Ini sudah tahun 2015, apakah kita biarkan Gayo terus begini?

oleh
Penulis (kiri) dan Yusra Habib Abdul Gani (kanan). (Foto : Khalis)

Oleh : Win Wan Nur*

Penulis (kiri) dan Yusra Habib Abdul Gani (kanan). (Foto : Khalis)
Penulis (kiri) dan Yusra Habib Abdul Gani (kanan). (Foto : Khalis)

Tahun 2014 yang penuh dinamika sudah kita tinggalkan. Tanpa terasa sekarang kita sudah di tahun 2015, tahun ke -16 milenium ketiga.

Berbagai permasalahan dan harapan Gayo sudah kita inventarisir dan klasifikasikan di 2014 silam. Pembicaraan tentang permasalahan Gayo sudah dibicarakan di tiga kabupaten Gayo. Dimulai dari acara “Menatap Gayo” di Hotel Linge Land di Aceh Tengah. Kemudian dilanjutkan pada seminar “Asal Usul/Budaya Gayo” di Gayo Lues dan terakhir di acara bincang-bincang yang diprakarsai oleh ‘Redelong Institute’ di Bener Meriah.

Dalam semua pertemuan itu, yang ketiganya dihadiri banyak tokoh Gayo yang beberapa di antaranya hadir dalam ketiga pertemuan itu. Selalu muncul satu kegelisahan dan harapan. Gelisah karena begitu banyak aspirasi rakyat Gayo yang tidak menemukan saluran untuk disampaikan. Dan harapan bagaimana menyatukan Gayo dalam sebuah wadah yang tidak dibatasi oleh administrasi wilayah yang mengekang.

Pada diskusi terakhir di Bener Meriah yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting baik formal maupun non formal yang begitu banyak menghabiskan waktu untuk berpikir dan berbuat untuk Gayo. Sehingga mereka begitu memahami permasalahan yang ada di Gayo. Ada sebuah kejadian menarik yang menggambarkan betapa sudah memuncaknya kegelisahan ini.

Ketika itu, saat acara bincang-bincang memasuki sesi tanya jawab. Seorang tokoh perempuan di Bener Meriah menyatakan ganjalan hatinya pada Yusra Habib Abdul Gani, seorang tokoh Gayo yang saat ini sudah menjadi warga negara Denmark, yang diberi kehormatan menjadi pembicara pada acara itu.

“Kita semua sudah capek dengan acara bincang-bincang seperti ini. Kita semua sudah tahu apa yang menjadi permasalahan Gayo. Jadi daripada kita cuma ngomong di forum seperti ini, setelah ini pulang dan sudah selesai menguap semuanya. Kenapa kita tidak membuat rekomendasi, lalu bapak menggunakan pengaruh dan kapasitas yang bapak punya untuk menekan pemerintah supaya mendengar aspirasi kita. Jadi apa yang kita bicarakan ini tidak menjadi omong kosong sesudahnya”, kata sang tokoh perempuan yang berdomisili di Simpang Balik.

Yusra Habib Abdul Gani,hanya bisa tersenyum kecut mendapat pertanyaan sekaligus permintaan seperti itu. “Memangnya apa kapasitas yang saya punya sehingga pemerintah merasa perlu mendengarkan saya?. Saya sudah membuat buku tentang cetak biru pembangunan Gayo, saya sudah serahkan ke pemerintah. Tapi sepertinya saya salah memberikan, seperti Kera yang diberi bunga tentu dia tidak paham bagaimana mengapresiasinya. Kalau pun kita mau membuat rekomendasi, terus diberikan kepada siapa?, dan rekomendasi dari siapa?, kenapa pemerintah harus mendengarkannya?”, Papar Yusra Habib Abdul Gani dengan nada ironi.

