Film “Aroma of Heaven”: popularitas kopi Gayo tidak sebanding dengan petaninya

oleh

aromaofheavenJakarta-LintasGayo.co: Dalam setiap cangkir kopi di Tanah Air, tidak hanya memberi pengalaman rasa tetapi juga identitas budaya Indonesia.

Begitulah pesan yang diangkat oleh Budi Kurniawan dalam film dokumenter besutannya yang berjudul “Biji Kopi Indonesia” atau “Aroma of Heaven”.

Budi membutuhkan waktu tiga tahun untuk melakukan riset mendalam tentang catatan alur sejarah kopi Indonesia.

“Sekitar 300 tahun, kopi Indonesia telah berkembang, tetapi rasanya belum ada perjalanan visual yang utuh tentang sejarah kopi Indonesia,” kata Budi mengungkapkan alasannya mengangkat film bertemakan kopi Indonesia.

Penonton akan dibawa ke tempat di mana kopi mulai dikembangkan. Di Desa Doro, Pekalongan, Jawa Tengah, pernah dibangun pabrik pengolahan kopi oleh Belanda. Pada tahun 1878 telah dibangun pipa penggelontor biji kopi yang tersembunyi di bawah tanah.

Dari sana lah kopi Indonesia kemudian diboyong hingga ke Eropa. Pada abad 18, kopi Jawa sangat populer. Nama Jawa melekat dengan kopi.

“Saking populernya, dulu secangkir kopi itu disebut a cup of Java,” ujar guru besar Antropologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Pujo Semedi seperti disampaikan dalam salah satu tayangan film tersebut.

Pujo menambahkan, kepopuleran Kopi Jawa bahkan terus melesat hingga abad 19 akhir. “Dalam kurun dua abad, Jawa berkembang menjadi produsen kopi terbesar di dunia,” ungkap Pujo.

Dari perkebunan kopi yang jauh dari hiruk pikuk kota, aroma kopi Indonesia sudah sampai hingga di gerai-gerai kopi di seluruh dunia. Bagi penikmat kopi, siapa yang tidak kenal Kopi Sumatera? Namun, hal itu tidak lantas membuat dunia tahu bahwa Kopi Sumatera berasal dari Indonesia.

Ironis memang dan fakta tersebut masih terjadi. Petani Gayo di Aceh Tengah menanam sekitar 136 varietas kopi sejak tahun 1903 hingga menjadi areal terluas kopi Arabica di Asia. Akan tetapi nama besar Gayo tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani di sana padahal kopi sebagai sentral ekonomi di sana.

Dalam film tersebut terungkap bagaimana rantai bisnis kopi Gayo yang juga disebut Siti Kahwa, cukup panjang. Biji kopi yang sudah dipanen dibawa ke Medan, Sumatera Utara, lalu baru diproses di sana. Hal ini membuat produksi kopi Gayo tidak imbangi nilai jual kopinya.

Dari Aceh, penonton dibawa ke timur Indonesia. Di Ruteng, petani menyanyikan lagu-lagu daerah seraya memetik biji kopi. Bukan biji kopi yang berwarna merah seperti umumnya, melainkan berwarna kuning.

Itu lah ciri khas dari kopi di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sudah sejak 100 tahun lalu kopi masuk di sana, kini Ruteng menjadi sentra pengembangan kopi. Hampir 90 persen warga di sana menaruh harapan hidup dari kopi.

“Tetapi setelah kopi dibawa dari Ruteng, identitasnya terlupakan. Petani biasanya membawa kopi ke Surabaya untuk dijuak tanpa membawa identitas kopi tersebut, darimana di tanamnya,” ujar farming facilitator Adam Musi.

Kopi dan Budaya “Kopi itu “beyond a cup of coffee”. Berbicara kopi artinya bicara tradisi, kedekatan, egalitiarisme, sense aquality yang ada dalam secangkir kopi. Itu bisa dilihat di Indonesia,” ungkap pendiri cikopo.com, Tony Wahid.

Seperti khas orang Gayo yang memiliki tradisi mengunyah biji kopi dengan sebutan qertoev kopi. Makan biji kopi menjadi tradisi asli di Gayo. Biasanya warga bersantai bersama sambil mengunyah biji kopi yang dipadukan dengan gula merah atau ditambah dengan minuman air putih hangat.

Berbicara kopi memang juga berbicara soal budaya. Kopi bukan sekedar minuman biasa melainkan sudah menjadi budaya. Perjalanan kopi di Indonesia merupakan campur tangan dari tradisi, budaya, seni, iman, serta keyakinan adat daerah masing-masing.

Setiap kopi pun selalu dipengaruhi daerah asal kopi tersebut yang artinya akan membawa kita pada sejarah. Kini kopi bergerak menjadi gaya hidup. Rasa dari sebuah kopi dibentuk dari sosial.

“Konsumen yang membentuk selera pasar. Kita tidak bisa menyalahkan selera kopi masyarakat yang dibentuk suatu perusahaan karena terkait dengan tren. Kopi selalu subjektif, tidak ada kopi yang paling enak. Kopi adalah pengalaman pribadi dan kita harus menghargai itu,” jelas Pujo.

Dari film berdurasi 65 menit ini kita bisa lebih dekat lagi mengenal kopi Indonesia meskipun tema yang diangkat begitu banyak sehingga film ini terkesan anti-klimaks.

Setidaknya film ini bisa menjadi awal para penikmat kopi menyelami identitas Indonesia sebagaimana yang diharapkan sang sutradara. Kita akan berpetualang mengenal kopi-kopi di Indonesia.

Seperti yang disampaikan Peneliti Kopi Indonesia, Surip Mawardi bahwa kopi Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. “Kopi Sumatera, misalnya, itu berbeda dengan Kopi Brazil. DI Brazil, panen kopi itu pakai mesin sehingga tidak selektif, begitu juga dengan cara pemrosesannya,” terang Surip dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.

“Selama hidup orang sayang sekali kalau belum menikmati kopi yang paling enak, yang disukai orang luar. Dan saya cuma mau ingatkan agar kita jangan melewati satu yang terbaik di dunia, kopi Indonesia,” tutur Tony.

sumber: RIMANEWS

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.