Gayo = Generasi Aceh yang Orisinil

oleh
Lokasi Penelitian Arkeologi di Loyang Mendale. (foto : Taufiqurrahman)

Hammaddin (Custom)Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Bangsa Aceh, dalam konteks tulisan ini bukan bercerita tentang suku Aceh tapi gabungan dari beberapa suku yang berada di lingkungan Pemerintahan Aceh, yaitu ; Gayo, Aceh, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Devayan, Sigulai, Simeulue, dan Haloban. Yang menjadi pertanyaan, siapa penduduk asli yang pertama kali mendiami wilayah paling ujung pulau yang dijuluki Andalas (Baca ; Pulau Sumatra).

Dari beberapa literature, dapat mendeskripsikan, bahwa suku Gayo merupakan penduduk asli yang pertama mendiami tanah Serambi Mekkah ini. Adapun data – data yang memperkuat argumentasi tersebut, penulis sajikan dalam tulisan singkat ini.

Ada pendapat yang mengatakan Tanoh Gayo merupakan sekeping tanah surga yang terlempar ke bumi. Alasan ini mungkin hal ini diilhami kondisi geografis yang mempesona serta di dukung dengan hasil alam yang banyak membuat mata dunia tertuju ke Tanoh Gayo saat ini. Kopi Gayo merupakan jenis kopi terunik dan memiliki varitas terbanyak di dunia. Getah pinus dari tanah Gayo merupakan getah pinus terbaik di dunia. Teh Gayo (baca ; The Redelong) pernah sangat terkenal di Benua Eropa sebelum meletusnya Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa, dan lain sebagainya.

Secara metafisika hal tersebut diatas sangat mempengaruhi dan memiliki sifat menggerakan atau mengsugesti para penghuni yang menetap hidup di sekitarnya. Catatan sejarah mencoret  bahwa banyak orang – orang besar lahir dari Tanoh Gayo. Raja Aceh I pertama lahir dari belantara pedalaman tanoh Gayo. Pendiri kerajaan Samudra Pasai dan sekaligus sultan pertamanya juga dari tanoh Gayo yang terkenal dengan sebutan Sultan Malikulsaleh atau orang Gayo menyebutnya Merah Silu. Beliau merupakan putra dari seorang tokoh penyebar agama Islam di kota Takengon, yaitu Muyang Kute. Pencipta loga Aceh ( baca ; Panca Cita ) juga orang Gayo yaitu Khairul Bahri ( lihat Buku Gayo Awards 72+…..Jema “ People of the Coffee” yang akan diterbitkan ).

Dan ketika dulunya orang Gayo masih mengkonsumsi makan serba tradisional, dari Tanoh Gayo bisa melahirkan lebih kurang 17 orang mendapat gelar profesor, yang pada saat itu secara kualitatif penduduk rakyat Gayo masih sangat sedikit ( lihat Tabloid Gayo Post “Gayo, Ukang Ogor – Ogoren” Edisi 04 April 2012 hal 14 )

Asal Usul Orang Gayo ?
Keberadaan tentang asal usul masyarakat Gayo, yang mendiami gugusan pengunungan Bukit Barisan atau pedalaman wilayah Aceh itu. Sampai saat ini masih diselimuti “ kabut   misteri “. Beberapa nara sumber, kadang – kadang mempunyai pendapat yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya. Tapi, sekarang setelah ada penelitian Arkelogi di pedalaman Tanah Gayo, sedikit banyak menjadi seberkas sinar menguak tabir keberadaan suku Gayo.

Dari beberapa literatur tua yang penulis baca dan hasil diskusi dengan beberapa pemerhati sejarah Gayo dari beberapa disiplin keilmuan. Penulis menyimpulkan bahwa nenek moyang orang Gayo sekarang mulanya berasal dari percampuran bangsa Veda dengan penganut kebudayaan Austronesia atau terkenal dengan sebutan Proto Melayu yang membawa kebudayaan Neolithikum.

