Keringat dan pesan dibalik Kebaya Wisuda

oleh

[Cerpen]

Irama Br Sinaga

Beberapa bulan sudah bulan suci Ramadhan berlalu, tiada sujud yang kulalui tanpa memohon Allah SWT. Perjalanan menuju tempat kubelajar butuh waktu 18 jam. Jauh dan sungguh melelahkan, meski demikian hati tetap berdoa semoga kekecewaan tidak menghampri.

Silaturahim adalah salah satu amalan yang paling aku gemari, selain menambah saudara juga membuka pintu rejeki serta memanjangkan usia hamba-Nya. Sesuai dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah;

Rasulullah shallallahu‘alaihi Swa bersabda, “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi”.

Sebelum ke kota pelajar aku sempatkan bersilaturahim di kota Teuku Umar, setahun yang lalu aku mengabdikan diri selama 45 hari di kota itu. Rindu pada masyarakatnya yang ramah dan mengagungkan tamu. Selama tiga hari disana, tak jua luput dari ingatan. Kujadikan silaturahim sebagai penambah amal agar Allah menggerakkan tangan lembutnya.

Jadwal yudisium telah kutulis di konsep, tidak lama lagi pendaftaran tutup. Hati ku gelisah “akankah aku mampu mengejar yudisium kali ini”. Teman senasib denganku telah mendapatkan goresan tinta darinya dan aku tidak tahu bagaimana nasib kertas yang telah kuletakkan di mejanya saat Ramadhan lalu.

Sesampai di kota pelajar, keesokkannya aku langsung ke kampus. Sengaja berangkat lebih awal berharap bertemu dengannya. Sesampai di kampus aku menuju jurusan dan melirik dari kaca jendela, melihat kertasku masih seperti dulu tetap berada di kotak masuk. Hatiku kembali gundah “akankah aku merasakan kekecewaan yang ke dua kalinya”. Saat itu, aku ingin masuk namun karena belum ada karyawan sehingga memilih menunggu di kantin.

Sembari menunggu, kubuka Al-Qur’an penyejuk hati namun tak luput jua berdoa yang terbaik. Satu jam kemudian salah satu staf jurusan datang dan aku langsung menghampiri tak lupa mengucapkan hari Idul Fitri.

Kotak kecil warna merah bertuliskan kotak masuk, aku menghampirinya. Coretan tinta hitam di cover membuat hatiku gundah “Sesulit inikah perjalananku”. Setelah membuka kertas selanjutnya, dengan hati yang sangat berharap ada keajaiban, membukanya dengan tangan yang lembut dan mata yang lebar.

Aku bertanya bolehkah aku mengambil kertasku? Kertas yang telah banyak mengajarkan aku tentang kesabaran, keiklasan dan memberikan pengalaman yang terbaik. Kertas yang sekilas tak berharga namun memiliki nilai yang sangat tinggi menuju hidup yang berarti. Kertas yang membuat aku manja pada Sang Khaliq. Melihat tanda tanganya hatiku gugup dan jantungku berdetak keras. Awalnya merasa tak percaya, seharusnya kertasku itu berada di kotak keluar tanda sudah selesai.

Saat itu hujan gerimis, angin, sampah dan tembok fakultas menjadi saksi akan kebahagiaanku melihat kertas itu setengah sempurna. Aku kirim pesan kepada sahabat seperjuang bahwa aku merindukan mereka. Aku sendirian, sepi dan sedih tanpa mereka. Dulu kami sama-sama merangkai hari dan bersama mengejar pelangi namun semester lalu keberuntungan belum berpihak padaku.

Hari demi hari kertasku semakin sempurna sehingga suatu hari aku jadikan kertas itu terlihat lebih sempurna. Syarat pendaftaran Yudisium salah satunya skripsi harus sudah di cetak. Sabtu itu, aku pergi ketempat cetak. “Bang saya mau cetak skripsi”, kata ku

“Ya berapa rangkap dan ukuran berapa?”, jawab sang penjaga

“Saya cetak sembilan ukuran A4 dua rangkap dan ukuran kuarto tujuh rangkap”.

“Ok, kata mutiaranya ini aja?”

“Ya bang, mang kenapa? Pakek tinta emas ya bang?”

“Kok sedikit kali, di komputer abang ada format kata mutiara coba kamu lihat dan edit”

“Oh makasih bang, saya memang ingin seperti itu aja, kata-kata yang saya buat itu ada banyak makna dan penting untuk saya”.

Sang abang menatap wajah saya yang serius mengungkapkannya.

“Oh okelah kalau begitu”, jawab sang abang singkat.

 

Dua hari kemudian aku kembali ke tempat cetak tersebut, aku menanyakan apakah sudah siap.

“Bang skripsiku udah siap?”

“Oh sudah, bentar ya?”, sembari mengambilkan skripsi

“Coba cek dulu, mana tahu ada yang salah atau rusak?”, kata sang abang menyuruhku memeriksa kembali skripsi yang telah 98% selesai.

Tanpa memeriksa aku langsung mengatakan “ngak apa bang, skripsi ini saya bawa langsung”. Tidak bisaku pungkiri selain bahagia, aku juga merasa kurang semangat.

