Oleh: Hasan Basri, S.Ag*
Regulasi Tentang Tarif Biaya Nikah
Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2014[1] serta PMA No 24 Tahun 2014[2] merupakan payung hukum yang dijadikan rujukan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan, berkaitan dengan tarif “biaya” yang harus dibayar oleh masyarakat yang berkehendak melaksanakan pernikahannya, baik pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, pada jam kerja maupun di luar Kantor Urusan Agama serta di luar jam kerja. PP No 48 Tahun 2014 yang ditandatangani presiden tanggal 27 Juni 2014 dan diberlakukan pada tanggal 10 Juli tahun 2014 ini telah di sosialisasikan oleh KUA hampir di seluruh kecamatan wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Seiring dengan gencarnya acara sosialisasi tentang regulasi tersebut, seiring dengan itu pula telah berkembang paradigma, pemahaman di kalangan masyarakat Gayo tentang “keharusan” untuk melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Pasca diberlakukannya PP No 48 tahun 2014, biaya pencatatan nikah telah digratiskan Rp 0,00 (nol rupiah), untuk lebih jelasnya berikut ketentuan yang tercantum pada PP tersebut.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk.
(2) Dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.
(3) Terhadap warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
Berdasarkan PP tersebut pada prinsipnya layanan pernikahan di KUA sama sekali tidak dikenakan biaya (gratis), baik bagi keluarga miskin, maupun kaya, demikian juga nikah di luar kantor juga sejatinya gratis, hanya saja dikenakan biaya sebesar Rp 600000 (enam ratus ribu) bukan sebagai pembayaran biaya pencatatan nikahnya, namun sebagai pengganti transportasi dan jasa profesi bagi penghulu yang menghadiri, mengawasi, menyaksikan serta melaksanakan pernikahan di luar kantor dan di luar jam kerja. Dari aspek ini, pencatatan nikahnya tetap gratis atas dasar Undang-undang yang mengatur tentang kependudukan yang tidak membolehkan pungutan biaya kepada publik.
Point ketiga pada PP tersebut diatas lebih lanjut dijelaskan melalui PMA (Peraturan Menteri Agama) No 24 Tahun 2014, terutama pada Pasal 19 dan 20.
Pasal 19
(1) Catin yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana dapat dikenakan biaya nikah atau rujuk tariff Rp 0,00 (nol rupiah)
(2) Kriteria tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada surat keterangan tidak mampu dari lurah/kepala desa yang diketahui oleh camat.
(3) Bencana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan bencana alam yang menyebabkan Catin tidak dapat melaksanakan pernikahan secara wajar.
(4) Catin korban bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh surat keterangan dari lurah/kepala desa.
Pasal 20
(1) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (4) disampaikan kepada kepala KUA kecamatan sebagai syarat untuk dikenakan tariff Rp 0,00 (nol rupiah).
(2) Kepala KUA Kecamatan wajib melakukan dokumentasi dan pelaporan data Catin yang dikenakan tariff Rp 0,00 (nol rupiah).
Biaya “Edet” Dalam Pernikahan
Prosesi pernikahan bagi masyarakat Gayo merupakan bentuk pengimplementasian terhadap doktrin (baca:ajaran) agama, dan tradisi, adat istia’adat serta budaya. Pelaksanaan pernikahan yang sarat dengan nilai adat isti’adat (tradisi) serta budaya yang telah diwariskan secara turun temurun oleh generasi sebelumnya, tentu membutuhkan “pelaksana”, “ruang” dan “waktu” bagi pelaksanaannya. Kealpaan melaksanakan dan menghadirkannya pada rangkaian pernikahan dianggap mengurangi “keabsahan” pernikahan itu sendiri. Unsur sarak opat (Reje, Imem, Petue, RGM) merupakan bagian dari pihak yang dianggap paling bertanggung jawab untuk menyediakan “ruang” dan “waktu” terhadap upaya pelestarian budaya dan tradisi pernikahan etnis Gayo.
Hampir keseluruhan dari masyarakat di dataran Tinggi Gayo, terutama suku Gayo apabila berkehendak untuk melaksanakan pernikahan, (male munatangen beret, muluahi sinte), mulai dari acara bersiwajiben sampai acara mah kero opat ingi, bahkan sampai pada pengurusan segala persyaratan adiministrasi, mulai dari pengurusan N1, N2, N4 yang diterbitkan oleh reje sampai mendaftarkannya ke KUA, mereka “percayakan” kepada tgk imem kampung, tgk imem kampung dalam hal ini bertindak selaku “wakil” dari keluarga catin. Dalam pandangan masyarakat khususnya etnis Gayo keterlibatan dan kehadiran reje serta tgk imem dalam seluruh rangkaian proses pernikahan, baik pra maupun pasca ijab qabul, adalah suatu keharusan dan menjadi bagian dari tuntutan adat isti’adat yang berlaku di Gayo. Kebiasaan ini telah membudaya dan berlaku secara turun temurun di kalangan masyarakat Gayo.
Imem kampung sebagai salah satu elemen dari unsur sarak opat, sebagaimana dimanahkan oleh Qanun No 4 Tahun 2011, (Imem Kampung mempunyai tugas: menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai adat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam serta melaksanakan sinte murip dan sinte mate) merupakan pihak yang lebih banyak berperan. Tentu tidak diharapkan dalam melaksanakan perannya tersebut para imem kampung “menanggung” sendiri seluruh biaya akibat dari “kehadirannya” dan keikut sertaannya pada seluruh rangkaian acara tersebut. Kaitannya dengan inilah kampung menetapkan “biaya” yang sekarang lazim disebut dengan “biaya edet” dalam pelaksanan pernikahan, dan ini tentu lebih baik bila diiringi serta dilegalitaskan dengan diterbitkannya qanun kampung.