Menurut Teori Sarasin / bersaudara, bahwa bangsa Veda awalnya mendiami wilayah Asia Tenggara dan merupakan populasi pertama yang mendiami kepulauan Indonesia dengan genotif  berkulit gelap dan berpostor kecil bersifat pemalu ( baca ; Budaya Sumang dalam Adat Gayo ). Keturunan asli bangsa Veda yang ada saat ini di yakini adalah suku Kubu yang berada di Jambi. Sebahagian lagi berasimilasi ( baca ; kawin silang ) dengan pendatang baru yang masuk ke pulau Sumatra ( baca ; Proto Melayu ). Bangsa Veda yang asli musnah, diperkirakan di sebabkan letus vulkanik gunung krakatau yang memisahkan pulau Jawa dan Sumatra.

Dalam perkembangan selanjutnya percampuran genetik ( baca ; perkawinan ) dan budaya antara bangsa Veda dengan kelompok manusia Austronesia adalah cikal bekal sebuah suku yang kini di sebut Gayo. Hal ini diperkuat dengan diketemukannya gerapah yang merupakan peralatan manusia kelompok Austronesia dan kapak peralatan Bangsa Veda (lihat Serambi Indonesia terbitan 27 November 2012 dengan judul “Arkeolog Temukan Kerangka Manusia 2.000 tahun lalu”).

Ada pendapat yang mengatakan lebih ekstrem lagi, bahwa suku Gayo merupakan suku kuno yang masih tersisa. Hal ini diperkuat dengan diketemukannya gerapah yang dulu berfungsi sebagai tempat beras yang umurnya lebih tua dari yang berada di Hindia, yang selama ini diyakini sebagai daerah tempat asal muasal padi. Dan apakah mungkin tanoh Gayo ini merupakan tempat legenda benua yang hilang itu ? Hipotesa itu bisa mendekati sebuah kebenaran, bila mengacu kepada diketemukan adanya aktivitas di sekitar danau Laut Tawar sekitar 7.000 tahun yang lalu ? ( Lihat buku “Gayo Merangkai Identitas” ). Ada tulisan selanjutnya yang sekarang masih dalam proses mencari bandingan literatur mengupas tentang hal tersebut berdasarkan analisi konstruksi sejarah komparatif dengan judul “Gayo, Bangsa Kuno Yang Tersisa”).

Dalam proses berjalannya roda kehidupan sehari – hari dan untuk mencapai sebuah tujuan. Akhirnya mereka membutuhkan sebuah pimpinan yang bisa mengarahkan mereka secara massal menuju satu tujuan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidup ( baca ; lahir batin ). Akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan yang sekarang kita kenal dengan sebuah kerajaan yang diberi nama Linge.

Dalam konteks tulisan ini kami menyebut “Buntul Linge”. Keberadaan Buntul Linge telah ada sejak perkembangan peradaban Siawaisme. Pada saat ini Buntul Linge dikenal sebagai Mekkahnya penganut peradaban siwaisme. Tapi, sayang sekarang kita hanya mengenal Linge hanya sebuah kerajaan semata yang konon kabarnya masih memiliki 19 keturunan.

Dari beberapa literatur, kata linge berasal dari kata sangsekerta yang artinya kursi atau kekuasaan. Dan dalam bahasa yang lebih tua lagi, yaitu bahasa priya ( baca ; Hindu Kuno ), linge berarti persembahan. Sedangkan pimpinannya dinamakan “Meurah” ( baca ; sebutan untuk raja – raja kuno ). Baru di periode generasi selanjutnya setelah masuknya unsur Islam ( baca ; era Masehi ), pimpinannya diberi gelar Sultan.

