Cuci darah dan Silaturrahim di RSU Datu Beru

oleh

Catatan : Khalisuddin*

Ama dan Ine di ruang Hemodialisa RSU Datu Beru Takengon
Ama dan Ine di ruang Hemodialisa RSU Datu Beru Takengon

PELAYANAN para tenaga medis di ruang Hemodialisa (cuci darah) Rumah Sakit Umum Datu Beru Takengon Kabupaten Aceh Tengah kiranya layak diapresiasi.

Beberapa kali berkeinginan menumpahkan apa yang saya alami di ruang tersebut sejak beberapa bulan terakhir saat mengantar ayah saya untuk di cuci darahnya setiap senin dan kamis.

Keinginan menulis testimoni tersebut selalu saya urungkan, khawatir, justru malah akan menciptakan suasana tak nyaman bagi mereka, petugas medis disana.

Hingga Kamis 1 Mei 2014, selaku anak tertua dan satu-satunya anak laki-laki dari ibu Nurhajaty Kobat dan ayah Djamaluddin Kenawat, saya kembali dengan agenda rutin mengantarkan ayah ke ruang Haemodialisa tersebut. Hari itu, bersama ibu bergegas ingin lebih cepat dimulai proses hemadialisis yang memakan waktu 6 jam.

Dorongan kursi roda ayah, ku percepat sesuai permintaan ibuku. “Lebih cepat, jangan sampai mereka menunggu, kasihan mereka jika nanti ayahmu sampai lewat maghrib disana,” ujar ibu.

Rupanya malah terlalu cepat kami kesana, juga beberapa pasien lainnya tampak menunggu kosongnya tempat tidur dari pasien-pasien cuci darah sebelumnya yang di jadwal pagi hari. Saya kemudian duduk berhadapan dengan sejumlah pasien dan keluarga pengantar, Ada Aman Saskia, Gazali dan Bang Win.

“Bapak rupanya sering menulis?,” sapa Aman Saskia salah seorang pasien warga Bebesen yang sudah 4 tahun secara rutin 2 kali dalam seminggunya mesti melakukan cuci darah akibat gangguan fungsi ginjalnya. Saya hanya menjawabnya dengan senyum saja. “Tolong tulis betapa mantapnya pelayanan di sini,” kata Aman Saskia lagi.

Selama berpuluh kali ke ruang tersebut, saya tidak pernah menyatakan diri saya sebagai awak media, lagi-lagi untuk menjaga kenyamanan para petugas disana dalam pergaulan mereka dengan para pasien dan keluarga yang mengantar. Alasannya, tak semua orang faham apa tugas pokok dan fungsi jurnalistik sesuai aturan perundang-undangan yang ada.

Secara bergantian Aman Saskia, Gazali dan Bang Win mengungkapkan isi hati mereka selama dilayani di ruang tersebut. Sebenarnya seluruh yang diceritakan itu saya sudah tau, karena saya alami sendiri serta diceritakan ibu saya tentang kebaikan mereka para petugas medis di ruang Hemodialisa itu.

“Angkat jempol untuk pelayanan mereka. Pasien yang datang tanpa didampingi keluarga juga mereka layani dengan baik,” ujar Gazali, warga dari Ponok Baru Bener Meriah.

Sementara ibu saya menilai para petugas di ruang Hemodialisa tersebut selain telaten, kompak dan terampil, juga sangat ramah kepada seluruh pasien, tanpa pandang bulu terhadap suku, agama, ras, kedudukan atau latar belakang ekonomi para pasien. Semuanya sama mendapat layanan terbaik.

“Ayahmu mungkin yang tertua dan yang paling uzur yang datang ke sini, selalu disapa dengan ramah oleh petugas medis walau setiap disapa ayahmu hanya bisa tersenyum tanpa bisa menjawab karena sulit berbicara. Keramahan dan pelayanan mereka membuat ayahmu tidak pernah menolak saat jadwal cuci darah yang bagi kita yang sehat sangat membosankan,” kata ibu saya.

Ya, saya tau itu, karena selalu mengalami sendiri. Mereka memang layak diapresiasi. Dan tentu apresiasi ini juga untuk direktur rumah sakit tersebut yang menempatkan stafnya sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Selain peramah juga memahami kondisi psikis pasien yang pastinya dilanda “depresi” karena mesti rutin ke tempat tersebut jika tidak ingin kondisi kesehatannya anjlok karena gangguan fungsi ginjal.

Bagian Hemodialisa memang pekerjaannya itu ke itu saja, berkutat dengan peralatan ginjal buatan setinggi lebih kurang 120 cm lebar 50 cm dengan fungsi memproses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh.

Atas layanan prima yang diberikan di ruang tersebut, secara alami tercipta jalinan silaturrahim yang baik antar pasien, juga antara pasien dengan petugas medis. Ini tentu karena layanan yang sama diterima semua pasien yang pasti beda latar belakangnya. Satu hal yang kami suka, para petugas medis yang tak hanya beretnis Gayo menyapa pasien dan keluarga dengan panggilan kekerabatan (tutur) Gayo. Ayah saya sendiri dipanggil dengan “Awan” (kakek:Gayo) oleh mereka. Sederhana, namun ini terasa sekali memperkuat jalinan kekeluargaan di ruangan tersebut.

Salahsatu bukti jalinan silaturrahim serta kekompakan antar pasien dan petugas medis disitu saat ayah saya mengalami kram di bagian kaki saat hemodialisis berlangsung. Semuanya kaget. Petugas segera beri pertolongan dan keluarga pasien lain juga spontan mendekat. Mereka memberi saran ini dan itu, dan ada mengucap do’a agar derita sakit karena kram ayah saya segera berhenti. Luar biasa, saya hormat untuk kalian semua.

Testimoni ini tentu juga untuk seluruh jajaran RSU Datu Beru, di Instalasi Gawat Darurat (UGD), dan seluruh ruang yang ada. Cuma saja penilaian masyarakat jadi berbeda karena kurangnya pemahaman tugas dan fungsi masing-masing ruang yang tentu tidak sama. Ada aturan-aturan teknis kesehatan yang mesti diterapkan yang tak jarang kurang bisa diterima oleh pasien ataupun keluarganya.

Semangat dan sukses selalu untuk mereka para pelayan masyarakat di RSU Datu Beru Takengon. []

*Pimred LintasGayo.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.