Salman Yoga S
Setiap bulan Agustus tiap tahunnya seluruh bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Dibalik peringatan itu tentu mengandung unsur apresiasi dan penghargaan terhadap pejuang dan syuhada bangsa yang telah bertaruh nyawa untuk meraihnya.
Terkait dengan hal tersebut tiga buku utama yang ditulis oleh putra Gayo; Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas karya AR. Latief, Pesona Tanoh Gayo tulisan A.R. Hakim Aman Pinan dan Mujahid Dataran Tinggi Gayo karya Mahmud Ibrahim, telah mengabadikan peristiwa berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Takengon dan hengkangnya tentara Jepang dari tanah Gayo. Dari ketiga buku tersebut disarikan dan dirangkum kembali sebagai upaya menghormati dan mengaktualisasikan nilai-nilai heroisme para pahlawan bangsa, sekaligus sebagai transfer pengetahuan sejarah bagi generasi.
* * *
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Kabupaten Aceh Tengah, tentara Jepang tampak jarang berkeliaran diseputar kota dan kampung-kampung seputar Takengon sebagai mana sebelumnya. Hal tersebut disebabkan tersiarnya kabar bahwa Jepang telah dikalahkan oleh tentara sekutu. Oleh karenannya secara sembunyi-sembunyi dan mendadak para tentara Jepang bergerak menuju Bireuen hendak melarikan diri. Sebahagian yang tertinggal ada yang melakukan Hara Kiri. Masyarakat merasa heran atas terjadinya peristiwa tersebut, apalagi dengan kembalinya beberapa pemuda Gayo yang sempat menjadi tentara Jepang dan pekerja paksa ke kampung halamannya.
Seluruh Perwira Tentara Jepang dan gundik-gundiknya berkumpul di Kantor Damar Takengon untuk diberangkatkan ke Bireuen pada malam harinya, sebahagiannya lagi ditempatkan pada sebuah Penginapan Suka Jaya. Sementara itu Gunseibu Jepang dengan rombongannya termasuk Raja Wahab pada waktu itu sebagai pengerahan tenaga rakyat dalam rangka kerja paksa juga menuju Bireuen, setibanya di Krueng Simpur mereka diperintahkan untuk kembali ke kota Takengon.
Tiba di Takengon Gunseibu memberitahukan kepada Raja Wahab bahwa Bom Atom, telah dijatuhan oleh tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki. Akibatnya Kaisar Jepang Hirohito telah menyerah tanpa syarat.
Dalam catatan AR. Hakim Aman Pinan dijelaskan pula bahwa di Takengon golongan Cina mulai menaikkan bendera sekutu, apa yang disebut Front ABCD dan RUSIA, yaitu Amerika, Inggris, Cina, Belanda dan Rusia. Menurut berita yang berkembang Cina akan masuk dan berkuasa di Indonesia, justru karena itu para pemuda Cina mulai melakukan penjagaan ditiap sudut kota Takengon. Barang-barang yang tidak pernah nampak sebelumnya seperti lampu strom king, minyak tanah, korek api ternyata mereka miliki.
Proklamasi Kemerdekaan di Aceh Tengah
Proklamasi kemerdekaan baru diketahui di Aceh Tengah pada pertengahan bulan September 1945, karena MR. TM Hasan dan Mr. Amir Syarifuddin sebagai utusan anggota Persiapan Kemerdekaan dari Jakarta datang terlambat. Demikian juga dengan Tgk. H. Ilyas Leube sebagai anggota Pemuda Proklamasi utusan Mr. Muhammad Hatta.
Meski demikian teks proklamasi kemerdekaan telah diketahui sebelumnya oleh beberapa orang pedagang yang datang dari Bireuen, di atas gerbong-gerbong kereta api dan di dinding-dinding toko di Bireuen tertulis teks Proklamasi Kemerdekaan.
Sementara itu pada malam tanggal 21 Agustus 1945, Mahreje menerima telpon di kantor Sunjo Bebesen dari M. Ali Junsa Bujo Bireuen menyampaikan pesan Muhammad Din dari Medan agar disampaikan kepada Raja Zainuddin, Raja Wahab bahwa Soekarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Gedung Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Pada malam itu juga Mahreje berangkat menuju kilometer 100 untuk menghubungi Raja Zainuddin, Raja Wahab, Raja Yakub, Raja Mukmin dimana mereka sedang berkumpul di rumah Raja Alisyah. Raja Wahab selanjutnya mohon diri untuk kembali kerumahnya di Paya Tumpi.
