlatih untuk dapat bekerja dalam basis harian bersama pemerintah setempat dan masyarakat dalam mengimplementasikan beragam komponen strategi jangka panjang termasuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat terhadap arti penting keanekaragaman hayati dan pola interaksi positif antara kegiatan perekonomian yang sensitif terhadap resiko berkonflik dengan satwa liar.
Khusus untuk daerah yang berbatasan dengan habitat gajah liar, pilihan komoditi perkebunan yang sesuai dinilai Kepala BKSDA Aceh menjadi resep mujarab untuk dapat hidup berdampingan dengan gajah yang secara empiris telah dibuktikan oleh leluhur bangsa Aceh pada zaman-zaman keemasan kesultanan Aceh Darussalam.
Kompleksnya misi BKSDA kali ini, menjadi sebab diikutsertakanya beberapa komponen mitra kunci BKSDA Aceh termasuk unsur dari Pusat Kajian Satwa Liar- FKH Unsyiah dan juga tenaga medis dari Vesswic.
Kepala Balai, Genman Hasibuan mengatakan BKSDA akan memasang GPS collar di beberapa populasi utama gajah di Aceh sebagai termaktub dalam dokumen strategi konservasi dan penanggulangan konflik gajah di Aceh yang telah dibangun oleh BKSDA bersama semua stakeholder terkait sejak tahun lalu.
Salah satu tujuan pemasangan GPS collar ini agar dapat memonitor pergerakan kelompok-kelompok gajah tersebut dan menjadi bagian dari system peringatan dini.
Disamping itu data yang akan didapat nantinya akan mengkonfirmasi homerange masing masing populasi dan pola penggunakan bentang alam sehingga menjadi dasar bagi upaya pengelolaan habitat di masa depan. GPS collar yang dipasangkan ini merupakan kerjasama antara BKSDA dan Pusat Kajian Satwa Liar-FKH Unsyiah.
Wahdi Azmi dari FKH Unsyiah menyampaikan bahwa pihaknya tengah menggandeng institusi Max Planck dari Jerman dalam mengembangkan aplikasi teknologi ini di masa depan. Menurutnya, teknologi GPS collar yang sekarang telah dipasang di dua individu gajah di Bener Meriah ini bukanlah GPS Collar biasa, collar ini telah dicangkok perangkat accelerator dengan definisi tinggi (high definition) yang tercanggih saat ini yang dapat memberikan informasi perilaku gajah lebih kompleks.
GPS collar biasa mentransfer data dan dapat diakses via internet setiap 5 jam sekali, akan tetapi data yang tersimpan dalam high definition tag dengan accelerator apabila telah di download menggunakan perangkat khusus secara periodik akan memberikan informasi jauh lebih detil. Akan ada ribuan titik posisi untuk setiap harinya, kita juga akan dapat tahu membedakan gerakan 3 sumbu (x,y,z) sedetil beda antara berbaring dan berdiri gajah.
Kepala Balai BKSDA menyatakan tidak ada solusi tunggal untuk konflik satwa liar dan manusia, yang paling utama tentu mengalokasikan habitat gajah dan melakukan perlindunganya. Semua yang kita rencanakan ini hanya akan berdayaguna apabila seluruh kombinasi solusi dilaksanakan dengan baik dan dirawat serta digunakan dengan baik.
Teknologi apapun yang dihadirkan untuk membantu hanya akan bermanfaat apabila memang dimanfaatkan. Dan hal itu semua memiliki konsekwensi terhadap pekerjaan di masa depan. Skema pemantauan yang melibatkan unsur pemerintah kabupaten yang berjenjang ke Camat dan Desa harus dibangun, hal ini merupakan prasyarat.
“Kami telah menandatangani nota kesepakatan bersama dengan pak Bupati Bener Meriah yang meliputi beberapa poin diantaranya komitmen untuk membangun skema pemantauan dan alur komunikasi system peringatan dini. Dinas kehutanan baik di Bener Meriah maupun Bireun saat ini telah membangun system pemantauan tersebut. Kadishutbun Bener Meriah akan memanfaatkan fasilitas radio broadcast dalam menginformasikan hal-hal yang dibutuhkan kepada masyarakat,” kata kepala BKSDA.
Pekerjaan rumah kita terkait penanganan konflik satwa liar masih panjang, tapi kita sangat optimis. Konstelasi Bener Meriah-Aceh Tengah–Bireun memiliki potensi sukses yang tinggi, namun dibutuhkan koordinasi ditingkat propinsi karena hal ini merupakan problema lintas batas kabupaten.
Penempatan tim CRU
Kepala Balai BKSDA, juga menyampaikan rencana mereka untuk menempatkan tim khusus yang dinamakan CRU (Conservation Response Unit) yang diproyeksikan untuk dapat melaksanakan tupoksi BKSDA di wilayah kerjanya, terutama dalam melakukan mitigasi konflik satwa liar dan manusia dan bekerja bersama masyarkat setempat untuk mencapai pilihan pilihan solusi yang lebih permanen termasuk penyesuaian kegiatan sumber mata pencaharian masyarakat yang rendah resiko berkonflik dengan satwa liar melalui pemilihan komoditi yang cermat.
Tim CRU akan dilengkapi dengan gajah jinak patroli dan juga para mahout yang memiliki skill yang khusus serta didampingi oleh Pamhut dan pemuda setempat. Hal ini akan melengkapi strategi komprehensif pengelolaan satwa liar di Aceh yang saling berkaitan dengan langkah strategi lainya termasuk pemasangan kalung GPS.
“CRU merupakan sebuah konsep yang brilian dan telah menjadi inspirasi dalam strategi dan rencana aksi konservasi gajah di tingkat nasional. “Konsep ini diawali di Aceh di sekitar penghujung 2002 dan telah di replikasi di banyak tempat lain di Sumatera. Kita akan pertahankan dan kembangkan konsep ini, CRU sekaligus merupakan pintu gerbang keterlibatan pemerintah daerah lebih jauh dalam upaya-upaya konservasi satwa liar di Aceh,” jelasnya.
Saat ini BKSDA ACEH telah mengantongi sejumlah komitmen dari pemerintah kabupaten untuk membina CRU diwilayahnya untuk dijadikan sentra bagi kegiatan kreatif masyarakat sambil melestarikan sumber daya alam. “Kita setidaknya butuh 7 CRU di Aceh sehingga kita dapat mengontrol konflik satwa liar dalam tingkatan yang dapat ditoleransi masyarakat. Berbagai mitra telah mencoba silih berganti, dan BKSDA sangat memberikan apresiasi yang tinggi bagi mitra-mitra yang tetap bertahan dan menunjukkan kesungguhan komitmenya yang teruji oleh waktu. (DM)