Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelesaikan rekapitulasi perolehan suara Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 secara nasional. Pengesahan perolehan suara Pemilu Legislatif 2014 ini menyisakan banyak catatan untuk dikoreksi bersama. Terlalu banyak catatan “pekerjaan rumah” bagi penyelenggaraan pemilu pada masa mendatang. Namun kita selaku rakyat tidak perlu larut dalam euforia pengesahan tersebut karena letak esensinya adalah ketika semua wakil rakyat yang terpilih dapat membuktikan janji-janji masa kampanyenya.
Hasil perhitungan suara Pileg yang dilakukan KPU beberapa hari lalu, diharapkan menjadi introspeksi diri bagi semua anggota dewan yang terpilih. Hasil perhitungan KPU menggambarkan anggota dewan periode mendatang, baik yang berhasil duduk kembali sebagai wakil rakyat, maupun para anggota dewan yang benar-benar baru. Tidak hanya itu, sejumlah persoalan internal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menjadi perhatian wakil rakyat, terutama soal peningkatan kinerja dalam pelaksanaan fungsi utamanya.
Khusus untuk wakil rakyat provinsi Aceh baik tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/ Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPRI) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus menyadari betapa besarnya harapan dan kepercayaan masyarakat Aceh bahwa mereka dapat memperjuangkan aspirasi publik. Masyarakat menginginkan anggota dewan di parlemen mampu menangani sejumlah persoalan publik yang kian berat seperti persoalan ekonomi, pendidikan, reformasi birokrasi, dan menjaga perdamaian yang sudah tercipta di bumi Aceh.
Melihat kondisi masyarakat Aceh yang kian memprihatinkan sudah saatnya para pemimpin terutama para wakil rakyat yang terpilih untuk tidak lagi berpangku tangan dan acuh tak acuh dalam memperjuangkan serta memprioritaskan program-program kerja yang menyentuh kepada masyarakat banyak. Kepercayaan dan harapan masyarakat sudah terlalu besar kepada wakil rakyat yang hari ini terpilih oleh karena itu beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan besar wakil rakyat Aceh kedepan, disaat sudah dilantik menjadi wakil rakyat adalah:
Menjaga Perdamaian Aceh
Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pernah mengatakan harga sebuah perdamaian lebih mahal dari harga sebuah peperangan, sehingga perdamaian di Provinsi Aceh yang sudah berhasil diwujudkan secara susah payah harus tetap dijaga dan dipelihara. Tugas pemprov Aceh adalah menjaga perdamaian dengan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
Lalu, mengertikah para wakil rakyat apa yang mesti mereka kerjakan, untuk mengawal proses damai ini. Dibutuhkan program kerja yang kongkrit untuk mengawal ini, beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan para wakil rakyat kedepan seperti menyelesaikan berbagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan lebih memprioritaskan kepada program-program yang berpihak kepada publik dan jauh dari kepentingan kelompok sehingga keberlanjutan perdamaian Aceh dapat terjaga dengan sendirinya karena kesejahteraan yang diperoleh oleh masyarakat.
Ekonomi dan Kemiskinan
Berbicara persoalan ekonomi sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi maka semakin sedikit jumlah kemiskinan yang ditimbulkan. Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang patut menjadi satu fokus khusus bagi wakil rakyat terpilih karena sudah menjadi rahasia umum tingkat kemiskinan Aceh bila kita lihat dari sisi urutan secara nasional maka Aceh berada pada urutan ke-29 dari 33 provinsi di tanah air. Tingkat kemiskinan di Aceh masih berada di bawah rata-rata nasional. Kemiskinan di Aceh di bawah Nusa Tenggara Timur, tingkat kemiskinan di Aceh menyentuh angka 17,8 persen pada tahun 2013- April 2014.