Dari kejadian ini kita bisa menyimpulkan, bahwa inilah masalah Gayo.
Kita adalah suku nomer dua terbesar di provinsi Aceh. Kita menjadi mayoritas di tiga kabupaten. Menjadi  penduduk asli di Lokop, Kalul dan juga menetap di banyak kabupaten lain.  Tapi suara kita dianggap angin lalu oleh pemerintah. Keberadaan kita hanya dipandang sebelah mata oleh mereka-mereka yang diberi wewenang untuk berkuasa. Tak ada rasa gentar yang mereka rasakan, saat kita menyampaikan aspirasi dan bersuara.

Kenapa hal setragis ini dapat terjadi?. Sebagaimana disampaikan oleh Yusra Habib Abdul Gani, itu karena kita, Gayo, sama sekali tidak punya lembaga atau organisasi apapun yang menjadi pengikat kita sebagai sebuah komunitas, sebagai sebuah identitas.

Gayo tidak memiliki sebuah wadah yang menyatukan Gayo sebagai sebuah identitas adat yang sama, yang tak terikat perbedaan wilayah administratif apalagi partai. Gayo tidak memiliki sebuah lembaga yang menampung dan menyuarakan semua aspirasi dan kegelisahan rakyat Gayo. Sebuah lembaga yang bukan sekedar lembaga adat Gayo bentukan provinsi yang merupakan salah satu dari sekian cabang Lembaga Adat Aceh, yang hanya mengurusi masalah-masalah ritual budaya yang tidak bersinggungan langsung dengan permasalahan hidup sehari-hari rakyat Gayo.

Ketiadaan lembaga yang menyatukan kita semua ini memiliki konsekwensi yang tidak kecil.

Akibat ketiadaan ini, kita jadi tidak bisa memperjuangkan hak-hak kita. Kita kesulitan melindungi alam dan lingkungan kita, karena kita semua terpecah. Tekanan yang kita berikan, sekeras apapun kita bersuara, semua hanya dianggap angin lalu oleh penguasa. Hak ulayat Gayo, entah itu hutan atau mineral yang terkandung di dalamnya seperti Giok, dengan mudah dirampas orang yang diberi wewenang oleh negara, ketika mereka menggunakan pasal karet UU Minerba.

Apalagi kalau kita bercerita tentang nasib saudara-saudara kita di Lokop dan di Kalul, yang meskipun  merupakan penduduk asli di kabupatennya. Tapi, karena mereka adalah minoritas di sana. Banyak kepentingan mereka yang tak tersampaikan. Banyak seni dan budaya mereka yang terhambat untuk bisa berkembang. Banyak kegelisahan mereka yang terpendam, dan banyak ketidak adilan yang mereka terima yang tidak diketahui orang luar.

Dalam acara diskusi yang sama, seorang aktivis lingkungan yang di Gayo dikenal dengan nama ‘Gembel’ memperbandingkan Gayo dengan suku Dayak di Kalimantan. Bagaimana mereka , suku Dayak di Kalimantan memiliki lembaga adat yang begitu kuat, yang suaranya begitu didengar oleh pemerintah berkuasa. Ketika lembaga ini menyuarakan aspirasi rakyatnya. Tak ada satu pemerintah kabupaten dan provinsi  pun yang bisa memandang sebelah mata.

Bahkan, ketika pemilihan Bupati terindikasi curang. Seorang bupati yang secara curang memenangkan pemilu terpaksa mundur karena lembaga adat Dayak menolak keberadaannya.

Gayo tidak punya lembaga seperti itu.

Untuk kita sadari bersama, tanpa keberadaan lembaga seperti ini.  Sepuluh , seratus sampai seribu diskusi dan seminar yang dibuat untuk membahas masalah Gayo. Bisa dipastikan, itu semua tak akan menghasilkan apa-apa selain omong kosong, pamer kepintaran, intelektualitas, unjuk pengalaman dan keluh kesah yang kemudian hilang dibawa angin, beberapa waktu setelah acara berakhir.

Jadi, ini sudah tahun 2015, apakah kita mau Gayo dengan semua permasalahannya akan terus begini saja sampai ke anak cucu kita?

Atau ada resolusi yang harus kita capai dan wujudkan sebelum tahun 2015 ini berakhir?

Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing.

*Anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.