
NOME tuyuh ni tamur, yang bermakna “tidur lelap di bawah tambur/beduk”, sebuah permisalan bernada sindiran kepada seseorang yang tidak faham persoalan atau hajatan besar yang semestinya diketahuinya.
Permisalan ini tentu tidak muncul begitu saja, salah satu sebabnya tentu karena begitu melekatnya Tamur dalam keseharian hidup masyarakat Gayo.
Tamur (Beduk-red) di Gayo kini tinggal cerita saja, nyaris tidak terdengar lagi suaranya dari mersah-mersah (menasah-red) saat masuknya waktu Shalat 5 waktu, saat berbuka puasa di bulan Ramadhan atau waktu-waktu lain yang khusus.
Di beberapa masjid memang masih ada wujudnya seperti di Masjid Ponok Balik dan beberapa masjid lain di dataran tinggi Gayo khususnya Aceh Tengah. Juga ada di Mersah Tue Serempah, Mersah Tue Kebet dan Mersah Padang (Mersah Kute).
Namun barang tersebut kesannya hanya teronggok jadi pajangan, lebih tepat lagi dibiarkan lapuk dimakan Bebur (Rayap-red) seperti yang terjadi di Mersah Serempah Kecamatan Ketol. Mersah yang dibangun berkontruksi kayu dan ditaksir sudah berumur ratusan tahun tersebut telah reot, dan Tamurnya dibiarkan tergeletak begitu saja, tak bisa berbunyi lagi karena kulitnya telah tiada.
Tambur atau beduk dulunya dipakai untuk tanda berbuka puasa atau imsak, dan juga bila ada sesuatu pemberitahuan yang dianggap penting. Tambur tersebut sampai saat ini masih ada juga dipakai, terutama saat berbuka atau imsak apabila lampu listrik mati. “Jadi tambur tersebut senantiasa dipakai untuk hal-hal tertentu dan saat-saat tertentu,” kata tokoh masyarakat Minang di Aceh Tengah, Irvan Rasyid yang sejak kecil menjadi jama’ah di Mersah Kute tersebut.
Di Kampung Kenawat Lut, pernah ada Tamur yang dibuat berbahan kayu Grupel, namun saat konplik Aceh berkecamuk di tahun 1998-2004 entah bagaimana sudah jadi abu dijadikan kayu bakar oleh warga yang kebetulan bertugas jaga malam kala itu. Begitu penjelasan Zulfikar, warga Kenawat Lut.

Tamur di Mersah Kebet juga dibiarkan tergeletak bersama barang-barang yang semi berguna lainnya dalam gudang. Mersah Kebet sendiri sudah tidak dipakai lagi sebagai sarana ibadah, disana sudah berdiri masjid megah yang termasuk masjid termegah yang ada di Aceh Tengah.
“Seingat saya sejak tahun 1939, tamur di Mersah Kebet mulai digunakan sebagai pengingat waktu shalat dan di bulan puasa. Penggunaan Tamur mulai hilang baru-baru ini saja, sejak mulai dibangun dan dipakai masjid yang sekarang,” kata AS Kobat Aman Pit.
Reje Kampung Kebet, Muslim mengaku pihaknya ingin sekali melestarikan Mersah Tue Kebet peninggalan leluhurnya tersebut termasuk Tamur, namun mereka tidak punya biaya untuk merawatnya.
“Kami kekurangan dana merawat dan menjaga merah bersejarah tersebut, karenanya jika berkenan agar Pemerintah Aceh Tengah segera mengucurkan dana agar peninggalan muyang datu tersebut tidak rusak”, kata Muslim beberap waktu lalu. Pun demikian, pihaknya tetap berupaya merawat Mersah tersebut, namun dirasa tidak maksimal karena tidak mempunyai dana khusus.

Sementara menurut kepala Mukim Toweren, Tgk. Haikal Sadiq, Tamur di pemukiman tersebut masih disimpan di beberapa Mersah namun sudah jarang digunakan saat tiba waktu shalat atau waktu imsak dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Namun jika listrik mati berkepanjangan seperti yang terjadi beberapa tahun lalu, maka Tamur akan kembali dipakai warga setempat.
Mirisnya di Linge, kawasan yang paling bersejarah di dataran tinggi Gayo, Tamur juga tidak lagi difungsikan di Mersah-Mersah atau Masjid. “Semua sudah tergantikan oleh load speaker,” ujar Kepala Urusan Agama (KUA) kecamatan Linge Mahbub Fauzie.
Di Bintang masih eksis
Patut di apresiasi, saat zaman moderen sekarang ini, bila ingin dengar suara Tamur saat bulan Ramadhan, boleh datang ke kecamatan Bintang Aceh Tengah, sebuah kemukiman yang terdiri dari beberapa kampung disisi paling timur Danau Lut Tawar masih bisa didengar suara Tamur, khususnya di bulan Ramadhan.
Menurut Pamong Budaya, Mukhlis Muhdan yang juga putra kelahiran Bintang, saat Ramadhan setiap waktu shalat 5 waktu, saat waktu berbuka puasa telah tiba, saat membangunkan kaum ibu untuk memasak makanan sahur serta saat imsak tiba para Bebujang (remaja putra-red).
“Disetiap kampung ada Mersah dan disetiap mersah ada Tamur, selain di bulan Ramadhan Tamur juga digunakan saat akan pengumunan ada orang meninggal dunia di kampung tersebut. Pengeras suara juga digunakan,” ujar Mukhlis.

Dan yang paling meriah adalah saat hari raya Idul Fitri, ujar Duta Wisata Aceh tahun 2011 ini. Mersah-mersah seakan berlomba meningkah bebunyian Tamur saat malam Idul Fitri dan mengiringi gema Takbir “Allahu Akbar” di pagi harinya 1 Syawal, hari kemenangan ummat Islam yang berpuasa.
“Ini adalah potensi wisata religi di Tanoh Gayo, kita mesti mempertahankannya dan sangat mungkin dikemas sebagai event bernuansa seni Islam dengan digelarnya Festival Tamur Gayo,” cetus Mukhlis.
Alat Musik
Tamur pernah dijadikan sebagai alat musik oleh musisi kawakan AR. Moese semasa hidupnya. Dia meramu bunyi pukulan Tamur degan bunyi alat musik lainnya, termasuk alat tradisional yang dia ciptakan sendiri seperti alat musik Perau, Gerantung dan lain-lain.
“Tamur secara khusus dipakai AR. Moese untuk lagu Perueren di tahun 1992. Untuk lagu-lagu lain juga dipakai, cuma saja tidak khusus,” kata mantan murid AR. Moese, Aman Ega.[]