Apabila mengacu pada dokumen RPJM Aceh 2012-2017 tercatat misal ditahun 2011 angka kemiskinan Aceh masih berada 19.15%. Penduduk miskin Aceh kebanyakan berada di gampong (desa) dibandingkan daerah perkotaan, penduduk miskin yang berada dikota sebanyak 218.080 jiwa (13.69%) sedangkan penduduk miskin di gampong mencapai 864.900 jiwa (21.87%). Dengan kondisi ini, kebijakan pemerintah diharapkan memiliki fokus yang lebih besar dalam pengembangan gampong, guna menurunkan angka kemiskinan di Aceh.
Reformasi Birokrasi
Birokrasi pemerintahan kita masih jauh dari kata memuaskan. Pertaruhan besar bagi wakil rakyat terpilih dalam menghadapi tantangan kerja nyata kepada masyarakat adalah dengan memperbaiki kualitas pelayanan publik. Hampir di setiap intansi pemerintahan permasalahan pelayanan publik selalu menjadi masalah utama seperti ribuan proses tumpang tindih antar fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, bahkan memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Kita menantikan upaya penataan ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa. Upaya merevisi dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.
Sebenarnya pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional namun perlu upaya, perhatian dan peran dari wakil rakyat yang terpilih untuk terus mengawal kebijakan ini hingga tuntas agar wujud reformasi birokrasi dapat berjalan dengan semestinya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses reformasi birokrasi ini adalah perubahan budaya dari pemerintah itu sendiri dengan dapat mengubah kebiasaan dari “minta dilayani” menjadi “hadir untuk melayani”. Karena dengan melayani, berarti pemerintah sudah lebih rensponsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Pendidikan
Secara nasional, angka ketidaklulusan dalam pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA pada tahun 2013 di Provinsi Aceh tercatat 3,11 persen atau sebanyak 1.752 siswa. Angka ini merupakan angka tertinggi di Indonesia, yang disusul Provinsi Papua di peringkat dua, dan Sulawesi Tengah di peringkat tiga.
Anggaran pendidikan Aceh yang melimpah ternyata tidak menjamin kualitas dari para siswa. Seperti diketahui oleh publik Aceh, sejak Tahun 2011, total belanja pemerintah untuk sektor pendidikan di Aceh secara nominal terhitung sebesar Rp 4,3 triliun. Jumlah itu meningkat dua kali lipat dari tahun 2007, yang terhitung sebesar Rp 2,1 triliun. Pada tahun 2012 tercatat Rp 3,9 triliun. (Serambi Indonesia)
Mengapa ini bisa terjadi di Aceh yang memiliki anggaran pendidikan besar serta fasilitas dan infrastruktur sekolah yang rata-rata lebih baik dibandingkan beberapa Provinsi lain. Bila melihat dari jumlah anggaran, sepertinya mustahil hasil UN SMA tahun 2013 di Aceh meraih peringkat terakhir se-Indonesia. Tapi, itulah fakta yang tidak bisa dibantah. Besarnya anggaran bukan jaminan untuk mutu yang membanggakan dari para siswa. Kesalahan penyelenggaraan pendidikan di Aceh memang sangat kompleks permasalahannya. Mulai dari ‘’raibnya” dana abadi pendidikan Aceh senilai Rp 1,844 triliun menjelang pemilukada Gubernur 2012 lalu. Selain itu kualitas guru atau pengajar juga masih rendah tercatat kualitas guru di Aceh berada pada peringkat 28 nasional. Oleh karena itu sudah menjadi tugas berat yang harus diemban oleh wakil rakyat kedepannya untuk menuntaskan permasalahan pendidikan Aceh yang begitu kompleks demi masa depan depan dan marwah Aceh karena pendidikan adalah pilar utama untuk membangun peradaban.
Sudah saatnya menjadi wakil rakyat yang sebenarnya, sudah cukup rakyat memilih wakil yang bukan sebenarnya. Semoga!
*Mustafa Kamal, Sekretaris Jenderal Garda Pemuda Nasdem Kota Lhokseumawe; Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan 4 (2014)






