Sinabung Mengajarkanku Sebuah Keikhlasan

oleh
Pemandangan Danau Lau Kawar dari Tanjakan Cadas.(doc. Ria D)

Catatan Ria Devitariska*

Pemandangan Danau Lau Kawar dari Tanjakan Cadas.(doc. Ria D)
Pemandangan Danau Lau Kawar dari Tanjakan Cadas.(doc. Ria D)

Sebelas Desember lalu adalah Hari Gunung Internasional, mengingatkanku pada satu-satunya gunung yang pernah kudaki, Gunung Sinabung. Gunung Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Kudaki gunung ini setahun setelah Sinabung meletus untuk pertama kalinya pada Agustus 2010, setelah “tidur” 400 tahun lamanya. Gunung yang hingga saat ini masih berstatus siaga III pernah mengajarkanku tentang keikhlasan, ikhlas untuk melepaskan.

Bersama dengan sepuluh orang lainnya yang tergabung dalam Grup Backpacker Medan (BPM), kutinggalkan Kota Medan menuju Berastagi untuk selanjutnya menuju  Danau Lau Kawar yang menjadi jalur pendakian kami menuju puncak Sinabung. Demi Sinabung, kutinggalkan dua bule cantik, backpacker asal Polandia yang sebelumnya bermalam dirumahku. Apa boleh buat, pendakian ini sudah jauh-jauh hari kurencanakan.

Matahari telah terbenam di ufuk barat, menyisakan warna jingga yang berpadu kelabu, perlahan menerbitkan bintang gemintang di langit yang mulai kelam saat kami tiba di Danau Lau Kawar. Kami baru hendak memasak makan malam setelah selesai mendirikan tenda, ketika kudengar teriakan yel-yel sekelompok pelajar yang berbaris rapi mengikuti komandan. Yel-yel itu berasal dari anggota pramuka yang akan mendaki Sinabung. Seketika ketakutan membayangiku, tidak kubayangkan mendaki gunung di malam hari.

Kutarik resleting sleepingbag yang kupinjam dari teman sesama anggota BPM menutupi setengah wajahku, mencoba memejamkan mata walau dingin menusuk tulang. Keesokan paginya teman-temanku telah riuh saat mentari masih enggan menampakkan batang hidungnya, pada sakit perut, sepertinya akibat hidangan makan malam kami yang hanya berupa mie instan, belum lagi siangnya terlambat makan.

Ketika melongokkan wajah keluar tenda aku sedikit shock, ternyata bukan kami dan anggota pramuka saja yang bermalam di pinggir Danau Lau Kawar, ada puluhan tenda berbagai warna dan bentuk. Aku tidak menyangka yang camping sebegini banyaknya, karena tiba malam hari, kami tidak dapat melihat dengan jelas di sekeliling. “Ini belum seberapa” ujar temanku menjawab keherananku “kalau tahun baru, tenda-tenda di pinggiran danau ini sudah seperti jamur”. Aku berdecak kagum mendengarnya, kemudian membandingkan dengan masyarakat di kampungku, Takengon. Yang akan memilih tidur berbalut selimut di kamar yang hangat daripada berdingin-dingin ria camping di pinggir Danau Lut Tawar.

Pendakian dimulai pada pukul 10.00 pagi. Jalan setapak telah terbentuk karena seringnya pengunjung mendaki Sinabung, ditambah lagi saat itu sedang musim penghujan. Sesekali kami berpapasan dengan pendaki lain yang turun dari Sinabung. Mereka dari berbagai umur, sebagian dari pendaki adalah anak sekolah. Lagi-lagi aku terpikir tentang bagaimana gunung setinggi 2.460 mdpl ini sebegitu mudahnya mereka daki, seperti menyusuri jalan menuju Bur Gayo di Takengon dengan berjalan kaki, sangat mudah.

Di Puncak Sianbung
Di Puncak Sianbung

Empat jam berlalu. Napasku tersenggal ngos-ngosan, kendati telah mengirit berkata-kata demi menyimpan energi, tetap saja tenagaku dan teman lainnya mulai berkurang, apalagi kami melewatkan jam makan siang. Kami sudah berada di pos terakhir sebelum mendaki puncak Sinabung. Pos empat ini disebut juga “air pandan”, karena merupakan sumber air dan banyak ditumbuhi pandan yang tinggi dan besar. Setelah ini kami akan melewati pendakian batu cadas, licin, minim tumbuhan, yang ada hanya bebatuan dengan kemiringan lebih dari lima puluh derajat.

Untuk mencapai puncak Sinabung membutuhkan waktu satu jam lagi, namun karena mayoritas kami adalah para pendaki pemula bisa mencapai waktu dua jam. Langkah kakiku semakin perlahan, rintik hujan mulai berjatuhan, aku hanya dapat berdoa dalam hati semoga hujannya tidak bertambah deras. Aliran air hujan membuat batu-batu di tanjakan cadas atau yang sering disebut dengan “tanjakan patah hati” ini semakin licin, salah langkah atau terburu-buru bisa berakibat fatal.

