Kerbau, Ternak yang Lekat dengan Kearifan Lokal Gayo

oleh
Membajak sawah dengan kerbau di Owaq Aceh Tengah. (Foto : Khalisuddin)

Oleh : Win Wan Nur

Penulis sedang memberi garam pada Kerbau peliharaannya (dok Pribadi)
Penulis sedang memberi garam pada Kerbau peliharaannya (dok Pribadi)

Jauh sebelum Gayo dikenal sebagai daerah penghasil Kopi Arabika terbesar di Asia.  Gayo sudah terlebih dahulu dikenal sebagai daerah penghasil ternak Kerbau (Bubalus bubalis).

Kalau kopi yang diusahakan oleh warga Gayo yang hidup di dataran tingggi, Kerbau atau Koro dalam bahasa Gayo sebagaimana fitrahnya yang merupakan ternak asli daerah panas dan lembab khususnya daerah belahan utara tropika.  Diusahakan oleh warga Gayo yang tinggal di dataran rendah, seperti kecamatan Linge di Aceh Tengah, daerah Uber-Uber dan Samarkilang di Bener Meriah, serta di Gayo Lues.

Karena usaha peternakan kerbau ini sudah ada di Gayo sejak lama sekali. Maka cara pemeliharaan dan pengusahaan peternakan kerbau di Gayo pun menjadi sangat khas. Lekat dengan budaya dan kearifan lokal di Gayo, sehingga usaha pemeliharaan kerbau di Gayo memiliki keunikan tersendiri.

Jika kopi Arabika adalah identitas bagi warga Gayo yang tinggal di dataran tinggi, maka Kerbau adalah identitas bagi warga Gayo yang tinggal di dataran rendah.

Para peternak kerbau di Gayo tidak mengandangkan kerbaunya sebagaimana yang dilakukan oleh peternak di pulau Jawa misalnya. Di Gayo kerbau hanya dikandangkan dalam sebuah kandang yang dalam bahasa Gayo disebut Uwer. Sebutan Uwer, bisa memiliki luas sampai beberapa hektar, tergantung jumlah kerbau yang dipelihara.

Setiap pagi, kerbau-kerbau itu dilepaskan untuk merumput di padang penggembalaan. Tapi tidak ada penggembala yang mengawasinya. Kerbau-kerbau itu mencari makan sendiri, dan sore hari menjelang maghrib kerbau-kerbau itu akan pulang ke Uwer untuk bermalam.

Karena usaha peternakan kerbau di Gayo sangat mengandalkan kebaikan alam, dengan sendirinya para pemilik kerbau di Gayo sangat peduli dengan kelestarian alam. Orang Gayo tidak akan meracuni ikan di anak-anak sungai yang ada di daerah peruweren (kawasan yang terdiri dari beberapa Uwer), tidak dengan sembarangan menebangi pohon apalagi membakar hutan.

Kerbau adalah hewan yang sangat menyukai garam. Karena itulah sehabis shalat Maghrib, jika kita mampir ke uwer-uwer di Gayo. Kita akan menyaksikan para pemilik kerbau, biasanya bersama dengan anak-anaknya, sedang memberi garam kepada kerbau-kerbaunya yang baru pulang. Kerbau-kerbau itu langsung menjilati garam dari tangan pemiliknya.  Para peternak kerbau di Gayo percaya, dengan selalu diberi garam. Kerbau-kerbau itu akan selalu ingat pulang, setelah seharian mencari makan di padang rumput.

Berbeda dengan kopi yang bisa diusahakan oleh siapa saja, tidak demikian halnya dengan kerbau. Di Gayo, hanya orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu saja yang bisa berhasil menernakkan kerbau. Dan tidak semua syarat itu dapat dijelaskan secara ilmiah.

Seolah sudah ditakdirkan kalau Kerbau di Gayo, hanya  bisa berkembang kalau dimiliki oleh orang tertentu saja. Tuah yang sifatnya sangat subjektif berperan sangat penting dalam kesuksesan usaha ternak kerbau secara tradisional di Gayo.

Percaya atau tidak, bahkan dalam satu keluarga yang terdiri dari beberapa anak yang masing-masing diwarisi kerbau oleh orang tuanya. Tidak akan semuanya berhasil, biasanya hanya beberapa orang saja yang memiliki Tuah yang bisa berhasil kalau memelihara kerbau. Dan ini adalah masalah yang sangat sensitif dalam usaha peternakan kerbau di Gayo.

