Koalisi…

oleh

DentingCatatan: Syaiful Hadi JL*

PEMILIHAN Umum (Pemilu) Legislatif  sudah selesai. Saat ini kita menyaksikan betapa hiruk pikuknya pimpinan partai politik itu menyusun ‘kekuasaan’ dengan mencari mitra koalisi. Aroma bagi-bagi  kekuasaan ( siapa Presiden, Wakil Presiden dan Menteri) menjadi diskusi diruang tertutup. Para pelobby  ulungpun turun panggung.

Saking serunya, ada partai politik yang memasang strategi pasang ‘dua kaki’ bahkan  ‘tiga kaki’.  Ada yang masih malu-malu. Menunggu hasil resmi KPU. Tiba-tiba pula, muncul isu poros tengah atau poros Indonesia Raya yang digagas tokoh-tokoh Islam.

Sebagai rakyat (pemilik hak suara) kita cuma bisa mengurut dada. Bagaimana suara yang rakyat yang mereka bawa dalam karung itu diperdagangkan dengan tawar-menawar kekuasaan. Koalisi antara PDI-P dan Nasdem menjadi yang paling cepat menyusul koalisi Gerindra dan PPP. Bila isu PKB akan berpasangan dengan Golkar atau Gerindra, maka Koalisasi Poros Indonesia Raya, otomatis menjadi tak bertenaga.

Adakah hiruk-pikuk koalisi akan menjadikan Pemilu Presiden/Wakil, 9 Juli mendatang, adalah, hiruk pikuk untuk Indonesia? Atau cuma hiruk pikuk kekuasaa? Sesungguhnya, koalisi memiliki makna: persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Koalisi mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat.

Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai sedangkan oposisi koalisi adalah sebuah oposisi yang tersusun dari koalisi beberapa partai.

Adakah hiruk-pikuk koalisi itu untuk Indonesia? Sesungguhnya itulah kekecewaan rakyat. Karena rakyat tak yakin, karena koalisasi itu hanyalah untuk mengukuhkan  kekuasaan segelintir elit. Lihatlah apa yang terjadi dengan koalisi besar yang dibangun Poros Demokrat (Pemilu 2009) dengan banyak parpol (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB).

Berharap akan lahirnya, pemerintahan yang stabil, tapi hasilnya, pemerintahan yang gonjang-ganjing. Sebabnya, koalisi dibangun hanya untuk kekuasaan para elit politik partai. Bukan untuk Indonesia.

Lalu, akankah pengalaman koalisi Indonesia Bersatu, akan terulang? Tiga partai politik yang memimpin poros koalisi: PDI-P, Golkar dan Gerindra, akan mengulang nasib yang sama dengan koalisi “Setgab”SBY. Bahkan nasibnya bisa lebih parah. Karena siapa pun yang akan memimpin aroma oposisi (dendam?) sangat terasa.

Memang, secara teoritis, sistem politik pemerintahan dapat dikelola dalam dua bentuk, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Namun sistem presidensial-lah yang  dianggap paling sesuai dengan karakteristik kebangsaan kita. Sayangnya, pemerintahan presidensial yang dibangun belum mampu melahirkan pemerintahan yang stabil.

Banyak akademisi mengatakan, demokrasi Indonesia memang belum dewasa, masih mencari bentuk, masih berproses dan mencari pijakan hukum yang kuat agar dapat stabil selama lima tahun.

Belajar dari demokrasi Amerika yang juga menganut sistem presidensial. Padahal, sistem presidensial itu hanya bisa berdiri tegak sebagai sistem yang kuat dengan partai yang simpel seperti di Amerika Serikat. Sistem presidensial Di AS sangat kokoh karena ditopang prasyarat kepartaian yang sederhana.

Berbeda dengan sistem presidensial di Indonesia, senantiasa menghadapi beragam bentuk kegalauan dalam penyelenggaraan negara karena tidak dibarengi komitmen yang kuat dari partai-partai yang berkoalisi.

Itulah sebabnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY sekarang banyak menghadapi tantangan dari internal kabinet sendiri. Koalisi dari parpol dipandang kurang efektif, karena di satu sisi partai politik yang menyatakan berkoalisi dalam pembentukan pemerintahan (kabinet), tapi di lain sisi mereka tidak merasa berkoalisi di parlemen. Ini wujud, koalisi itu tidak untuk Indonesia.

Konsekuensinya, komitmen koalisi yang dimaksud kehilangan rasionalitas. Di sinilah letak masalahnya karena pemerintahan tidak dapat diselenggarakan dengan efektif akibat lembaga eksekutif dan parlemen seringkali tidak sejalan dalam berbagai isu-isu pembangunan domestik dan internasional yang dikelola pemerintah.

Pengamat Politik Yunarto Wijaya menyebut, bahwa koalisi kabinet yang dibangun SBY menjadi “penjara” politik karena banyak keputusan pemerintah yang tidak bisa dieksekusi akibat perbedaan kepentingan anggota koalisi.

Lalu, adakah koalisi hasil pemilu 2014 akan mengulang cerita pahit dan memperpanjang keterpurukan bangsa ini. (Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di Tabloid LintasGAYO edisi 7 (22 April 2014)

*Redaktur senior www.lintasgayo.co dan tabloid LintasGAYO.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.