Ada sebahagian pendapat yang mengatakan bahwa kata linge artinya linge wo siara ( baca : Suaranya Cuma Ada ) yang dihubungkan, katanya ( baca ; belum ada fakta yang mendukung kebenaran itu ) dengan kedatangan pimpinan Gayo dahulunya yang hanya ada suaranya, tapi wujutnya tidak nampak. Menurut hemat penulis, itu bisa di sebut hanya merupakan sebuah akal – akalan orang dahulu untuk menutup ketidak tahuan sejarah sebelumnya ( baca ; keterbatasan pemikiran ). Artinya memutuskan mata rantai sejarah, yang akhirnya ceritanya bersifat penipuan publik.

Sedangkan sebutan kata Gayo diyakini dikenal setelah berdirinya ketika Buntul Linge banyak dikunjungi sebagai tempat persembahan peradapan siwaisme. Artinya kata Gayo ada setelah adanya sejarah. Hal ini sama dengan kasus. Sebelum Jakarta, namanya Jayakarta. Sebelum Jayakarta, namanya Batavia. Sebelum Batavia, namanya Sunda Kelapa. Sebelum Sunda Kelapa, namanya….. Tapi, di daerah itu telah ada penghuninya. Jadi sejarah manusianya dulu baru diberi namanya atau manusia lahir dulu baru diberi nama, bukan namanya dulu baru orangnya lahir.

Kata “ Gayo “, menurut beberapa pakar, antara lain di ungkapkan oleh seorang pakar yang berasal dari  Negara Brunai Darussalam, yaitu Prof. Dr. Burhanuddin, mengatakan kata Gayo dalam bahasa Melayu Brunai Darussalam dan Malaysia adalah “ Indah “ dan kata ini hanya pantas diungkapkan / dilontarkan pada saat – saat upacara tertentu saja.

Menurut sebuah  informasi yang di sampaikan secara turun temurun dari satu genarasi Gayo ke generasi Gayo selanjutnya ( baca ; kekeberen / bhs Gayo ). Bahwa kata Gayo berasal dari kata “ Garib “ atau  “ Gaib “. Hal ini dihubungkan dengan datangnya pertama kali leluhur orang Gayo ke wilayah ini,  yaitu ; pemimpin rombangan yang datang tidak nampak wujudnya tapi suaranya kedengaran. Ada lagi yang menghubungkan kata Gayo dengan “ dagroian “  berasal dari kata – kata         “ drang – gayu “ yang artinya orang Gayo. Dan ada juga menyebut dengan sebutan pegayon yang artinya mata air yang jernih.

Hal diatas mungkin bisa kita anggap sebuah kebenaran sementara. Kalau kita melihat dari sudut lingguistik. Karena makanan yang dikonsumsi berubah setiap generasinya, yang pada akhir berpengaruh kepada konstruksi gigi yang bisa mempengaruhi dialek suara.

Mereka pertama kali menetap di bagian pesisir pulau sumatera. Seterusnya mereka bermigrasi menyelusuri sungai –sungai yang berada di pedalaman Aceh. Makanya setiap perkampungan kuno, yang pasti berada dipinggiran alur sungai, karena melalui sungailah mereka bermigrasi.  Secara umum, mereka masuk ke tanoh Gayo melalui jalur – jalur  sungai besar, antara lain : Pertama ; dari muara sungai Peusangan yang berhulu ke danau Laut Tawar. Sehingga mereka di sebut pegayon ( baca ; air mata yang jernih ). Hal ini juga di perkuat  dengan diketemukannya kehidupan di dataran  tinggi tanoh Gayo di jaman pra sejarah. Bukti ini dapat kita lihat dari hasil penelitian Madya Bidang prasejarah Balai Arkeologi Medan yang menemukan adanya sebuah kehidupan manusia purba di Ceruk Mendale dan Loyang Putri Pukes. Bahwa proses hunian telah berlangsung dikawasan ini sejak periode mesolitik pada masa 3.580 tahun yang lalu. Dan dalam penelitian tersebut mereka juga menemukan kerangka manusia purba yang diyakini sebagai salah satu leluhur rakyat Gayo. Hal masih dilakukan pengetesan DNA         ( Deoxyribonucleic Acid ) untuk menguji hipotesa tersebut.

