Demokrasi Indonesia

oleh

Muchlis-Gayo-SH-300x200Oleh : Muchlis Gayo, SH

LIBERTE ! EGALITE ! FRATERNITE !, Kemerdekaan ! Persamaan ! Persaudaraan. Semboyan-semboyan yang dipergunakan kaum pengusaha untuk menggerakan rakyat merebut kekuasaan dari tangan kaum bangsawan/feodal yang didukung Raja dan kaum gereja. Gerakan revolusi Prancis awal abad ke 19 untuk kebebasan dalam menentukan segala corak kegiatan ekonomi oleh pengusaha yang sebelumnya dalam gengaman Raja dan kaum bangsawan.

Revolusi yang digerakan kaum pengusaha sesungguhnya menghendaki kebebasan dalam ekonomi. Kebebasan ekonomi yang diperjuangan kaum pengusaha dikenal dengan istilah “ Liberalisme”  atau  “Liberty”. Kaum penguasa berpendapat bahwa kekuatan liberalisasi ekonomi dapat terjadi apabila didukung dengan kekuatan dibidang politik atau diawali dengan liberal Politik.

Liberal politik memberi kebebasan setiap orang boleh mengeluarkan pendapat, boleh berpidato, boleh memilih dan dipilih apapun latar belakangnya. Inilah hak-hak individu dalam parlemen yang disebut “Parlementaire democratie “. Slogan kemerdekaan, persamaan, persaudaraan yang melahirkan Parlemen demokrasi pada akhirnya hanya memberi keuntungan kepada penguasa dan hak rakyat tetap terabaikan. Pemilihan parlemen selalu dengan kampanye dan propaganda. Alat propaganda seperti media cetak, media kaca, radio, jejaring sosial dikendalikan oleh pengusaha. Pengusaha yang memiliki pabrik, mengendalikan buruh, mendirikan dan membiayai lembaga pendidikan, mencetak buku-buku. Hasilnya pemilihan,  Parlemen diisi oleh kaum pengusaha dan orang-orang yang didanai oleh pengusaha.

Gaya revolusi pengusaha di Perancis inilah yang terjadi di Indonesia. Dengan mengedepankan hak azasi manusia semua orang dengan latar belakang apapun selama memiliki ijazah SLTA boleh mencalonkan diri menjadi anggota Legislatif dan ekskutif. Dari 3 x pemilihan legislatif dan eksekutif terbukti yang punya dana besarlah yang menduduki parlemen dan jabatan Gubernur, Bupati/Wali Kota dan Kepala Desa. Maka wajar, jika beberapa menteri dan anggota parlmen jadi tersangka, dan 230 Kepala Daerah terindikasi terlibat korupsi.

Dalam Pemilu Legislatif 2014, Partai peserta pemilu hanya menjadi jembatan bagi kandidat dan tidak punya alat kontrol tatkala kandidatnya melakukan kampanye door to door dan membeli suara rakyat. Disinilah bedanya gerakan pengusaha di Perancis dengan Indonesia. Di Indonesia rakyat langsung dibayar tunai dari semua kandidat. Dengan seringnya pemilihan, rakyat beranggapan pemilihan adalah “Demokrasi Pesta Panen “, akibatnya rakyat menjadi miskin moral dan etika disamping miskin pendidikan dan ekonomi.

Di sidang ke-1 Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI di hari ke 4   tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wediodiningrat, tentang apa dasar Negara jika Indonesia Merdeka. Bung karno memaknai dasar Negara dalam bahasa Belanda “ Philosofische grondslag “, pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat  yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”. Bung Karno menawarkan 5 dasar disebut Panca Sila, dan dalam hal demokrasi  Bung Karno menawarkan “ Sosial Demokrasi” yang isinya, adanya persamaan politik dan persamaan ekonomi. “ saudara-saudara saya usulkan : kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economisce democratie yang mampu mendatangkan kesejahtreraan social”. (hal 8, Tjamkan Pantja Sila).