Kuseka peluh bercampur airmata yang tertahan di ujung mataku, aku memilih berdiam diri sesaat, tidak bergerak, menegak air mineral membasahi kerongkonganku yang kering. “Ria kenapa?” Tanya temanku Adar yang kami daulat sebagai ketua tim, selain umurnya yang paling tua juga dianggap paling bijaksana. “takut ketinggian, bang” ujarku. Teman-teman lain yang mendengar terperangah tidak percaya. Ah jangankan mereka, aku sendiri saja tidak percaya bagaimana seseorang yang takut ketinggian sepertiku sudah berada di tanjakan seperti ini. “ya sudah, tinggalkan barang bawaan Ria, biar nanti kami yang urus. Ria lanjutkan pendakiannya, perhatikan langkah dan jangan terburu-buru” perintah Adar kepadaku.

Untuk menghindari salah langkah, kuikuti langkah temanku, Dina, ia rada tomboy. Sebelumnya aku sempat memarahinya karena menggodaku untuk melihat keindahan pemandangan Danau Lau Kawar dari ketinggian. Aku benar-benar tidak kuasa melihat ke belakang atau ke bawah. Dan pada akhirnya aku berhasil tiba di puncak Sinabung, Puncak Plasgordon. Kuhirup udara segar nan sejuk, merasakan semilir angin yang menelusup ke pori-pori, serta menikmati indahnya pemandangan beberapa kota di Sumatera Utara dari ketinggian, nikmatMu ya Allah.

Aku pikir kesusahan kami akan berakhir, setelah mengisi perut kami baru menyadari persediaan air kami menipis. Tidak sampai 3 liter lagi, kendati telah mengisi stock di Air Pandan. Kekisruhan kecilpun dimulai. Sebagian meminta volunteer untuk mengambil air di Air Pandan kemudian kembali lagi ke puncak, yang diminta langsung tidak bersedia karena sudah kelelahan, sebagian beropini untuk tidak bermalam di puncak Sinabung langsung kembali ke Danau Lau Kawar, sedangkan sebagian lagi memilih untuk bertahan dengan persediaan air yang ada. Ketika kami sedang bertekak hebat, Allah memberikan bantuannya melalui hujan, hujan deras disertai gemuruh.

Kami langsung kocar-kacir menyelamatkan barang bawaan. Memasukkannya ke dalam tenda, dari dalam tenda kami berusaha menampung air hujan untuk persediaan air. Aku tidak tahu berapa lama hujan deras mengguyur puncak Sinabung, tubuhku mulai mati rasa karena kedinginan. Kami tidak bisa menggelar sleepingbag karena tenda dipenuhi air hujan, syukurnya tenda perempuan letaknya miring sehingga hanya satu sudut saja yang tergenang air. Kami duduk berdempetan untuk mengurangi dingin. Angin kencang sempat membuatku gusar, bagaimana jika tenda kami diterbangkan angin.

Ketika hujan mereda di sekitar puncak langsung dipenuhi kabut, tenda laki-laki yang hanya berjarak kurang dari dua meter pun tidak terlihat. Kami langsung membuang air yang tergenang di dalam tenda, menutupi bekas air dengan mantel hujan untuk alas agar dapat menggelar sleepingbag. Salah satu temanku Rangkuti, mengalami kedinginan hebat hingga tidak dapat menggerakkan tubuhnya, kami bergantian memeluknya untuk memberi kehangatan, tapi nihil. Adar berinisiatif membuatkan minuman hangat, perlahan tubuh Rangkuti yang membeku kembali stabil.

Pagi harinya, sebelum turun dari Puncak Sinabung kami menyempatkan diri menikmati matahari terbit, namun tidak sempurna karena pengaruh hujan semalam. Suasana Puncak Sinabung tak ubahnya dengan suasana di pinggir Danau Lau Kawar, ramai. Kuperhatikan bahkan ada perempuan yang menggunakan celana pendek diatas lutut disaat kami menggunakan pakaian berlapis-lapis, entah siapa yang tidak normal, dari logatnya kutahu ia adalah wisatawan lokal.

Kondisi saat mendaki dengan turun gunung sangat berbeda, lebih rileks karena tidak melawan gaya gravitasi. Namun tetap membutuhkan tenaga mempertahankan keseimbangan agar tidak mudah jatuh terpeleset atau terperosok di tanah yang kurang padat. Saat menuruni tanjakan cadas, aku sempat menikmati pemandangan Danau Lau Kawar, dikelilingi pohon pinus, dengan lengkungannya yang anggun, danau buatan ini benar-benar indah. Sayang, kameraku rusak. Setelah melewati pos tiga, aku memimpin di depan, bahkan kucoba mempercepat langkahku. Ada yang kukejar, aku sudah membeli tiket bus Medan-Takengon untuk pukul 19.00 Wib.