Sedangkan menurut Mahmud Ibrahim Proklamasi kemerdekaan Indonesia secara resmi diumumkan kepada masyarakat pada tanggal 20 Agustus 1945. Pengumuman itu disiarkan oleh Raja Abdul Wahab setelah menerima kawat yang memuat teks Proklamasi Kemerdekaan RI dari Muhammad Din yang pada waktu itu menjabat Teko Bitsu Sumatera berkedudukan di Medan. Berita kawat itu dikirim secara estafet melalui Kaisato Suco (Kepala Kepolisian) Bireun dan Kepala Kepolisian Takengon yang diantar oleh Mahreje juru tulis kantor Kepolisian Takengon. Kebetulan Raja Abd Wahab tidak berada di tempat. Setelah beberapa jam Mahreje mencari Raja Abdul Wahab barulah berjumpa di rumah Ali Syah di Paya Rabo Km 100 Pinangan. Kemudian teks proklamasi itu disiarkan kepada masyarakat yang disambut hangat dan bersemangat.
Pelucutan Senjata Tentara Jepang dan Pengibaran Bendera Merah Putih
Dalam situasi menunggu komando, terjadi beberapa aksi tidak resmi yang dilakukan oleh beberapa pejuang. Seorang pegawai Gunyaksu mengibarkan bendera Indonesia sejajar dengan bendera Jepang Hinomaru di halaman kantor jalan Mahkamah Takengon. Abd Muluk yang terampil mengemudikan mobil truck merk Nisan menuju kerumah Raja Zainuddin di Asir Asir Atas dan meminta bendera merah putih yang telah disiapkan oleh isteri keduanya. Selanjutnya Abd Muluk mengibarkan bendera tersebut di atas truck melalui jalan-jalan raya di kota Takengon. Namun kemudian Raja Abd Wahab meminta Abd Muluk agar menyerahkan bendera itu kepadanya di tempat kediaman Gunsibu Jalan Lebe Kader No. 1 Takengon.
Aksi-aksi tersebut membangkitkan kemarahan tentara Jepang. Karena itu Raja Wahab bersama Mude Sedang memanggil dan memimpin pemuda-pemuda bekas Heiho, Gyu Gun, Toko Bitsu, Saiden dan Kai Bodan serta pemuda-pemuda lainnya, untuk membentuk Barisan Berani Mati. Dengan tugas utama melumpuhkan dan merebut senjata Jepang. Barisan ini dipusatkan di Kleton Jalan Pahlawan Takengon dengan pengawalan ketat, agar tidak diketahui Jepang. Deng Bukit, Aman Gontong, Syech Umar Aman Yacob, Petue Rudin, Atang Muguril dan Nyaklah adalah sebagian anggota pengawal Barisan Berani Mati. Rakyat diserukan untuk siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Dengan senjata pedang, parang, tombak, bambu runcing dan lain-lain para pemuda menjaga keamanan kota dan kampung sambil menunggu komando. Perlawanan rakyat dipimpin oleh Ali Gonang, Syech Hasan, Anwar Badan, Guru Banta Cut, Darul Aman, T. Mahmud, Tala, Ajim, Tgk. M. Saleh Adry, Saleh Hafas dan Toke M. Zein (Azema).
Pada tanggal 21Agustus 1945 Gunyaksu Gun (Bupati) mengundang kilat para Sunco (Camat), Bendel Sunco (Kepala Mukim), para Kepala Kampung dan Kepala Sekolah untuk menghadiri pertemuan di gedung Sekolah Rendah Nomor. 1 di Simpang Lima Jalan Lebe Kader Takengon. Sebagian ruangan sekolah itu dipergunakan untuk kantor perjuangan. Surat undangan ditanda tangani oleh Raja Abdul Wahab dengan hal ”urusan pemerintahan dan keamanan”. Padahal acara tersebut khusus membicarakan tentang rencana melucuti senjata Jepang. Hal ini dilakukan agar pertemuan itu tidak dilarang oleh Jepang.
