Shalat dengan Ilmu

oleh

Oleh Drs. Jamhuri Ungel, MA

jamhuriSHALAT merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yang diletakkan pada urutan kedua setelah mengucap dua kalimah syahadat, pelaksanaan shalat yang dilakukan lima kali sehari semalam lebih sering dilakukan. Kalau syahadat dipadai dengan pengazanan dan pengiqamahan ketika setelah lahir atau mengucapkan pada saat seorang non muslim memeluk Islam, kalau zakat diwajibkan kepada muslim ketika ia memiliki harta dengan ketentuan sesuai ‘aul dan nisab dari harta yang dimiliki dan puasa hanya diwajibkan kepada setiap orang beriman setahun sekali pada bulan ramadhan, kemudian haji diwajibkan kepada mereka yang memiliki kemampuan seumur hidup sekali.

Karena seringnya pelaksanaan shalat dibanding dengan ibadah lain maka wajarlah bila shalat dijadikan standar kepatuhan kepada Allah dalam keberagamaan seorang muslim, sehingga disebutkan kalau ibadah seseorang baik maka ibadah lain juga dianggap baik, artinya kalau seseorang yang tidak rajin untuk shalat maka ibadah-ibadah lain juga belum dapat dikatakan telah sempurna.

Dalam kajian keilmuan Islam tidaklah memadai bila shalat hanya sering dilakukan atau tidak pernah ditinggalkan, tetapi lebih dari itu semua orang harus belajar terus tentang shalat. Apakah shalat yang dilakukan selama ini sudah sesuai dengan tuntutan dan tuntunan dalil nash atau shalat selama ini baru masih menurut pendapat ulama bahkan itupun pendapat ulama yang sangat jauh dari pendapat ulama penggali nash (al-Qur’an dan Hadis) secara langsung.

Kalau kita mau berpikir kritis, sampai kapan kita harus beribadah shalat menurut pendapat ulama dan hanya memadai dengan pendapat ulama tanpa ada upaya melihat bagaimana kata al-Qur’an dan Hadis secara langsung, atau malah ada yang mengatakan kalau selain ulama tidak mungkin bisa memahami al-Qur’an dan Hadis secara langsung. Dan ditambahkan lagi syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat memahami al-Qur’an dan Hadis sehingga terkesan tidak ada lagi orang yang mampu memahaminya sebagaimana dipahami oleh ulama terdahulu.

Bila kita berpikir matematis dengan  menggunakan angka dalam menghitung pahala dari ibadah yang dilakukan, dapat dipahami bahwa kalau mereka yang selalu beribadah berdasar pendapat ulama maka tidak pernah mendapat pahala yang setingkat dengan ulama yang mengajarkannya tentang shalat. Karena ulama yang mengajarkan seseorang tentang shalat mengambil hukum langsung dari sumbernya (a-Qur’an dan Hadis), sedangkan mereka yang hanya memadai dengan pendapat ulama maka ia tidak pernah mengetahui kalau shalat yang  mereka lakukan langsung bersember dari firman Allah dan hadis Rasul.

Al-Ustaz al-Duktur Abdul Karim Bin Ali Bin Muhammad an-Namlah dalam Kitabnya Al-Muhazzab fi Ilmu al-Ushu al-Fiqh al-Muqaran menyebutkan pengetahuan tentang ashal (al-Qur’an dan Hadis) seorang Imam lebih tinggi pahalanya dari pada seseorang yang beribadah berdasarkan fatwa Imamnya, baik itu pada ibadah wajib ataupun ibadah sunat, karena mereka yang beramal dengan fatwa tidak mengetahui dasar dari fatwa tersebut.

Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, dengan kondisi dan pola pikir yang ada pada saat sekarang ini maka sangat sedikit mereka yang berani mengkaji ashal (al-Qur’an dan Hadis), karena semua orang sekarang ditakut-takuti apabila ingin mempelajari al-Qur’an dan Hadis dengan ungkapan tidak boleh memahaminya kecuali memiliki sejumlah ilmu yang ilmu tersebut sebenarnya tidak mungkin dimiliki. Akibatnya perdebatan tentang shalat selalu berputar pada fasih tidaknya bacaan shalat, tepat tidaknya makahrijul huruf, benar tidaknya tajwid dari bacaan atau hal-hal yang bersifat kebahasaan dalam bacaan shalat. Karena itu akhirnya kebanyakan orang yang kendatipun telah mampu memahami al-Qur’an dan Hadis hanya membatasi diri dengan pemahaman ulama dan tidak berani menyamainya. Sehingga pahala yang didapat tetap pada tingkatan beramal dengan fatwa atau hasil ijtihad.

Sudah saatnya kita belajar memahami al-Qur’an dan Hadis untuk kepentingan ibadah, sehingga diharapkan satu saat kita tidak lagi beribadah dengan fatwa atau ijtihad tetapi kita beribadah dengan didasari perintah Allah dan Rasul-Nya. Karena Shalat diperintahkan oleh Allah dalam banyak ayat-Nya dan Nabi katakan kalau pelaksanaan shalat harus sama dengan yang dicontohkannya “Shallu kama ra’aytumuni ushalli

 *Redaktur senior LintasGayo.co, tinggal di Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.