Proses untuk mencapai 100%, ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Banyak tahap yang harus dilalui dan hingga pada akhirnya aku tercatat salah satu peserta Yudisium.

 

Sore Senin, gladi resik dimulai. Langit begitu cerah seakan tak ingin menyapa senja, daun-daun yang kering berjatuhan terhempas oleh angin yang begitu semangat menyapa makhluk. Keadaan begitu hiruk pikuk, banyak mahasiswa berkumpul dan ngobrol. Aku melihat mereka semangat dan berbeda dengan aku yang tak sanggup untuk mengungkapkan apa-apa.

Gladi pun di mulai, aku masih saja terdiam seakan keadaan bukan milikku. Hanya senyuman yang aku ciptakan hingga berakhir gladi. Malam pun menyapa bumi, bintang bertebaran memancarkan cahayanya. Bumi indah malam itu namun hati ku tetap angkuh dengan kebahagian.

Sang fajar begitu cepat  menyambut bumi, ayam begitu semangat berkokok, suara adzan begitu indah di dengar, dan matahari begitu cepat muncul menyinari dunia. Semua ciptaan Allah begitu antusias menyambut hari namun tak bisa kupungkiri hati begitu sulit mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Bahagia tak jua, sedih pun tak seberapa, tah lah.

 

Malu dan tak biasa, ya kali ini aku memang beda. Beda dari hari-hari yang telah kulewati. Beraneka ragam gaya dan model jilbab yang digunakan. Peserta Yudisium begitu tampan dan cantik-cantik. Detik-detik Yudisium pun tercium dan aku tetap merasa seperti hilang. Ata sahabat seperjuangku, penasaran bagaimana dengannya.

“Ta, bagaimana perasaan mu hari ini?”, tanyaku penasaran melihatnya yang biasa aja.

“Hmm jujur aku kurang bahagia sob”, jawabnya dengan suara rendah

Mang kenapa, bukannya kita hari ini Yudisium?”.

“Ya sih tapi aku merasa gak bahagia, seperti ada yang kurang, kalau kamu gimana?”.

“Sama, aku juga gitu sob, dari semalam aku ndak bisa tidur dan gelisah serta gundah”.

“Ya aku juga ndak bisa tidur, yadahlah kita jalani aja”.

“Yailah kita jalani masak merangkak pula he he”.

“He ya ya kita foto yukk”

 

Pembicaraan kami berakhir difoto. Selain bahagia ternyata luka masih tersisa. Tak bisa dipungkiri sejarah memang masa lalu yang sangat berpengaruh pada masa depan. Setabah apapun karang, ia akan terkikis oleh gelombang. Begitu juga dengan sejarah, meski telah berlalu akan ada bayangan yang tersisa saat meniti masa depan.

Perasaan gugup dan tangan gemetar, namaku di panggil. Aku melangkah dengan pelan dan hati-hati, wajah terasa gelap dan tak bisa memandang siapapun selain jalan yang kulewati. Ruangan begitu sesak, panas dan sumpek. Aku ingin cepat hari ini berakhir, tak tahan dengan keadaan yang semakin sesak.

Map berwarna hijau berukiran putih telah kuterima, hanya ada tiga kertas putih di dalamnya. Ya kertas yang begitu banyak menyita pengorbanan, saat melihatnya terasa begitu sedikit ilmu yang kudapatkan. Sejatinya penyesalan pun terbesit di hati, begitu banyak waktu yang terbuang, begitu banyak kelalaian dan merasa belum bisa apa-apa.

Diakhir acara, ucapan selamat terhanturkan dari para dosen dan guru besar. Terharu saat salah seorang dosen mengatakan “selamat Rama, semoga sukses, dan menjadi dewan di pemilu berikutnya”.

Ucapan itu, membuat tubuhku hangat dan jantung berdetak. “Jika guru saja mendoakan dan menginginkan aku sukses mengapa aku terdiam seperti ini”. Aku hanya tersenyum dan mengatakan “Ya bu, terimakasih. InsyaAllah aku coba lagi”.

 

Selesai ucapan selamat, aku teringat salah satu mahasiswa angkatan 2008 yang berhasil menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pemilu 9 April lalu. Dia saja butuh waktu 5 tahun untuk mencapainya, kegagalan pemilu kemarin kujadikan sebagai pengalaman dan pengajaran agar lebih fokus dan serius. Seperti pidato pak Dekan bahwa dakwah harus tetap dijalankan dan setelah Yudisium dunia akan menantang. Harus berhati-hati dan teliti dengan keadaan. Banyak hal pesan yang kami terima dan harapan yang di inginkan.

Selain pesan kami juga mengabadikan kenangan terakhir bersama para guru-guru yang selama ini telah membimbing dan memberikan ilmunya. Dan keangkuhanku pun pada kebahagian berakhir dengan kelegaan, akhirnya aku menggunakan kebaya jua. [SY]

Irama Br Sinaga, lahir di  Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Salah seorang cerpenis perempuan Aceh yang produktif, alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Mottonya  La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.