Oleh Johansyah*
“Telah berkata Allah ta’ala, munegah jema buet uru-uru, enti itunungko sara buet, ike gere depet ningko ilmu, sikerna penenge urum penengon, ikunei Tuhen barang nge tentu, demikian ku atas ate, oyape bese iperikse mutuju, amal ibadat enti munurut edet, mungikut buet si telah lalu, tanih temanih turun temurun, kune perbueten ni muyang datu, berbuet ibedet gelah karena Allah, enti kerna orop tung ijazah ari tengku guru, berbuet ibedet ke male ibueten, dalil keterangen ikuinei ku tengku, enti lagu jema ikut-ikuten, sana ibueten orop itetiru, olok pedi sesat tekelid bota, iharape pahala nise demu, padahal Tuhen nge munegah, gere iosah buet uru-uru…, dst” (uru-uru, sa’er Abdurrahim Daudi)
Petikan sa’er di atas saya kutip dari kumpulan sa’er karya Tgk. Abdurrahim Daudi atau Tgk. Mude Kala pada tahun 1370 Hijriyah (1950 Masehi). Beliau dikenal sebagai penulis buku Tafsir Gayo yang diterbitkan dalam bentuk buku kecil, cetakan Maktabah al-Baby al-Halaby, Kairo, tahun 1938, dengan biaya Tgk. Abdul Wahab. Menurut Prof. Dr. Alyasa Abubakar, hingga kini beliau adalah satu-satunya putera Gayo yang menulis kitab tafsir dan belum ada generasi Gayo berikut yang meneruskan jejaknya (Alyasa, 2009).
Sosok Tgk. Mude Kala sebagai intelektual dan ulama kenamaan di dataran tinggi Gayo yang memiliki karya tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi kita. Namun hal yang membuat kita miris adalah ketika tidak atau belum ada orang Gayo yang mengikuti jejak intelektual-religiousnya yang gemilang ini. Bahkan lebih menyedihkan lagi ketika sebagian besar generasi muda Gayo tidak mengenal tokoh intelektual sekaligus ulama sekaliber Tgk. Abdurrahim Daudi. Terus terang, saya pun baru mendengar nama beliau di bangku kuliah sebab orang tua tidak pernah bercerita tentang beliau.
Pertanyaannya, siapa penerusnya? Adakah keinginan generasi muda Gayo untuk mengikuti jejaknya? Adakah minat dan motivasi orang tua untuk mendorong anak-anaknya agar mengikuti jejak beliau? Dan, adakah komitmen kuat dari pemerintah daerah untuk mengirim putera Gayo ke sebuah perguruan tinggi dengan mengambil konsentrasi tafsir sebagai upaya meneruskan jejak sang ulama penulis?
Semua sulit dijawab, dan kalau pun harus dijawab pasti jawabannya nihil. Buktinya hingga kini belum ada sosok ulama Gayo yang melahirkan sebuah karya tafsir, atau minimal artikel-artikel terkait tafsir. Jika kita mau melihat minat dan motivasi orang tua di dataran tinggi Gayo mungkin lebih dominan mendorong anaknya untuk mendalami bidang-bidang lain yang tidak berorientasi pada konsentrasi studi keislaman.
Perhatian pemerintah daerah
Bagaimana dengan perhatian dan motivasi pemerintah daerah? Saya kira juga masih lemah, bahkan sangat lemah. Saya belum pernah mendengar pernyataan dan aksi serius dari kepala daerah di Gayo yang mendorong generasi mudanya agar mengikuti langkah cerdas seorang Tgk. Mude Kala. Lebih dari itu, berharap ada program khusus pengiriman delegasi putera Gayo yang dipersiapkan untuk meneruskan langkah Tgk. Mude Kala, masihlah sebuah mimpi.
Saya pernah mendengar pernyataan mengejutkan dari salah seorang pegawai pemda di Gayo. Ceritanya, kala itu saya hendak menyelesaikan studi strata 2 dan memohon surat izin belajar. Dia tanya kepada saya apa konsentrasi yang diambil di strata 2, saya katakan; ‘Pendidikan Agama Islam (PAI)’. Terlihat dia mengernyitkan kening dan mengatakan; ‘wah, kalau untuk PAI agak berat pak, kita membutuhkan starata 2 yang eksak, bukan bidang agama. Lalu saya tanya pada dia; ‘ooo, jadi PAI tidak dibutuhkan di sini pak ya?’ saya tidak menunggu jawabannya, lalu keluar dari ruangannya.
