
Banda Aceh-LintasGayo.co: Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menilai pemerintah belum menunjukan langkah-langkah yang signifikan untuk pemenuhan hak-hak korban setelah sembilan tahun paska perdamaian yang ditandatangani Memorandum od Understanding (MoU) Helnsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005 silam. Bertepatan dengan perayaan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh pada 10 Desember 2014, agenda untuk mereduksi HAM itu sendiri masih sangat terlalu kuat.
Menurut Kontras Aceh catatan buruk di hari HAM kali ini, disaat gaung hari perdamaian yang disuarakan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, pada peringatan sembilan tahun MoU Helsinki, hingga saat ini masih belum banyak berubah dari realita-realita HAM yang dihadapi, khususnya keluarga korban konflik.
“Produksi kekerasan yang terjadi pada masa lalu hingga kini masih menjadi hantu dalam benak korban, dimana ketidakmauan dan ketidakmampuan negara untuk menjamin perlindungan HAM masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diseriusi hingga kini,” Demikian rilis yang dikirim Kontras Aceh kepada redaksi LintasGayo.co, Rabu (10/10/2014).
Dalam catatan KontraS Aceh yang dismapaikan Destika Gilang Lestari Koordinator KontraS Aceh melalui rilisnya, ada beberapa pasal MoU Helsinki sampai saat ini belum diimplementasikan Pemerintah. Di antaranya pembentukan Pengadilan HAM, Komisi Klaim Bersama dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh dalam bentuk Perpres dan Peraturan Pemerintah.
Sebelumnya dalam statement Gubernur Aceh, Zaini Abdullah saat peringatan sembilan tahun MoU Helsinki, 15/08/2014 mengatakan, perintahan Aceh dan rakyat Aceh akan terus berjuang untuk menagih setiap komitmen dan janji pemerintah.
Namun menurut Kontras, hingga pengesahan Qanun KKR pada 27/12/2013 silam, sampai saat ini, produk tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti diketahui, Pemerintah pusat kembali mempertanyakan pengesahan Qanun KKR Aceh, oleh DPR Aceh pada Jumat (27/12), yang seharusnya menunggu pengesahan UU KKR nasional.
Kontras Aceh berharap dibawah kepemimpinan Presiden baru Indonesia, Joko Widodo, tanggungjawab utama proses penyelesaian kasus-kasus masa lalu tentang dugaan adanya pelanggaran HAM masa lalu dapat dilakukan dengan segera. Dimana tanggung jawab negara (state responsibility), tanggung jawab untuk menjelaskan atau membenarkan tindakan (state answerability), dan kemampuan negara untuk menegakkan kebijakan-kebijakannya (state enforceability) (UN, 2013).
Mandate dari MoU yang kemudian terimplementasikan dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 tahun 2006, yaitu pasal Pasal 260, yang menegaskan bahwa KKR di Aceh harus sudah berlaku efektif paling lambat satu tahun sejak hadirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Artinya, sejak 2007 mestinya KKR Aceh sudah bekerja mengungkap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah itu.
Bagaimanapun, bila perdamaian diisi dengan pemaafan, namun kita tidak boleh melupakan masa lalu. Pemaafan antara kedua belah pihak yang bertikai sudah selesai, namun tidak untuk keluarga korban yang ditinggalkan atau mereka yang masih menuntut adanya pertanggungjawaban terhadap dugaan pelanggaran HAM masa lalu ketika konflik Aceh berlansung.(rilis/tarina)