Teman-teman menertawai kecepatan langkah menurunku yang tidak terkontrol, seperti bukan aku saja yang phobia ketinggian saat mendaki tanjakan cadas. Kegelisahanku semakin menjadi-jadi tatkala kami sudah tiba kembali di pinggir Danau Lau Kawar, dan angkutan kota yang kami pesan untuk menuju ke Berastagi yang memakan waktu 90 menit ini datang terlambat. Dari Berastagi menuju Medan membutuhkan waktu tiga jam, hari itu adalah hari terakhir dari long weekend, maka tidak dapat dipastikan berapa jam yang akan kami tempuh karena kondisi jalan akan macet.

Leherku tercekat, bus tigaperempat Berastagi-Medan mendadak langka karena telah penuh terisi dengan wisatawan dan warga yang kembali ke Kota Medan untuk keperluan sekolah atau bekerja. Aku dan tiga temanku dipersilahkan duluan oleh teman yang lain, karena aku dan Vira harus mengejar bus ke Aceh sedangkan Afriza dan Rahmat yang menjaga kami. Bus sudah penuh, kami masuk berdesak-desakan, harus berdiri hingga 2 jam lamanya.

Aku mencoba menelepon loket bus, meminta mengganti jam keberangkatanku namun tidak diizinkan dengan berbagai alasan. Kutelepon loket yang lain walau masih dengan armada yang sama alamatnya saja berbeda, namun tidak diangkat. Kuhubungi teman yang berada di Kota Medan, berharap ia dapat membantuku, namun ia juga tidak mengangkat handphonennya. Teman-teman memintaku untuk pasrah dan bersabar. “Rezeki tidak akan kemana” ujar mereka menenangkan.

Aku tiba di Kota Medan pukul 19.30, ini berkat bus Sinabung yang kami naiki menerobos kemacetan tanpa mengindahkan aturan, kalau tidak, mungkin kami baru tiba jam Sembilan malam. Dengan bantuan Taufiq yang kuminta memperbaiki kameraku, aku tiba di loket bus setengah jam kemudian. Aku sudah mengikhlaskan uang tiketku, biarlah harus membeli yang baru asal masih ada bangku untukku berangkat ke Takengon. “Kebetulan ada satu orang penumpang yang membatalkan keberangkatannya” ujar petugas loket, ia memintaku untuk membayar selisih harga saja karena bus yang akan kutumpangi type 2-1. Alhamdulillah.

Anggota Grup Backpacker Medan
Anggota Grup Backpacker Medan

Aku baru tersadar barang bawaanku tertinggal di Simpang Pos, saat turun dari bus Sinabung. Isinya berupa baju kotor selama pendakian, mantel hujan, sepatu dan beberapa makanan. Taufiq memintaku untuk mengikhlaskan barang yang tertinggal tersebut, karena untuk ke simpang tersebut membutuhkan waktu setengah jam. Bisa-bisa aku ketinggalan bus lagi, aku mengiyakan. Kuhubungi orang tuaku untuk memberitahu bahwa aku pulang malam itu, serta memberitahukan bahwa ada barang bawaanku yang hilang. Ayahku tidak masalah dengan barang tersebut “ikhlaskan saja” katanya.

Aku juga pamit dengan teman-temanku yang lain melalui telepon, Vira melanjutkan perjalanannya ke Banda Aceh. Dari Rahmat aku mengetahui bahwa barangku yang tertinggal ternyata sudah diamankan oleh Afriza, ia akan mengirimkan ke Takengon. Aku menghembuskan napas panjang, mengucapkan Hamdalah berulang-ulang. Allah memang memintaku untuk lebih ikhlas dalam perjalananku ini.

Bus melaju perlahan, kutarik selimut menutupi tubuhku guna menghalau dingin yang berasal dari AC bus. Seluruh badanku pegal tak terbilang, kebas, mati rasa bersatu padu. Sebelum terlarut dalam bunga tidur, aku merenungi arti perjalananku kali ini. Belajar ikhlas, belajar menjaga alam, belajar perduli sesama teman, serta belajar tidak jumawa karena berhasil mendaki Puncak Sinabung, bagaimana mungkin aku bisa sombong, sedangkan seumuran anak SD saja berhasil sampai puncak. Seperti sebuah kutipan “it’s not the mountain we conquer, it is ourself”, mendaki gunung itu bukan untuk menaklukkan sebuah gunung, namun mengalahkan ego kita sendiri. Terimakasih Sinabung.

Sinabung saat ini masih dalam keadaan tidak stabil, aku teringat perkataan seorang dosen di mata kuliah Geologi dan Tata Lingkungan, “manusia saja perlu membuang kotoran yang ada dalam tubuhnya untuk keseimbangan, begitu juga gunung api, ia juga memerlukan keseimbangan”. Semoga duka ini cepat berlalu, dan para warga di sekitar Sinabung dapat kembali ke kampungnya dan beraktivitas seperti sedia kala.[]

*Wartawan LintasGayo.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.