“Penyerahan” biaya edet dari empuni sinte kepada tgk imem dan reje saat ini “dianggap” sebagai salah satu wujud “penghargaan” dan “pemuliaan” dari masyarakat terhadap mereka selaku “pelaksana” yang menyediakan “ruang” dan “waktu” bagi aktualisasi adat isti’adat dalam pernikahan. Perlu dicermati bahwa “biaya edet” yang besarannya telah “disepakati”, dan biasanya tidak seragam antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Aceh Tengah (Rp 400000 s/d 500000) bukanlah biaya pencatatan nikah yang harus disetorkan oleh masyarakat ke negara dalam wujud penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui KUA. Karena itu anggapan atau “kesan” yang berkembang di kalangan masyarakat Gayo tentang keterlibatan unsur KUA sebagai pihak yang bertanggung jawab “melegalitaskan” serta menerima “bagian” dari biaya tersebut, tentu tidak dapat diterima.
Haruskah Nikah di Kantor Urusan Agama?
Secara “tegas” disebutkan dalam peraturan bahwa pernikahan harus dilaksanakan di Kantor Urusan Agama, namun bukan berarti tidak dapat dilaksanakan di luar KUA. Hal ini tercermin dalam PMA No 11 Tahun 2007 Pasa 21 Ayat (1) dan (2) tentang pencatatan nikah.
Pasal 21
(1) Akad nikah dilaksanakan di KUA
(2) Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Secara implisit peraturan tersebut memberikan “kebebasan” kepada catin (masyarakat) untuk memilih tempat dan waktu yang tepat untuk melaksanakan pernikahannya, namun “konsultasi” dan “tawar menawar” dengan penghulu atau Pegawai Pencatat Nikah di saat catin melakukan pendaftaran kehendak nikahnya pada KUA adalah suatu “keharusan”. Tradisi atau budaya masyarakat terutama etnis Gayo yang selama ini “merasa nyaman” melaksanakan pernikahan di rumah catin, mesjid atau mushalla atau balai (diluar balai nikah), sebaiknya jangan “diganggu” dan “dihantui” dengan telah terbangunnya “opini publik” tentang pernikahan yang dilaksanakan di luar KUA dikenakan biaya pencatatan nikah Rp 600000, sedangkan pernikahan yang dilaksanakan di KUA dikenakan tariff Rp 0,00. “opini publik” ini janganlah menjadi argumentasi atau dasar bagi masyarakat, pengelola adat isti’adat (reje dan imem) untuk menghindari pelaksanaan pernikahan “dikampung” yang sangat kental nuansa tradisinya, dan lebih mengarahkan masyarakat Gayo agar melaksanakan pernikahannya di KUA.
Rangkaian acara pernikahan dan rujuk yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (Balai Nikah) disatu sisi akan memperkecil “ruang” bagi reje dan imem kampung selaku pemangku adat isti’adat, disisi lain pelaksanaannya otomatis akan mengacu pada peraturan dan model pelaksanaan yang telah “ditetapkan” oleh Kantor Urusan Agama, dan ini mungkin akan “sepi” serta “menghindar” atau pada hal-hal tertentu dianggap “bertentangan” dengan nilai-nilai adat istiadat serta budaya masyarakat Gayo. Dalam kasus ini tentu tidak adil kalau KUA dijadikan kambing hitam atau pihak yang “dituduh” serta “dituding” sebagai lembaga yang mendekonstruksi (menghancurkan) budaya dan tradisi serta mengelemenir masyarakat Gayo dari budaya dan tradisinya. Banyak aspek yang menyebabkan KUA “kesulitan” dan belum mampu melaksanakan pernikahan berdasarkan budaya dan tradisi yang berlaku di kalangan masysarakat Gayo untuk saat ini.
Fenomena semakin ramainya masyarakat Gayo yang melaksanakan pernikahannya di KUA sejak diberlakukannya PP No 48 Tahun 2014, disatu sisi akan memudahkan Penghulu, PPN (kepala KUA) melakukan pemeriksaan, pengawasan serta pencatatan, namun disisi lain telah “menyuburkan” stigma yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat tentang “keharusan” untuk melaksanakan pernikahan di KUA.
Akhir-akhir ini “tudingan miring” yang diarahkan pada PPN, Penghulu dan KUA semakin santer terdengar di kalangan masyarakat Gayo. Secara objektif harus kita akui bahwa stigma negative yang distempelkan kepada KUA (PPN, Penghulu) merupakan representasi dan akumulasi dari “gugatan” atau “protes” masyarakat Gayo terhadap fenomena menguatnya “tarikan” untuk melaksanakan pernikahan di Kantor Urusan Agama. “Gugatan” atau “protes” tersebut muncul akibat kegelisahan serta kekhawatiran dari masyarakat akan “tergusurnya” serta “lenyapnya” tradisi dan budaya, khususnya tradisi dan budaya pernikahan etnis Gayo, hal ini dikarenakan pernikahan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan “tidak memungkinkan” untuk dilaksanakan sebagaimana tuntutan tradisi dan budaya yang berlaku di kalangan masyarakat. (Wallahu a’lamu bis shawab)
[1]Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama.
[2]Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah Dan Rujuk Di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan.
*Pemerhati adat, sosial budaya, tinggal di Takengon