JARINGAN anti korupsi-Gayo (Jang-Ko) menyesalkan atas rendahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah Kabupaten Aceh Tengah terhadap Fasilitator Rehabilitasi dan Rekontruksi Gempa Gayo. Pemerintah terkesan membiarkan ratusan Fasilitator bekerja dilapangan tanpa “kontrol”. Mirisnya lagi, daerah ini tidak ada memberikan dukungan apa pun untuk melengkapi kekurangan fasilitator selama ini dalam bekerja mendampingi masyarakat korban.
Akhir-akhir ini kami menerima beberapa laporan dan juga ada yang kami temukan di masyarakat korban gempa yang tergabung dalam kelompok (Pokmas) di Kabupaten Aceh Tengah bahwa praktik transaksi korupsi dalam pencairan dana korban gempa telah terjadi dan sedang berlangsung. Berdasarkan pengakuan masyarakat korban, negosiasi dilakukan oleh segelintir oknum Fasilitator rehab-rekon gempa di Aceh Tengah.
Oknum fasilitator ini “mematok harga” dalam upayanya menyelesaikan laporan “RAP dan Gambar Rumah” agar dana Pokmas tahap pertama sebesar 40 persen yang bersumber dari APBN untuk masing-masing individu kategori Rusak Berat (R1) 16 juta dan Rusak Sedang (R2) 8 juta, dapat dicairkan. Bukan hanya itu, beberapa waktu lalu masing-masing Pokmas kembali menerima dana “sharing” dari Provinsi Aceh APBA, dan ini juga terjadi transaksi atau pungutan yang dimainkan oleh beberapa oknum fasilitator di daerah ini. Berdasarkan pengakuan dan juga temuan di lapangan, pungutan berfairiasi mulai dari 500 ribu hingga Rp1,7 juta per/KK atau per/korban.
Bayangkan bila satu Pokmas saat ini rata-rata beranggotakan 10-15 orang, maka oknum fasilitator bisa dapat uang dari satu Pokmas puluhan juta, sementara satu Tim Fasilitator itu saat ini mendampingi sekira 30 Pokmas dan bisa dibayangkan bila semua Pokmas tersebut “dikutip” oleh oknum fasilitator yang bermoral “bandit” ini, maka jumlah yang didapat lebih besar bisa mencapai ratusan juta. Belum lagi tambahan dana sharing.
Sebelum, pada awal Maret 2014 lalu, korban gempa telah diberikan dana kebersihan chash for work sumber APBN, sebesar 1,5 juta untuk Rusak Ringan, 3 juta untuk Rusak Sedang dan Rusak Berat. Temuan dilapangan juga dana ini terjadi transaksi korupsi yang dimainkan oleh sejumlah oknum, namun kami tidak menemukan keterlibatan fasilitator. Tapi pelaku yang terdeteksi oknum-oknum disekitar kecamatan dan juga kampung tersebut. Untuk cash for work ini besaran transaksi yang dipatok antara 100 ribu hingga 200 ribu per/KK atau per/korban.
Kami berharap semua pihak di daerah peduli ikut mengawasi proses penanganan dan pemulihan kepada masyarakat korbann gempa di Aceh Tengah dan juga Bener Meriah. Tolong laporkan kepada Kepolisian bila praktik-praktik korupsi dalam rehab-rekon gempa ini kualitasnya sudah diambang batas toleransi kita. Jangan ada sikap pembiaran dari kita terutama sebagai warga daerah yang kita cintai ini.
Disadari atau tidak, bahwa proses rehab-rekon ini telah berjalan setengah tahun, satu semester. Dalam waktu itu kita merasa ini berjalan lamban dan sistem yang ada untuk penaganan ini juga menurut kami kacau dan berbelit-belit, tidak begitu jelas seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat korban. Sehingga terbuka ruang bagi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab melakukan praktik transaksi korupsi, memeras dan mengutip uang kepada masyarakat korban gempa gayo yang tentunya ini bertentangan dengan hukum. Namun kita memang harus optimis terhadap proses ini karena terlanjur.
Tidak Adanya Dukungan Daerah Terhadap Kinerja Fasilitator Pokmas
Pada September 2013 lalu dibentuk Fasilitator dan diberi pembekalan Pelatihan selama satu minggu di Aceh Tengah oleh Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB). Mereka disebut-sebut sebagai “garda terdepan” dalam rehab-rekon. Dalam bekerja, fasilitator hanya diberi haknya berupa, Gaji dan Transportas,i serta 10 orang Konsultan Personal (KP) dari BNPB. Semua dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN 2013-2014).