Kedua ; jalur sungai Jambu Aye kira – kira baru pada tahun 300 SM menyingkir kepedalaman wilayah Aceh. Hal ini disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Kincir dan Kamboja. Dan juga dilatar belakangi ekonomi, yaitu karena masyarakat tersebut bermata pencaharian  mencari ikan dan bercocok tanaman. Sebahagian dari mereka untuk memperluas usaha dan  menambah penghasilan, terus menyelusuri sungai tersebut, terus menyelusuri sampai ke muara sungai yang ada di pedalaman ( baca ; daerah Samarkilang atau orang Belanda menyebut dengan sebut Samarlang bukan Samalanga ). Akhirnya ada sebahagian yang terus menetap di sana tidak pulang lagi menata kehidupan baru yang terus berkembang dari hari ke hari.

Beberapa periode kemudian ( baca ; abad Masehi ) terjadi pembauran dengan pendatang – pendatang baru berikutnya yang menetap dan berkembang di tanah Gayo. Yaitu :Pertama ; ini berhubungan masuknya pengaruh budaya Islam ( baca ; aliran Syiah maupun Suni ) di lingkungan kerajaan Linge. Konon kabarnya dibawa oleh oleh orang – orang keturunan Persia yang datang ke tanah Gayo. Ada sebuah informasi yang mengatakan bahwa orang Gayo yang berada di daerah Serule merupakan keturunan mereka, yang mempunyai ciri – ciri fisik tinggi kurus dengan warna mata coklat gelap dengan hidung mancung. Mereka ini berbeda dengan bentuk fisik orang Gayo kebanyakan.

Kedua ; berhubungan dengan pelarian politik dari daerah Perlak, yaitu ketika Raja Linge mengizinkan rombongan Malik Ishak yang berjumlah 300 orang untuk tinggal dan sekaligus diberi hak untuk mendirikan kerajaan Islam di Isaq. Ketiga : ada sebuah informasi yang mengatakan, bahwa dulunya ada rombongan pengungsi dari wilayah kerajaan Majopahit yang menetap di sekitar daerah yang sekarang di kenal dengan sebutan daerah Penarun. Raut wajah mereka lebih mirip kejawaan. Informasi ini berhubungan dengan cerita yang berkembang di masyarakat tentang “ Legenda Keris Majapahit”.

Keempat ; kedatangan orang Batak Karo yang menuntut kematian saudara mereka yang datang untuk melihat ke indahan danau Laut Tawar, mereka  dibunuh oleh rakyat kerajaan Bukit. Hasil negoisasi akhirnya sebahagian daerah kerajaan bukit di berikan kepada mereka. Maka berdirilah kerajaan Cik Bebesen atau mereka sering di sebut dengan sebutan Batak 27.

Versi yang lain yang berhubungan dengan hal ini adalah berhubungan dengan kedatangan orang – orang dari tanah Batak yang menuntut hak warisan sebagai keturunan Gayo yang dulunya berantau ke tanah Batak. Hal ini diperkuat dengan penelitian Ketut Wiradanyana yang memunculkan hipotesa bahwa Orang Batak Berasal Dari Tanoh Gayo ( lihat Serambi Indonesia  hal 18, Kajian Arkeologis ; Suku Batak dari Gayo, terbitan 12 Desember 2011).

Kelima ; Menurut Akmal ( baca ; yang pernah menjadi seorang interverter peneliti Asing era Gubernur Aceh Ali Hasimy ) hal ini berhubungan dengan pembangkang politik pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dibuang ke luar Pulau Jawa, yaitu ke Digul, Suriname, Aceh – Gayo.

