Oleh : Zuliana Ibrahim*

Pembelajaran sastra mengutamakan kemampuan berbahasa, namun apakah dengan memiliki kemampuan berbahasa maka juga mampu bersastra? Ketika pertanyaan ini dilontarkan untuk guru mata pelajaran bahasa Indonesia, maka ini hanya akan menjadi pertanyaan retorik belaka. Kenyataannya, jika seorang guru yang dominan memiliki kemampuan berbahasa tetapi tak mumpuni pada kemampuan bersastra, bagaimana ia dapat mengajarkan sastra pada siswanya?
Mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, tidak hanya sebatas belajar mengenai bahasa, namun juga belajar sastra. Pembelajaran tentang materi sastra berorientasi pada sejarah sastra, teori sastra bahkan praktik bersastra, sedangkan pembelajaran bahasa berarti peserta didik belajar memahami kaidah dan tata bahasa Indonesia seperti pemahaman tentang ejaan, penggunaan tanda baca, penggunaan huruf, kata baku, imbuhan, frase, kalimat, paragraf, wacana dan lain sebagainya.
Seorang guru bahasa Indonesia yang baik, tentu ia harus mampu untuk menguasai keduanya, agar kegiatan pembelajaran lebih menggairahkan. Guru bahasa Indonesia lahir dan ditempah dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pastinya materi seputar kependidikan, ilmu bahasa dan ilmu sastra telah disuguhkan dari sejak awal semester perkuliahan. Maka tak ada alasan lagi, bagi guru bahasa Indonesia yang masih tak paham tentang sastra. Namun ini bukanlah tentang paham atau tidaknya, tetapi tentang penguasaan guru tersebut dalam menguasai sastra yang akhirnya mengantarkan siswa menjadi gemar sastra.
Subana dan Sunarti (2009:261) menyatakan bahwa pengajaran sastra bertujuan untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang sastra, maka untuk memperoleh pengalaman sastra siswa harus mengalami langsung, yaitu dengan cara membaca atau mendengarkan hasil karya sastra dan menulis karya sastra yakni mengapresiasi dan mengekspresikan hasil karya sastra.
Jelaslah bahwa untuk mendekatkan sastra pada siswa, alangkah lebih bijaknya agar gurunya yang terlebih dahulu melakukannya. Ibarat ingin bercerita tentang kota Jakarta, tentu cerita yang hanya berdasarkan buku akan kurang menarik dibandingkan dengan bercerita sesuai pengalaman yang sudah pasti pernah dialami. Begitu pula dalam belajar sastra, tak mungkin bisa membuat pengalaman bersastra siswa jika malah gurunya juga sama sekali tak memiliki pengalaman bersastra. Bagaimana mungkin seorang guru bahasa Indonesia meminta siswanya untuk menulis sebuah cerita pendek, namun ia sendiri belum pernah menulis?
Guru sastra di Takengon
Pernah suatu ketika dalam sebuah pelatihan guru yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tengah beberapa waktu lalu, seorang guru mata pelajaran bahasa Indonesia dari salah satu tingkat sekolah mengaku dirinya bahwa ia tidak suka menulis. Hal ini tentu sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin beliau yang telah menjadi guru bahasa Indonesia selama 30 tahunan ini mengaku belum pernah melahirkan sebuah tulisan seperti karya sastra? Padahal pada pelajaran bahasa Indonesia ada empat apek kemampuan berbahasa yang harus dikuasai guru dan dipelajari oleh siswa, salah satunya kemampuan menulis. Lantas pertanyaan besar membumbung, bagaimana cara beliau mengajarkan sastra pada siswanya selama ini? Apakah masih terus bergantung pada karya sastra yang ada di buku paket siswa atau buku-buku sastra lainnya? Sehingga akhirnya tidak ada variasi dalam mengajarkan sastra. Ini tentu menjadi “duka” bagi guru bahasa Indonesia, khususnya di Takengon namun tidak semua guru bahasa Indonesia di Takengon demikian. Di antara mereka masih ada yang –berusaha- melahirkan karya sendiri.
Guru sastra yang baik secara garis besar mempunyai berbagai persyaratan. Persyaratan itu (1) menguasai benar-benar materi pembelajaran sastra, (2) memahami benar-benar hakikat dan tujuan pembelajaran sastra temasuk mampu dan terampil mengapresiasi karya sastra, (3) memiliki pikiran kritis dalam menganalisis karya sastra, (4) menguasai metode pembelajaran sastra dan (6) memiliki pandangan tertentu tentang sikap hidup dan nilai-nilai hidup, sebab sastra merupakan pengalaman jiwa manusia yang dihidangkan kepada siswa untuk memperkaya pengalaman hidup dan pembentukan kebulatan pribadi mereka. (Antilan Purba, 2008:59)
Dari syarat di atas, mungkin tidak semua guru mata pelajaran bahasa Indonesia mampu menguasainya, namun setidaknya ada beberapa diantaranya yang benar-benar bisa dikuasai. Sebab alangkah lebih menarik ketika proses pembelajaran sastra, gurunya dapat memberikan contoh yang tidak hanya diambil dari buku namun langsung memberikan contoh melalui karyanya sendiri, siswa pastinya akan berdecak kagum karena gurunya sudah lebih dahulu memiliki pengalaman bersastra. Apalagi ketika gurunya ternyata banyak kenalan dari kalangan sastrawan, tentu dengan agenda sastrawan masuk sekolah, pembelajaran sastra akan lebih memesona.
Kenyataan saat ini masih ada guru bahasa Indonesia yang minim dalam bersastra, meskipun ia memiliki kemampuan bahasa yang sangat mumpuni. Hakikatnya guru yang seperti ini, mau tidak mau dan harus mulai bergelut dan akrab dengan karya sastra, termasuk karya sastra terbaru. Jangan karya yang itu-itu saja yang dihidangkan pada siswa, sebab karya sastra masih dan akan terus berkembang. Sebagai upaya melahirkan pengalaman guru dalam bersastra, kegiatan menulis adalah salah satu dari sekian kemampuan bersastra yang sebenarnya siapa pun bisa melakukannya. Dengan keyakinan bahwa kualitas dari tulisan akan terus ditingkatkan.
*Alumni mahasiswa FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)