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Bung Karno memperlakukan Demokrasi Terpimpin sesuai isi ceramah Bung Karno kepada mahasiswa tahun 1964, setahun menjelang kejatuhannya. Bung Karno mengajak untuk meninggalkan alam demokrasi liberal, “saya mengundang agar supaya meninggalkan cara berpikir ala parlementaire democratie yang politik demokrasi tok. Saya mengundang agar supaya rakyat Indonesia itu dalam menyusun ia punya demokrasi menaruhkan segala sesuatu diatas kepribadian bangsa Indonesia sendiri “. Diakhir kuliahnya, Bung Karno menyatakan “oleh karena itulah diwaktu yang akhir-akhir ini saya menganjurkan dijalankannya demokrasi terpimpin”.( hal. 165 Tjamkan Pantja Sila ).

Uraian diatas menjelaskan, di era orde lama Presiden Soekarno mempergunakan Parlemen Demokrasi multi partai akibatnya Kabinet jatuh bangun, dan diganti Demokrasi Terpimpin. Pada rezim Orde baru, Presiden Soeharto yang militer mempergunakan istilah “Demokrasi Panca Sila“ yang sebenarnya demokrasi ekonomi dengan pendekatan stabilitas nasional, dan menempatkan ABRI dan Golongan Kekaryaan sebagai candradimuka parlemen. Demokrasi Pancasila, istilah lain Demokrasi super terpimpin tanpa kebebasan Hak Azasi Manusia (HAM).

Harus diakui demokrasi Panca Sila ala Orba adalah pelaksanaan demokrasi  musyawarah mufakat, yang kedaulatan rakyat ada pada MPR. MPR membuat GBHN, Presiden adalah mandataris MPR yang dipilih secara musyawarah mufakat. Sistem ini dapat berjalan karena keseluruhan anggota MPR hasil litsus, termasuk anggota Golkar, PDI dan PPP yang dipilih rakyat dengan sistem proporsional tertutup. Pemilih cukup memilih gambar Golkar atau Parpol. Siapa yang duduk di DPR diatur oleh peserta pemilu (Golkar, PPP dan PDI), Kampanye, tema kampanye, dana kampanye ditentukan oleh peserta pemilu.

Orde Reformasi menghendaki kembali ke UUD 1945, yaitu Sosial Demokrasi, isinya permusyawaratan yang memberi hidup, yakni demokrasi politiek-ekonomi. Demokrasi ini tidak berjalan, yang lahir demokrasi liberal ala Prancis, karena UU-nya produk anggota DPR alumni SKS yang individualis dan  Pancasilanya Pancasila P4, Pancasila MKDU, Pancasila PMP dan PPKN.

Demokrasi liberal dengan sistem pemilihan langsung proporsional terbuka, hanya berhasil memberi pengakuan terhadap hak azasi warga Negara Indonesia berIjazah SLA untuk dipilih menjadi anggota legislative. Lembaga perwakilan rakyat di era globalisasi dituntut mampu mengimbangi kualitas penyelenggara pemerintahan yang rata-rata berpendidikan S2.

Sistem Demokrasi liberal melahirkan manusia yang individualistis dalam masyarakat yang integralistik dengan budaya Gotong Royong. Demokrasi liberal versi orde reformasi yang mengutamakan Visi Misi, melahirkan kebingungan penyelenggara pemerintahan daerah dalam menyusun Rencana Pembangunan, karena perbedaan Visi Misi Presiden terpilih dengan puluhan Visi Misi Gubernur terpilih yang dikaitkan dengan ratusan Visi misi Bupati/Walikota terpilih dalam priode yang berbeda. Diera Presiden Soeharto, keterkaitan nasionalnya terpadu dalam GBHN yang ditetapkan MPR, dirinci dalam pelita-pelita oleh Presiden. Mata rantai kesinambungan pembangunan jelas, hasilnyapun jelas, KKN nya juga ikut jelas.

Tawaran Bung Karno untuk demokrasi terpimpin, dikombinasikan dengan demokrasi super terpimpinanya Soeharto, tanpa pendekatan stabilitas keamanan perlu dikaji, untuk dijadikan demokrasi Indonesia hebat dan bermartabat dengan tetap berlandaskan Pancasila 1 Juni 1945.

*Dosen Pancasila Universitas Gajah Putih Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.