Vera Hastuti, M. Pd*
Di Masyarakat Gayo, kata- kata petuah “Beloh Sara Loloten, Mewen Sara Tamunen, Ke Bulet Lagu Umut, Ke Tirus Lagu Gelas. Bukanlah hal yang baru. Makna kalimat di atas adalah persatuan dan kesatuan, tidak hanya sebatas persatuan dan kesatuan saja, tetapi masih memiliki banyak arti, di antaranya adalah, tidak melupakan jati diri sebagai orang Gayo, Selalu berpegang teguh terhadap nilai adat dan norma adat masyarakat Gayo. Dan, segala bentuk rintangan dapat dihadapi dengan kebersamaan.
Kata-kata petuah ini sering kali tertulis “manis” pada baliho-baliho calon legislatif dan anggota dewan pada masa kampanye. Gapura – gapura pintu masuk ke suatu kampung atau desa di Takengon pun sering juga tertera tulisan ini. Bahkan seingat saya, sewaktu kecil saat saya belajar membaca, tulisan petuah ini sengaja ditulis dengan huruf berukuran besar pada pintu masuk gapura besar di pembelokan Singah Mata, bersamaan dengan tulisan “ Selamat Datang di Kabupaten Aceh Tengah”
Makna lain yang dapat disimpulkan dalam kalimat petuah diatas adalah tentang bagaimana urang Gayo harus saling menjaga marwah dan martabat sebagai orang Gayo. Tapi, nyatanya akhir-akhir ini. Sebagian orang atau oknum mungkin telah melupakan makna kata-kata itu. Banyak sekali komentar – komentar di media sosial yang saling menyudutkan sesama urang Gayo. Sebut saja salah satu media online di Dataran tinggi Gayo yang menyebutkan bahwa urang Gayo suka “unung-unung” (ikut-ikutan) menanam kentang sehingga menyebabkan harga kentang turun. Lebih miris lagi, ada sebuah akun fb menyebutkan bahwa orang Gayo bengkep dan hanya bisa berpangku tangan menyikapi longsor yang terjadi di Merie Satu pada tanggal 31 Desember 2014. Dan masih banyak komentar-komentar miris lainnya.
Ibarat menelanjangi diri sendiri, serupa itulah yang terjadi bila sesama urang Gayo saling mencerca. Padahal, jika diteliti dan telisik lebih dalam, budaya “unung-unung” dilakukan hampir semua individu. Tidak memandang ianya suku dan bangsa apa, pasti akan melakukan hal yang sama. Bahkan banyak orang di kota besar bahkan ibu kota provinsi juga melakukan budaya unung-unung. Sehingga, dampaknya membuat persaingan terutama dalam bidang ekonomi lebih ketat dan setiap pemerannya harus bermental kuat. Bahkan, unung-unung bisa menjadi hal positif jika disikapi dengan pola pikir positif.
Unung -unung sebenarnya setali tiga uang dengan budaya ATM (amati, tiru, modifikasi) yang sering kita dengar sebagai salah satu metode bidang marketing yang sangat terkenal di dunia saat ini terutama di negara industri Cina. Bahkan, Suwandono , seorang motivator bisnis menyatakan bahwa metode yang amat sederhana dan efektif dalam memulai ide bisnis adalah metode ATM, yakni metode : Amati, Tiru, Modifikasi. Metode ini amat mudah diterapkan dan tidak memerlukan banyak teori. Siapa pun bisa mengadopsi jurus ATM ini, yang berpendidikan tinggi hingga yang buta huruf, yang memiliki modal kapital dan yang bermodal “dengkul”, yang hidup di kota maupun desa.
Nah, tinggal bagaimana kita menyikapi budaya unung-unung dengan suatu kebaruan yang orang lain belum pernah lakukan. Jika budaya unung-unung mengakibatkan kerugian, seharusnya kita bisa ambil sisi positif sebagai cambuk untuk keberhasilan. Karena orang sukses adalah orang -orang yang pernah gagl sebelumnya. Bukankah mencoba jauh lebih baik dari pada hanya duduk diam berpaku tangan mengalah pada nasib?
Menyikapi komentar Akun salahsatu Fb yang mengaku saat terjadi longsor di Merie Satu berada pada tempat yang sama tapi berkomentar bahwa orang Gayo bengkep dalam berurusan dan hanya berpangku tangan adalah bentuk ketidakkonsistenan antara perkataan dan perbuatan. Sejatinya jika ia di tempat yang sama seharusnya sebagai pemberi komentar beliaulah yang seharusnya sebagai pilot proyek apa yang harus dilakukan urang Gayo untuk mengatasi longsor di tempat itu. Dan pada akhirnya, beliaupun hanya bisa mencibir tanpa berbuat. Sama hanya dengan aksi tanpa reaksi sama dengan nol.
Dan, jika komentar ini pun kita kaitkan dengan masalah orang atau suku. Saya yakin, di sudut daerah manapun pasti melakukan hal yang sama. Karena, pada saat kejadian itu hujan lebat tengah melanda. Mobil alat berat tengah dikerahkan untuk membersihkan badan jalan sedangkan orang-orang dilarang mendekat untuk menghindari timbunan longsor. Apakah hal ini juga dapat digolong kan dengan berpangku tangan? untuk hal ini hanya pemilik akun itulah yang dapat menjawabnya.
Bijak dan pandai-pandailah dalam menggunakan media sosial. Media sosial adalah media dimana semua orang dipenjuru dunia dapat membaca apa yang kita tulis. Apalgi jika itu menyangkut nama baik suatu daerah. Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Sebuah tulisan yang mencibir urang Gayo padahal ditujukan untuk segelintir orang saja , dapat membawa kemudharatan untuk seluruh urang Gayo. Kita akan menjadi suku yang bermatabat jika kita saling menjaga harga diri dan identitas sebagai urang Gayo. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.
*Penulis tinggal di jalan Sengeda Takengon. Aceh Tengah