Dari pernyataannya ini dapat terbaca, betapa masih sempitnya pemahaman sebagian orang di Gayo yang masih mendikhotomi konsep keilmuan. Dia mengira bahwa untuk membangun sebuah daerah hanya bidang-bidang ilmu tertentu saja yang diperlukan. Padahal semua disiplin ilmu harus diintegrasikan dan harus disinergikan.
Kalau begini pola pikir sebagian orang yang ada di Gayo, maka mustahil akan lahir penerus Tgk. Mude Kala karena kurang didukung. Barangkali dalam benak orang seperti ini, untuk apa menyekolahkan putera Gayo untuk ahli tafsir, hanya pandai bicara ayat, lebih baik menyekolahkan putera Gayo dalam bidang pertanian atau bidang lainnya karena lebih kontributif untuk membangun Gayo. Ini adalah pola pikir yang sesat. Pola pikir yang benar adalah semua ilmu penting karena tidak satu ilmu pun yang tidak bermanfaat.
Dulu ketika daerah ini dipimpin oleh seorang Mustafa Tamy, ada respon positif dan langkah ril dalam bidang pendidikan. Dia mengirim beberapa putera Gayo ke luar daerah untuk mengikuti strata 2 dengan biaya pemerintah daerah. Sayang bidang yang menjadi perhatian masih terkonsentrasi pada bidang tertentu dan belum ada perhatian yang serius terhadap konsentrasi studi keagamaan. Saya berharap Bupati setelah beliau mampu memberi perhatian yang lebih terhadap bidang yang dimaksud, tetapi sampai sekarang belum terlihat.
Belum ada
Lebih dari itu, jangankan cita-cita yang kuat untuk meneruskan langkah cerdas Tgk. Mude Kala, mengabadikan namanya saja belum ada upaya dari masyarakat dan pemerintah di Gayo. Sepengetahuan saya, belum ada sebuah nama lembaga pendidikan di Gayo dengan nama Abdurrahim Daudi atau Mude Kala seperti lembaga pendidikan yang kerap kita lihat di wilayah lain.
Dulu, menjelang penegerian STAI Gajah Putih (STAI-GP), pernah ada usulan agar STAIN-GP diganti nama menjadi STAIN Abdurrahim Daudi. Konon Bupati Aceh Tengah yang bertahan waktu itu agar tetap menggunakan nama STAI-GP dengan alasan karena sudah cukup dikenal di Gayo. Padahal secara filosofis, berdasarkan tokoh, karya, dan bidang kajian, nama STAIN Abdurrahim Daudi jauh lebih relevan. Bukan berarti saya tidak mengakui eksistensi Gajah Putih, tetapi untuk nama perguruan tinggi rasanya kurang sesuai dengan cita-cita dunia akademis. Barangkali Aceh Tengahlah satu-satunya yang memakai nama perguruan tinggi dengan nama hewan, walau pun menurut ceritanya dia adalah jelmaan dari manusia (lihat Al Misry, 2013).
Gayo tidaklah terlalu ‘polos’ dan tertinggal dalam melahirkan tokoh intelektual. Tgk. Abdurrahim Daudi adalah salah satu contohnya. Untuk itu mungkin tidak berlebihan jika kita mengatakan beliau sebagai the first and special one dalam bidang karya tulis di Gayo pada saat orang-orang masih terbelenggu dengan budaya lisan, tapi dia berhasil menerobosnya.
Tgk. Abdurrahim Daudi telah mengisi lembar sejarah Gayo dengan karya Tafsir Gayo dan sa’er-sa’ernnya. Dia adalah adalah ulama Gayo sekaligus intelektual cerdas yang sejatinya menjadi spirit dan role model bagi generasi muda Gayo. Sekarang era Gayo ada tangan kita dan suatu saat akan menjadi sejarah masa lalu pula. Pertanyaannya, karya berguna apa yang dapat kita tinggalkan untuk anak cucu kita nanti? Akankah lahir penerus sang Ulama penulis? Wallahu a’lam bish shawab!
*Pengamat pendidikan. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id