Bagi yang tidak ditakdirkan untuk memiliki Tuah dalam memelihara kerbau. Entah mengapa, ada saja alasan yang membuat kerbaunya gagal berkembang, entah itu diterkam hewan buas, jatuh ke jurang, keguguran dan banyak alasan lain. Tapi, begitu kepemilikannya dialihkan kepada saudaranya yang memiliki Tuah, kerbaunya langsung berkembang biak pesat.

Keunikan lain dalam budi daya ternak kerbau di Gayo. Kerbau di Gayo entah mengapa seolah memiliki kontak batin dengan pemiliknya. Meskipun sang pemilik berada jauh di seberang lautan, tapi setiap gerak dan langkahnya seolah mempengaruhi kerbau-kerbaunya. Karena itulah, pemilik kerbau di Gayo biasanya sangat menjaga sikap dan gerak langkahnya. Sebisa mungkin untuk tidak merugikan orang lain.

Karena itulah, meskipun di padang penggembalaan yang luas di daerah Linge. Semua orang memiliki hak yang sama untuk memelihara kerbau. Tapi tidak semua orang sukses memelihara kerbau.

Di masyarakat, para pemilik kerbau biasanya dikenal sebagai orang yang jujur dan lurus, tidak macam-macam. Sebab, percaya atau tidak, setiap sikap kali pemilik kerbau melakukan kecurangan.  Biasanya itu akan langsung berdampak pada kerbau peliharaannya. Karena itulah, untuk di daerah Isak dan daerah Linge, orang yang sukses beternak kerbau biasanya sangat dihormati, bukan karena kekayaannya tapi karena kepribadiannya.

Sampai dekade 1990-an, daerah Ketapang, Lane sampai Lumut di Kecamatan Linge adalah daerah peternakan kerbau. Ada beberapa  Uwer besar dengan populasi kerbau rata-rata di atas 100 ekor per Uwernya mulai dari Owaq sampai ke Lane.  Hampir semua Uwer tersebut dimiliki para Haji yang berasal dari Isak. Yang di masyarakat Isak sendiri, mereka umumnya dikenal karena memiliki kepribadian yang baik serta memiliki ilmu agama yang mendalam.

Membajak sawah dengan kerbau di Owaq Aceh Tengah. (Foto : Khalisuddin)
Membajak sawah dengan kerbau di Owaq Aceh Tengah. (Foto : Khalisuddin)

Tokoh-tokoh masyarakat Gayo yang berasal dari Isak, yang banyak dikenal saat ini. Hampir bisa dipastikan adalah anak keturunan dari para peternak kerbau di zamannya.

Tapi sayang sekali akibat meluasnya konflik di Aceh pasca reformasi. Pemerintah memutuskan untuk mengirimkan tentara ke sekitar daerah Ketapang dan Lane yang merupakan wilayah peruweren warga Isak. Melihat cara pemeliharaan yang tidak biasa ini, para tentara menembaki kerbau-kerbau milik warga karena dianggap sebagai kerbau liar. Sebab tidak dikandangkan. Tentara juga memerintahkan, rumah-rumah di peruweren yang biasanya hanya didatangi pemilik sebulan sekali, untuk dibongkar. Karena dikhawatirkan akan dijadikan markas oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat itu masih disebut Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK). Padahal, tidak pernah ada sejarahnya GAM sampai ke Lane.

Akhirnya di awal dekade 2000-an para pemilik kerbau di wilayah ini rata-rata menjual habis seluruh kerbaunya dan menjadikan uangnya sebagai modal untuk usaha lain atau berangkat naik haji.

Belakangan, pemerintah Kabupaten Aceh Tengah membuat kebijakan untuk mengembangkan peternakan di wilayah ini. Tapi, anehnya, entah atas dasar apa ternak yang dikembangkan adalah sapi Bali yang sebenarnya cukup asing bagi kebanyakan warga Gayo di wilayah ini.

Alhasil, kerbau yang merupakan bagian dari identitas warga Gayo yang tinggal di dataran rendah pun. Secara drastis mengalami penurunan populasi.

Saat ini sudah sulit mencari peternak yang memiliki kerbau di atas 100 ekor. Berdasarkan sensus BPS tahun 2013, populasi kerbau di tiga kabupaten Gayo hanya tersisa 23.300 ekor. Padahal di tahun 1980-an, untuk wilayah pulau seperti Simeulue saja ada 45.000 ekor kerbau. Di Gayo, paling tidak ada dua kali lipatnya.

*Penulis adalah seorang peternak kerbau asal Isak

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.