HASIL pemilihan legislatif diikuti hiruk-pikuk koalisi. Koalisi di level nasional yang belum jua usai itu terasa sarat dengan bagi-bagi kekuasaan. Siapa Presiden, Wapres dan Manteri yang mengisi kabinet mewarnai deal-deal politik antar parpol. Saking serunya, Ketua Umum PPP Surya Darma Ali (SDA) nekad “mendeklarasikan” berkoalisi dengan Gerinda tanpa melibatkan pimpinan PPP lainnya. Demikian juga dengan Golkar yang “galau” karena belum ada parpol yang memastikan pencapresan ARB. Sementara koalisi poros tengah (atau Poros Indonesia Raya) tak jelas ujungnya. Belum lagi, poros demokrat yang masih mencari peluang untuk memimpin koalisi.
Apapun akhir dari bentuk koalisi itu nanti, semua kita berharap para pemimpin partai politik itu mampu menjadi negawaran yang mementingkan bangsa dan negara daripada kepentingan sekelompok elit partai/kelompok.
Sejarah politik koalisi parpol di Indonesia ini memang perlu menjadi pelajaran berharga bagi parpol yang ingin membentuk koalisi permanen di parlemen. Diakui atau tidak, pembentukan koalisi permanen di parlemen biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa agar program yang dibuatnya tidak mendapat hambatan di parlemen.
Gagasan untuk membentuk koalisi permanen ini mulai dikenalkan oleh tim kampanye kandidat presiden Megawati Soekarnoputri dan KH Hasyim Muzadi. Kandidat presiden yang dijagokan oleh PDI-P ini, bersama-sama dengan Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Damai Sejahtera, berusaha membangun koalisi permanen. Koalisi yang dinamakan Koalisi Kebangsaan itu dideklarasikan ketua umum dari empat partai tersebut kemarin. Koalisi Kebangsaan di parlemen mempunyai kekuatan 307 kursi atau lebih dari separuh kursi yang totalnya berjumlah 550.
Bila kita menyimak hiruk-pikuk koalisi nasional, lalu seperti apa koalisi lokasl di daerah ? ( di Provinsi dan Kabuaten/Kota) ? Walaupun koalisi daerah tidak untuk membentuk pemerintahan tapi sesungguhnya koalisi yang ideal mampu menjadi kekuatan dalam mendorong proses pembangunan di daerah. Dengan koalisi 50%+1 di DPRK, misalnya, maka bupati atau walikota dapat bekerja dengan efektif.
Membangun koalisi (lokal) di daerah diharapkan mampu memberikan keberpihakan elit-politik lokal yang direpresentasikan melalui anggota legislatifnya terhadap kondisi yang berkembang di daerah. Misalnya, koalisi yang dibangun oleh beberapa partai politik diharapkan mampu melahirkan inisiatif politik untuk membangun daerah dan sebaliknya koalisi juga mampu melahirkan sikap kritis terhadap eksekutif yang tidak melakukan tugas dan fungsinya dengan benar.
Sesungguhnyalah, anggota legislatif, bukanlah tukang stempel untuk mengesahkan rencana anggaran, pertanggungjawaban atau rencana-rencana peraturan daerah yang diajukan eksekutif. Koalisi lokal diharapkan memiliki kemampuan keberpihakan terhadap rencana-rencana yang diajukan oleh pemerintah daerah melalui rencana anggaran yang diajukan. Tapi koalisi juga memiliki kemampuan menolak rencana-rencana yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, koalisi lokal merupakan kata kunci yang memberi peluang perbaikan pada semua proses pembangunan di daerah . Yakni, keberpihakan para elit politik lokal, baik di pemerintahan maupun di legislatif, kepada masyarakat daerah dalam menyelenggarakan sebaik-baiknya roda pemerintahan serta menciptakan situasi sosial-politik yang kondusif. Itu artinya sebuah orientasi untuk membangun masyarakat yang lebih makmur, sejahtera dan visioner.
Pembangunan di daerah sesungguhnya tidak hanya menjadi domain kepada daerah. Inisiatif pembangunan sesungguhnya diharapkan banyak lahir dari legislatif atau kompromi antara eksekutif dan legislatif.
Membangun koalisi lokal bisa dilakukan dalam konstelasi formal antara partai politik yang diikat dalam kontrak kerja bersama atau dalam konstelasi non-formal. Misalnya, antara anggota legislatif yang memiliki kesamaan visi dan komitmen yang kuat pada pembangunan daerah dapat menyatukan langkah kerja bersama. Koalisi yang terbentuk ( baik formal mau pun tidak formal) dapat melakukan diskusi dan kajian bersama terhadap perkembangan daerah.
Tentu saja, koalisi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah koalisi yang positif bukan koalisi penekan yang kemudian menjadi “preman” dan kemudian menjadikan proses pemerintahan pada arah yang negatif.
Kita berharap kepada anggota DPR Kabupaten yang baru terpilih dapat segera memosisikan dirinya dalam sebuah koalisi di daerah. Selanjutnya anggota DPRK yang baru ini menyusun rencana-rencana yang strategis yang kemudian dikombinasikan dengan rencana pembangunan yang sudah disusun oleh pemerintah daerah. Koalisi yang kuat diharapkan mampu mengawal proses pemerintahan dan proses pembangunan pada track yang benar. Adakah koalisi lokal bisa terbentuk ?.[]
*Penulis adalah redaktur senior media online LintasGayo.co dan Tabloid dwi mingguan LintasGAYO