Pembicaraan yang terjadi dalam pertemuan tersebut berlangsung hangat antara pemerintah yang diwakili oleh Gonco Raja Zainuddin dan Kepala Kepolisian M. Yusuf dengan para pemuda, tentang waktu pelucutan senjata Jepang dan pengibaran bendera merah putih secara resmi. Pemerintah berpendapat bahwa pelaksanaan kedua aksi itu harus disiapkan dengan matang, untuk menghindari pertumpahan darah. Sementara pemuda pejuang mendesak supaya hal tersebut dilaksanakan pada hari itu juga, sebab semangat rakyat telah sangat bergelora untuk merebut kemerdekaan. Menjelang tengah hari, setelah melalui perdebatan ditetapkanlah bahwa pelucutan senjata Jepang dan pengibaran Bendera Merah Putih dilaksanakan pada hari Rabu 23 Agustus 1945.
Massa rakyat menunggu keputusan dan waktu pelaksanaannya. Dengan semangat bergelora mulai pagi Rabu masyarakat berbondong-bondong menuju Pesanggerahan Lut Tawar yang terletak di samping kanan pintu gerbang asrama tentara Jepang Jalan Puteri Ijo Takengon. Barisan Berani Mati dan massa menyerbu Asrama Militer Jepang. Sementara itu dilakukan pengibaran bendera Merah Putih secara resmi diawali sambutan oleh Raja Abdul Wahab dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI oleh Raja Mukmin. Sementara Ali Jauhari dan Ibnu Yogya bertindak sebagai penggerek bendera.
Upacara bersejarah ini berlangsung cepat lebih kurang 17 menit dan berakhir pukul 11.00. Tentara Jepang tidak berkutik, bendera Merah Putih berkibar untuk pertama kalinya secara resmi dengan megah di angkasa dataran Tinggi Gayo. Amanat singkat Raja Wahab saat itu berbunyi:
‘Saudara-saudara sekalian kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib kita pertahankan dengan perjuangan dan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Kita bertekad bulat dari pada hidup dijajah, lebih baik mati berkalang tanah”.
Pidato dan sambutan tersebut spontan disambut massa dengan pekikan “Merdeka” dan “Allahu Akbar”.
Sementara AR. Latief dalam bukunya Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas menyatakan Raja Wahab ketua Dewan Perjuangan Rakyat memerintahkan kepada Kepala Perkebunan Damar Takengon Sutan Muluk untuk menghapus tugu peringatan “Long Mars Van Dallen” yang terletak di simpang Jalan Lebe Kader dan setelah dihapus, Thomas Tarigan membuat prasasti yang bertuliskan “Indonesia Merdeka” pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 4 September 1945 Raja Wahab, Mude Sedang, Anwar Badan, Khaliddin Abubakar. Pimpinan API Kepala kepolisian, tokoh masyarakat turut menyaksikan pengibaran Sang Saka Merah Putih di atas tugu tersebut dengan diiringi lagu Indonesia Raya, dan pembacaan teks Proklamasi oleh Raja Wahab, sejak saat itu berkibarkan bendera Merah-Putih di Markas API dan kantor-kantor pemerintahan lainnya.
Berdasarkan keterangan AR Hakim Aman Pinan, sebelum sang Merah-Putih dengan resmi berkibar di atas tugu tersebut, bendera Merah Putih telah berkibar lebih dulu di Blang Kuyu. Pada malam harinya juga berkibar di Buntul Kubu Takengon. Siapa pelakunya sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Sementara itu di Blangkejeren teks Proklamasi di bacakan oleh M. Saleh Aman Sari. Sedangkan di Kutacane dibacakan oleh AR. Hajad.
Pada tanggal 4 September 1945, 25 orang pemimpin Perusahaan Damar, Teh dan Kopi di Aceh Tengah atas nama 5000 karyawannya mengirim surat kepada Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama. Surat tersebut berisi pernyataan menyambut kemerdekaan dan berdiri sepenuhnya di belakang presiden untuk mempertahankan kemerdekaan. Pernyataan serupa dikirim pula kepada pemimpin Pemerintahan Sumatera dan Aceh serta pemimpin masyarakat.[]
Daftar Pustaka:
AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung; Kurnia Bupa Bandung, 1995.
A.R. Hakim Aman Pinan, Pesona Tanoh Gayo. Takengon; Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, 2003.
Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon; Yayasan Maqamammahmuda, 2007.