Monolog Bersama Calon Bayi Bernama Yusuf al-Asaliy

oleh

[Cerpen]

Feri Mahdi Selian

 

TELAH lama aku merencanakan pernikahan itu, dan ibumupun mengetahuinya serta menantinya. Lalu tujuh bulan yang lalu aku menikahinya. Tidak ada yang istimewa saat aku mengatakan melalui sebuah pesan singkat. “Dik, aku akan melamarmu!”, dan ibumu membalas pesan singkat itu dengan sebuah pertanyaan yang klise.

“Betulkah?”

Ibumu tidak perlu lagi bertanya tentang kebenarannya, tapi kurasa itu dilakukannya karena ia malu dan berulang kali mengirimkan pesan yang sama.

“Betulkah?”

Sangat kewanitaan, karena itu jugalah aku memilih ibumu. Sebenarnya aku bukanlah orang yang pandai memilih-milih wanita, karena aku sangat mudah tertarik pada banyak wanita. Mereka cepat membuatku terkesan, sudah beberapa tahun sebelum pinangan itu saja aku sudah menyia-nyiakan waktuku dengan meladeni banyak wanita cantik yang menghampiriku.

Satu lagi kebiasaan jelekku adalah tidak pernah pandang usia dalam memilih, aku melahap siapapun yang datang asal dimata kupandang tidak terlalu malu-maluin. Itu saja. Aku adalah pribadi yang simpel, tidak banyak yang muluk-muluk dalam hidup. Ada dua hal yang paling muluk dalam hidupku yang pernah kurencanakan yaitu pernikahan di usia muda dan sekolah ke Jakarta! Keduanya telah terwujud.

Kini tiba saatnya aku akan mengurusmu. Kau harus mengetahui segalanya, oh tidak, tidak segalanya, tapi sebagian saja dari segalanya yang pantas untuk kau ketahui. Karena ada beberapa hal dalam hidupmu yang kau tidak perlu sampaikan meskipun kepada telingamu sendiri. Biarkan dia bersemayam di alam pikirmu, bersemedi di dalam hatimu.

Sebelum pinangan itu terjadi, aku sudah sangat bisa menjadi seorang monster yang menerkam mangsa yang sedang sekarat menanti cintanya yang jauh diseberang lautan.

“Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini,” kataku kepada Ibumu dengan tanda seru di akhirnya mengesankan bahwa aku memang serius dan tidak main-main.

“Mengapa?” oh, pertanyaan ibumu selalu tidak jauh dari mengapa dan benarkah.

“Hubungan ini sudah sangat rusak dan tidak bisa dilanjutkan”, balasku tetap dengan tanda seru diakhir.

“Mengapa tidak ada angin, tidak ada hujan lalu badai ini tiba-tiba datang?”, tanyanya. Kujamin Ibumu telah menangis di seberang sana. Bila saja aku ada disampingnya saat itu, kupastikan dia sudah menguasaiku dengan tangisnya. Oh, satu lagi kelemahanku yang tidak bisa kuhindari.

Tekadku memang benar-benar sudah bulat saat itu, bahwa aku tidak akan pulang ke negeriku apalagi akan menikahinya serta terikat untuk tidak pergi ke Jakarta lagi. Saat itu aku sedang memilih-milih beberapa wanita yang sedang dekat yang kuanggap bisa memenuhi ambisiku untuk tetap berada di Ibu kota yang bising itu!

Ada perubahan pada diriku, yang penyebabnya tidak bisa kuceritakan saat ini pada kasus ini.

“Mengapa kau selalu saja bertanya mengapa?”, tanyaku.

Ibumu tidak membalasnya.

“Mengapa kau tidak balas pesanku?”, tanyaku padanya.

“Abang juga bertanya mengapa?, lalu apa salahku sampai kau begitu kejam melemparkan sebuah pecut ini ke mukaku?”

“Tidak ada yang salah!”

“Bila tidak ada yang salah, mengapa ada badai saat matahari begitu bersahabat?”, tanyanya dalam nada yang memelas.

“Matahari yang bersahabat ini justru membuka mataku bahwa kita tidak akan bisa bersama!”

“Mengapa tidak bisa bersama?”