Keenam ; era tahun 1900 – an yang itu dengan dibukanya lahan perkebunan di dataran tinggi tanah Gayo oleh Belanda. Karena kekurangan tenaga pekerja maka pemerintahan kolonialisme Belanda mendatang pekerjanya dari daerah luar tanah Gayo, khususnya dari pulau Jawa.

Dengan perjalanan waktu ( baca : periode ) dan adanya interaksi antara mereka terjadilah pembauran ( baca ; melalui jalur perkawinan ). Beberapa generasi kemudian sampai sekarang. Mereka inilah cekal bekal masyarakat Gayo yang sekarang. Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga muncul istilah ; Gaja ( Gayo Jawa ), Gapa ( Gayo Padang ), Gac   ( Gayo Aceh ), Gaba ( Gayo Batak ), Gab ( Gayo Arab ), dan lain – lainnya.

Penutup
Alangkah naifnya sekarang, kita bertanya kepada orang lain, siapa kita sebenarnya ? Banyak penulis – penulis Gayo menggunakan referensi yang bersumber dari orang asing yang notabene mempunyai kepentingan tersendiri. Malahan hal yang sangat sensitif dalam budaya Gayo menggunakan literatur asing, khususnya Snock Hurgranje seorang antropolog asal Belanda.

Menurut  Surahman ( baca : Sarjana Ilmu Politik dosen Fisip UGP Takengon ; “ bahwa Snock Hurgranje merupakan spionase ( baca ; mata – mata ) asing yang membuat 2 buku tentang Budaya Masyarakat Gayo. Yang asli dikirim langsung ke Amesterdam  Belanda. Sedangkan satu lagi beredar di Indonesia. Dan dia melakukan penelitian hanya 6 bulan di Meulaboh dengan metode wawancara”.

Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah bisa dikatakan data itu valid, hanya melakukan penelitian dengan rentang waktu yang sesingkat itu ?. Adakah cerita Ikan depik merupakan salah satu ikan khas yang hidup di danau Laut Tawar dalam catatan penelitiannya ? Mungkin kasus ini sama dengan Marco Pola ( baca ; yang katanya penjelajah ) yang bercerita tentang Budaya Cina. Dia tidak sedikitpun menyinggung tentang “Tembok Cina”. Tembok ini merupakan salah satu karya manusia yang bisa dilihat telanjang dari bulan ( baca ; tanpa alat ). Percayakah kita dengan karyanya itu ????

Melalui tulisan singkat ini penulis mengajak seluruh komponen lapisan masyarakat rakyat Gayo untuk melihat dan mengkaji kembali serta memperkenalkan kepada rakyat Gayo khususnya, kepada dunia luar pada umumnya tentang sejarah yang telah lama terkoyak terkubur oleh arus perjalanan peradaban zaman. Mencari mana yang benar serta mana yang salah, mana yang relevan dan mana yang tidak, perlu diberi baju atau dengan kata lain berangkat dari yang aslinya, dihiasi dan diserasikan sesuai serta sejalan dengan tuntunan zaman.

Dan marilah kita sebagai generasi Gayo, untuk mulai menulis tentang sejarah kita yang tersobek dan tercecer. Di daerah lain, dongeng jadi sejarah, sedangkan kita sejarah jadi sebuah dongeng. Semua disebabkan karena kita tidak mau untuk mulai menulis.

Akhirnya, tiada gading yang tidak retak. Demi kesempurnaan penulisan selanjutnya. Penulis dengan rendah hati menerima kritikan dan saran dari pembaca. Kepada Allah SWT jua penulis berserah diri dan hanya Dialah yang Maha Sempurna, yang memiliki segala–galanya. Penulis hanyalah sebagai hamba yang hina yang selalu berselimut kekurangan.

 —

*penulis adalah seorang antropolog, Wakasek Kurikulum SMAN 1 Timang Gajah Kabupaten Bener Meriah dan Ketua P3M FISIP Universitas Gajah Putih – Takengon.

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.