Sementara dilihat dari peran dan kesiapan pemerintah setempat sepertinya tidak ada. Hanya datang untuk membuka dan menutup acara pelatihan fasilitator ketika itu. Hingga saat fasilitator bekerja pun, tidak ada “penampakan” dukungan pemerintah daerah melengkapi kekurangan fasilitator itu sendiri. Seperti ketiadaan Camera Foto di dalam tim fasilitator, yang pada saat awal mereka bekerja alat ini sangat dibutuhkan untuk mendokumentasikan titik nol kerusakan. Tidak adanya kantor kecil fasilitator sebagai sarana agar memudahkan mereka dalam memferivikasi data-data dan laporan.
Dokumen Kontrak Kerja yang telah ditandatangani sejak awal oleh fasilitator dan BNPB, seharusnya ada jua pada dimasing-masing fasilitator. Ini “konyol”, semua fasilitator hingga hari ini belum menerima pertinggal Dokumen Kontrak Kerja tersebut padahal mereka sudah bekerja 6 bulan. Diakuinya, tidak sepenuhnya mereka dengan jelas mengetahui isi dari Kontrak Kerja yang telah mereka tandatangani itu karena dokumennya lumayan tebal.
Pemerintah daerah terkesan “terima beres” berharap dana APBN yang mendukung keberadaan fasilitator selama ini sudah cukup. Tidak perlu menutupi kekurangan-kekurangan yang ada. Bila seperti ini maka konsekuensi yang harus diterima daerah adalah kualitas kinerja fasilitator akan berdampak buruk pada pelayanan masyarakat korban. Maka jangan heran bila gejolak masa korban gempa yang terjadi pada 15-17 Februari 2014 yang lalu, pecah di ibu kota Takengon. Ini karena pemerintah daerah dinilai “kurang urus”.
Kita juga haru ingat, Januari 2014 lalu, BNPB pusat telah menyerahkan tanggungjawab penanganan rehab-rekon sepenuhnya kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dalam hal ini Badan Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Tengah. Tanggungjawab itu juga termasuk penanganan kepada seluruh fasilitator dan juga keberadaan Konsultan Personal atau KP sebagai “induk semang” Fasilitator. Tinggal lagi apakah daerah memandang perlu di bentuk kembali atau tidak KP tersebut. Sebab KP dari BNPB yang lalu sudah habis kontraknya pada Februari 2014. Artinya tanggungjawab penuh terhadap ribuan korban gempa dan kerusakan sarana infrastruktur ada pada pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dibawah kendali Bupati Aceh Tengah.
Hingga hari ini KP yang menurut keterangan fasilitator dianggap perlu dan penting, belum ada dibentuk oleh pemerintah setempat. Meski demikian fasilitator tetap melakukanpekerjaannya mendampinggi masyarakat korban, walau kesannya pekerjaan tersebut dilakukan sendiri-sendiri, suka hati, tidak ada tempat mengadu dan berkonsultasi ketika ada persoalan teknis di lapangan. Seperti “anak ayam kehilangan induk”.
Paling kita sesalkan bagi oknum fasilitator yang berintegritas rendah. Melihat kondisi yang tidak terkoordinir ini, mulai malas mendampingi Pokmas, sering balik kampung, bahkan sesama anggota Tim fasilitator mulai tidak ada kecocokan dan hanya makan gaji buta 3,5 juta tiap bulannya. Yang perlu diwaspadai adalah, dengan lemahnya pengawasan terhadap fasilitator maka peluang praktik korupsi, manufer pungling akan dengan mudah dimainkan oleh oknum fasilitator bermental buruk kepada masyarakat korban di daerah. Pastinya dampak pada proses rehab-rekon ini adalah karut-marut, hakikat fasilitator sebagai pendamping masyarakat korban gempa, berubah makna menjadi sarana pendampingan hawa nafsu.
Sudah setengah tahun fasilitator bekerja tapi baru sekali BPBD Aceh Tengah memanggil mereka untuk duduk berevaluasi pada akhir Februari 2014. Rapat kali itu juga tidak semua fasilitator hadir, hanya Koordinator Tim Fasilitator dari 20 Tim yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Jumlah Fasilitator sekira 200 orang dengan 24 Tim dan beranggotakan 8-10 orang dalam satu Tim. Mereka menyebar di beberapa wilayah yang terkena dampak bencana gempa bumi 2 Juli 2013 lalu di dua kabupaten. Aceh Tengah 20 Tim Fasilitator dan Bener Meriah 4 Tim Fasilitator.
*Koordinator Jaringan anti korupsi-Gayo (Jang-Ko)