“Karena kita berbeda!”

“Setelah tahun-tahun yang kulewati tanpa abang, aku terkurung dalam penantian yang panjang, aku menolak setiap kesempatan yang datang, aku menghindari setiap kesenangan yang mengiang?”

“Aku tidak yakin kau menantiku”, jawabku. Oh pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah bisa kujawab. Karena menurutku memang Ibumu benar adanya, tidak sedang bersandiwara, bermain kata apa lagi sedang bermain peran.

“Mengapa harus diakhiri?

Aku telah menunggumu untuk waktu yang begitu lama. Aku menjaga diriku agar dan untuk hanya engkau miliki.”

Pertengkaran itu berjalan seperti yang sudah-sudah, berujung pada ketidak mampuanku mejawab setiap kesetiaan yang diungkapkan Ibumu. Dan akhirnya sudah bisa kutebak, bahwa aku akan tetap menikahi Ibumu.

Aku memutuskan pulang meninggalkan ibu kota yang kumuh dan bau asap itu, lalu mundur mengambil beberapa aktifitas yang pernah kulakukan sebelum akau pergi merantau.

Saat tiba saatnya aku merasakan kembali satu dari dua keinginanku yang muluk itu bergetar, maka aku tidak berpikir panjang, yah, memang aku tidak pernah berpikir panjang.

Aku pulang ke rumah orang tuaku, mengetuk pintunya lalu duduk sambil menggaruk-garuk kepala dengan sedikit perasaan aneh. Sekat seakan menutup tenggorokanku.

“Aku akan menikah,” kataku pada Ibuku, Ayahku juga disitu mendengar sebuah humor yang tidak biasa kulontarkan.

Mereka saling memandang, kulihat ada sedikit senyum simpul pada bibir Ibuku tapi tidak bisa kutafsirkan apa maksud dari senyum itu, bisa saja merasa geli, senang atau apalah, aku tidak bisa menafsirkannya.

“Aku serius, aku tidak sedang bergurau”

“Bila itu keinginanmu, siapakah yang harus kami lamar?”, itu sinyal yang tidak membuatku gembira, aku hanya merasa bahwa misiku akan berhasil.

“Seorang gadis yang sudah lama menanti”

“Kapan kami akan melamarnya?”

Pernikahan itupun berlangsung, sebelumnya aku hanya menginginkan sebuah jamuan yang sederhana yang dihadiri beberapa orang tetangga, belasan anak yatim piatu, beberapa orang fakir miskin untuk jamuan makan serta sebagai sarana untuk mengumumkan bahwa aku telah menikah.

Tapi ada ratusan orang disana yang sedang menyaksikan dua boneka yang dirias seperti badut dan didudukkan di depan khalayak seperti sebuah tontonan pada film Siti Nurbaya, hingga petang hari datang dan jamuan belum juga selesai.

Tujuh bulan lalu aku menikahi Ibumu, dan kini kau telah berumur enam bulan di dalam sana. Aku selalu mendengarkan apa yang kau ucapkan di dalam, tapi kau tidak berucap apa-apa. Kau hanya menendang. Oh, betapa senangnya rasa di hati saat merasakan kau bergerak.

Kini aku menantimu di alam yang terang ini, dimana kau akan makan melalui mulutmu dan merasakan sejuknya angin pegunungan.

Bila kau hadir, maka aku akan memelukmu, meneriakkan kalimat-kalimat suci ditelingamu dan mengajirimu cara untuk tegar melawan. Melawan dunia, anakku!

Aku sudah menyiapkan sebuah nama yang sangat kubanggakan, aku tahu aku sudah menyiapkannya di hari pertama. Kutau bahwa aku akan memilikimu, bila kau lahir nanti, maka aku akan menamaimu Yusuf al-Asaliy! [SY]

 Takengon, 18 Januari 2012

Feri Julianto SelianBiodata :
Feri Mahdi Selian yang bernama pena RumahBoekit /SayapImpian /Yoesufmalaka adalah pencinta sastra, sebagai anggota FLP (Forum Lingkar Pena) DKI Jakarta, sangat punya minat terhadap sastra, saat ini rutin menulis cerpen. Kini tinggal di Takengon Aceh Tengah.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.