
PUKUL tiga pagi, dan Banda Aceh masih jauh. Gue sudah merasa bosan dan punggung terasa amat pegal karena sudah menempuh empat jam perjalanan dari Takengon, Aceh Tengah. Supir kami tengah serius mengendalikan mobil melewati jalanan yang berkelok-kelok dan berlubang di sana-sini. Bagusnya, beliau sangat menguasai medan, tahu di mana harus menghindar, kapan harus memelankan laju mobil. Di belakang, tiga teman seperjalanan sudah memejamkan mata, beristirahat tanpa memedulikan guncangan setiap kali mobil terpaksa menerjang jalan berbatu.
Gue kembali memasang earphone, membuka jendela mobil karena tak suka dengan asap rokok yang diembuskan supir kami. Gue memejam sejenak ketika merasakan angin mengembuskan dingin ke wajah. Saat hendak kembali menaikkan jendela, gerakan gue terhenti, terkesiap menatap langit malam itu. Pernah nggak, menatap langit yang bertabur bintang di setiap jengkalnya? Langit yang begitu bersih tanpa awan sama sekali, seperti karton hitam maha luas yang dibolongi kecil-kecil, lalu sebuah senter maha terang disorotkan dari balik karton, menciptakan keindahan absolut. Sementara lagu High Hopes-nya Kodaline terus mengalun melalui earphone, kepala gue masih terjulur keluar dari pintu mobil, menatap bintang-bintang di langit Pidie dini hari itu. Lamat-lamat, gue tersenyum, terus tersenyum, dan memekik kecil ketika sebuah bintang jatuh melintas angkasa, menyempurnakan pemandangan dini hari itu.
Ingatan gue bergulung kembali ke pagi sebelumnya. Kami baru saja mencapai Takengon, sebuah kota kecil di Aceh Tengah. Entah apa alasannya, gue lebih mencintai kota kecil ketimbang kota besar yang penuh dengan pencakar langit dan kebisingan tanpa henti. Menyesap kopi di pagi hari di sebuah kedai kopi di dekat pasar Takengon sambil menikmati beraneka jajanan pasar membuat penat dan lelah lumer begitu saja.
Takengon, walau hanya berpenduduk sekitar 230 ribu jiwa, begitu hidup di pagi itu. Setelah mencicipi Kopi khas Gayo, kami menelusuri pasar. Katanya, kalau mau melihat gambaran sebenarnya dari sebuah kota, jelajahilah pasar tradisionalnya. Di pasar Takengon, gue melihat wajah penuh tawa, pedagang yang penuh semangat berjualan, toko-toko penggilingan kopi yang harumnya menguar ke mana-mana. Gue melihat hidup yang benar-benar hidup di sana.
Satu hal yang membuat gue terheran-heran adalah bahasa yang digunakan di Takengon. Rupanya, bahasa di sini berbeda dengan bahasa Aceh yang beberapa hari akrab di telinga gue ketika berkunjung ke Sabang. Orang-orang Takengon (correct me if I’m wrong), menganggap mereka bukanlah orang Aceh, tapi orang Gayo. Satu hal yang pasti: jajanan pasar di Takengon astaga enaknyaaaa! Udah gitu, penjualnya murah senyum. Ibu-ibu yang melayani kami tak segan-segan menjawab pertanyaan gue yang bawel bertanya, ini kue apa, itu kue apa, dan mana yang paling enak. Semua pertanyaan gue dijawab rinci, plus cara membuat kue tersebut. Yang paling gue ingat, ada semacam kue lapis, yang lembut banget dan rasanya tak terlalu manis. Sayang, gue lupa namanya. Apa kue lapis juga, ya? x)
Napas gue tertahan beberapa detik ketika kami mencapai Danau Laut Tawar. Gue seperti dilempar jauh-jauh melintasi benua Asia, dan mendarat di salah satu danau di Swiss atau bagian Eropa lain yang selama ini hanya bisa gue lihat di kartu pos, atau foto-foto di internet. Sulit mempercayai bahwa gue masih berada di tanah Indonesia ketika menyerap keindahan Danau Laut Tawar di Takengon. Alih-alih terus berjalan, gue menghentikan langkah, menatap keagungan danau tanpa riak yang dikelilingi pegunungan dan dinaungi awan-awan putih yang enggan berarak, dan menciptakan refleksi yang sempurna di air hijau kebiruan.
Kalo kalian menganggap gue berlebihan atau lebay, silakan simak foto-foto di bawah ini. Semua foto diambil pakai iPhone 5, dengan editan “autofix” doang.
Pagi itu kembali harus terdistraksi karena ada deadline skenario yang harus gue selesaikan. Sembari menanti ketiga teman yang mengelilingi danau, gue memutuskan untuk duduk di salah satu saung, dan mulai mengetik dengan hati ringan. Bekerja dikelilingi danau jernih dan pegunungan hijau yang saling menyambung dan melingkar membuat waktu melesat, tahu-tahu tulisan gue sudah selesai, siap untuk dikirimkan.
Kemewahan sesungguhnya adalah ketika alam menawarkan keindahan tanpa batasnya untuk kita nikmati, tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Gue merasa amat beruntung bisa menjadi entitas kecil yang berkesempatan menikmati keindahan yang alam Aceh Tengah tawarkan.
Sebagai pelengkap hari, kami mengunjungi sebuah café di Takengon yang menjual kopi Gayo yang amat sangat terkenal. Rintik-rintik hujan menemani saat kami tiba di gedung berlantai dua yang dipulas cat merah bata dan krem tua dengan tulisan Bergendaal Koffie. Secangkir kopi luwak yang harganya jauh lebih murah ketimbang kopi luwak yang dijual di ibukota, dengan rasa yang jauh lebih enak, kembali menghadirkan senyum lebar di wajah gue.
And you know what? Kopi Gayo yang dijual di Bergendaal Koffie ini bahkan diekspor ke Eropa juga. Kemasan kopinya pun sangat menarik mata. Kesannya eksklusif banget. Gue jarang banget melihat cafe di daerah yang memikirkan detail untuk kemasan kopi mereka. Kopi enak, kemasan keren. Dua resep jitu yang saling mendukung untuk menembus pasar mancanegara. I sincerely hope they will keep doing what they’re doing, and always successful.
Gue sudah puas menatap langit yang tak henti-hentinya pamer keindahan yang tak akan bisa manusia lukis, dan menutup jendela mobil. Salah seorang teman seperjalanan sudah bangun. Tak memedulikan bahwa ia masih setengah terkantuk, gue dengan penuh semangat menceritakan dan memaksanya menatap langit, sambil pamer, bahwa gue baru saja melihat sebuah bintang jatuh.
So, put Takengon on your bucket list. So, so, so worth the long trip.
(Sumber : people-around.us)





