“I Serahen ku Tengku Guru” Konsep Pendidikan ni Urang Gayo

oleh

* Catatan : Darmawan Masri

1660480_10201872325030808_149747165_nMIRIS menyaksikan fenomena pendidikan di tanoh Gayo saat ini, dari berbagai segi pendidikan Urang Gayo saat ini justru jauh merosot jika dibandingkan puluhan tahun silam saat teknologi nyaris belum dikenal di negeri penghasil salahsatu kopi arabica terbaik dunia ini.

Dulu, putra-putri Gayo susah menempuh pendidikan. Berbagai faktor krusial sering dialami, terutama biaya, juga jarak tempuh dan pelbagai kendala lainnya. Namun kekurangan-kekurangan itu tidak mengendurkan semangat anak negeri meraih cita-cita untuk mendapatkan ilmu agar hidup lebih baik. Beribu tantangan justru menjadi pemacu semangat juang urang Gayo sehingga mampu menjadi “Uwah Jalu” dengan merantau jauh ke negeri orang.

Kenapa hal tersebut terjadi?, LintasGayo.co, mencoba menemukan jawabannya, berbekal sharing dengan putra-putri Gayo yang sudah sukses menjadi “Uwah Jalu” di perantauan.

Salah satunya adalah Gayo memiliki konsep pendidikan sendiri. I serahen ku tengku Guru adalah konsep dalam filosofi pendidikan yang dijalankan urang Gayo saat itu, konsep ini terlihat cukup sederhana, namun mampu meningkat pendidikan Gayo terutama kualitas lulusan yang patut diperhitungkan.

Konsep yang bisa dikatakan tiga serangkai antara orang tua, guru dan murid ini berperan membentuk karakter anak yang memiliki semangat juang dalam menempuh pendidikan. Orang tua yang memasukkan anaknya kesekolah melakukan ijab dengan sang guru yang akan mendidik anak nya disekolah.

Dengan hal tersebut, apa yang dilakukan guru disekolah orang tua tidak ikut campur, disisi lain orang tua dan guru tetap berkomunikasi membentuk karakter sang anak. Orang tua telah menyerahkan sepenuh hati kepada guru untuk mendidik anaknya hingga bisa menjadi orang yang berguna. Dirumah, orang tua tetap harus membimbing anak-anak mereka.

Darmawan, SH. M.Hum, salah seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh yang merupakan putra asli Gayo, kepada LintasGayo.co, Minggu (27/4/2014) mengatakan, dulu dia pernah merasakan bagaimana penempahan karakter yang dilakukan oleh guru-guru pada masa itu yang membuat dirinya yakin bisa bersaing dengan orang-orang yang berada di luar Gayo.

“Orang tua saya pernah melakukan ijab dengan guru saya, itulah artinya I serahen ku tengku guru dalam mendidik anak-anak Gayo,” kata Darmawan.

Selain itu, dia pernah mendengar percakapan antara orang tuanya dan guru untuk melakukan pendidikan kepada dirinya. “Asal nti mate, ike dere terserah asal pane, begitu kata orang tua saya kepada guru,” ujar Darmawan.

Dan ternyata, hal itulah membuat anak-anak Gayo zaman dulu segan terhadap guru, sehingga apa yang disampaikan oleh guru mudah diserap oleh murid.

Tentu sekarang kondisi tersebut terbaik 180 derajat, meski masih memakai konsep tiga serangkai pendidikan, orang tua-guru-dan siswa, akhlak dan sikap anak pada saat ini cukup merosot, terlebih lagi adanya undang-undang perlindungan anak yang diadopsi secara habis-habisan, sehingga guru tak lagi boleh bersentuhan fisik dengan dengan sang murid.

Jika berani sang guru pun siap-siap dibawa keranah hukum. Nyatanya, kualitas pendidikan Gayo saat ini pun jauh dari harapan, konsep pendidikan Gayo yang dulunya sudah terpatri dalam setiap diri orang tua, kini hanya sebagai kiasan semata. Seakan orang tua pun menutup mata akan hal tersebut, padahal mereka yang dulunya merasakan bagaimana kerasnya pendidikan yang dilakukan oleh guru-guru mereka sehingga kebanyakan murid saat itu bisa bersaing dalam hal pendidikan, seakan hilang.

Wadah pendidikan saat ini yang tak berani berperilaku keras terhadap muridnya, semakin tersudutkan. Contohkan saja, dahulu anak yang masuk ke kelas 1 Sekolah Dasar (SD) harus bisa membaca untuk naik ke kelas berikutnya, jika tidak hukumannya adalah tidak naik kelas, dan orang tua tidak protes akan hasil itu. Sekarang apa yang terjadi, jika anak ditinggal kelaskan, bentuk protes tidak datang dari siswa melainkan dari orang tua, sama halnya orang tua menginterpensi pendidikan dan membiarkan anaknya menjadi orang yang terbiasa dengan hal tersebut sehingga ahlak dan perilaku anak pun menurun, rasa segan terhadap pendidik berkurang.

Disisi lain, kebijakan politik negeri ini yang tak menentu, anggaran pendidikan yang besar ternyata tak mampu mendongkrak pendidikan urang Gayo kearah yang lebih baik. Mereka yang bekerja diinstansi yang mengurusi pendidikan, seakan tergiur dengan nominal rupiah yang cukup besar itu, sehingga tak memikirkan kualitas dari pendidikan.

Pendidikan seolah menjadi gengsi yang dipertaruhkan, mereka berani bermain dalam menentukan kelulusan siswa saat menghadapi ujian akhir, jawaban pun disebar kepada siswa, kelulusan menjadi tidak murni, efeknya anak menjadi malas karena mengetahui saat ujian akhir jawaban sudah diberikan.

Terlebih lagi jika anak tersebut dinyatakan tidak lulus saat ujian yang menentukan itu, orang tua kembali protes ke sekolah meminta anaknya diluluskan.

Apakah hal demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan kita?

Apakah konsep pendidikan urang Gayo yang dikenal jitu menggembleng anak menjadi prilaku yang baik dan berkualitas hanya menjadi cerita-cerita masa lalu yang tak lagi dipakai pada saat ini?

Siapa yang bertanggung jawab?

Wallahu’alam bishawab

* Penulis adalah Sekretaris Redaksi LintasGayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.