Politik Lokal ‘Anti’ Syariat

oleh

johansyahOleh Johansyah*

 

SYARIAT Islam (SI) adalah salah satu produk perjuangan masyarakat Aceh dalam pergumulan sejarah panjang yang penuh dinamika. Aceh patut merasa bangga karena menjadi satu-satunya wilayah yang diberikan keistimewaan secara resmi oleh pemerintah pusat untuk menerapkan SI secara kaffah pasca disahkannya Undang-undang (UU) No.44 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Sebenarnya secara kultural Aceh telah dikenal fanatis terhadap ajaran agama Islam. Artinya tanpa sebuah payung hukum pun orang Aceh telah menegakkan ajaran agama Islam. Dengan adanya sebuah payung hukum berupa UU sejatinya SI semakin kuat karena secara struktural telah menjadi tanggung jawab dan urusan pemerintah. Melihat peran SI yang begitu besar, maka sesungguhnya upaya dan tujuan masyarakat Aceh yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah semakin besar dan terbuka.

Sayang, di usianya yang sudah lebih sepuluh tahun, harapan untuk mewujudkan penerapan SI secara kaffah tampaknya masih jauh dari ekspektasi alqur’an karena belum menyentuh substansi dari ajaran Islam itu sendiri. Malah, yang ada hanya syariat simbolis hampa makna, dan hanya mewujud pada sebagian kecil dari praktik keberagamaan umat, tidak terintegrasi ke dalam berbagai aspek kehidupan yang komperhensif.

Hal ini akan tampak lebih buruk lagi jika kita ingin menelisik syariat dalam ruang praktik politik lokal. Bahwa dalam politik lokal sama sekali tidak terekspresi nilai-nilai moral atau akhlak, dan jauh dari tuntunan alqur’an maupun sunnah. Hal ini bukan sekedar asumsi, tetapi berdasarkan fakta dan realitas politik yang terjadi di Aceh beberapa pekan terakhir yang dipertontonkan oleh para kontestan pemilu dalam panggung demokrasi saat ini.

Persaingan antar partai dalam panggung demokrasi Aceh sekarang bukanlah persaingan politik yang sehat, tetapi persaingan yang menciptakan ruang konflik baru bagi Aceh. Perang politik era global sebenarnya cenderung kepada perang pemikiran dan adu argumen untuk membela dan mengamankan posisi masing-masing. Namun perang politik lokal mewujud dalam berbagai aksi kekerasan, arogansi, egois, dan kebrutalan sehingga mengusik kenyamanan publik.

Tidak anti politik

Syariat sama sekali tidak anti politik. Syariat yang berlandaskan pada alqur’an dan hadits tidak pernah mencerca politik dan mengharamkan umat untuk menjalankannya. Sebaliknya, jika merujuk kepada praktik politik lokal, maka bisa dikata bahwa politik lokallah yang anti syariat. Bahwa sistem berpolitik kita sama sekali tidak didasari oleh sistem politik Islami. Yaitu sistem politik yang melahirkan perdamaian, kenyamanan, kebersamaan, keadilan, dan berbagai kemanfaatan.

Sistem politik lokal sekarang adalah sistem politik diabolis yang melahirkan ketakutan, keresahan, konflik antar golongan, diaspora, trauma publik, dan berbagai dampak negatif lainnya. Sistem politik lokal diselimuti  dan dipenuhi oleh ambisi-ambisi besar individu maupun kelompok yang menafikan privilese publik, kemaslahatan umat, dan masa depan Aceh.

Sistem politik kita sekarang adalah sistem politik BBM (Benar-benar Mabuk), karena perilaku berpolitik para kontestan pemilu persis seperti orang mabuk yang tidak sadar. Mereka menempuh jalan yang kotor untuk mewujudkan ambisi dan mimpinya, apakah melalui politik uang, menjelekkan lawan politik, atau kalimat yang meneror publik bahwa dia harus dipilih. Tidak ada yang berani menegur, apalagi melarang mereka karena bisa mengancam keselamatan jiwa. Inilah politik mabuk yang anti syariat.

Kita tidak tau apakah realitas politik lokal yang sedemikian rigid, miopik, dan alergi dialog ini merupakan efek negatif dari produk ‘reformasi kiri’ Amien Rais dan kawan-kawan yang berhasil menggulingkan orde baru dan mengukir klise reformasi, namun gagal mencetak potret realitas sosial yang lebih menjanjikan dan maju pasca runtuhnya orde baru? Atau, inikah bukti bahwa kita belum bersikap dewasa dalam menerjemahkan dan mengekspresikan demokrasi? Atau, inikah watak asli Aceh yang tidak pernah luput dari kekerasan dan pertikaian. Bahwa bukan Aceh namanya kalau tidak bertikai?

Sebelum saya lahir Aceh sudah bergejolak. Ketika saya lahir Aceh bergolak. Ketika saya tumbuh remaja, Aceh masih bergolak. Ketika saya tumbuh dewasa, Aceh juga masih bergejolak. Pasca MoU perjanjian damai Helsinky, saya pikir Aceh tidak lagi bergejolak, tapi kenyataannya masih juga bergejolak. Lalu kapankah Aceh tidak lagi bergejolak? Memintal benang, lalu dijadikan baju, kemudian baju yang jadi dikoyak, inilah yang dilakoni masyarakat Aceh selama ini secara berualang; membangun lalu menghancurkan, menumbuhkan lalu menumbangkan. Takdirkah hal ini untuk Aceh, ataukah Aceh yang memohon takdir seperti ini kepada Tuhan?

Aceh untuk oase

Bagi kita yang lahir dan tinggal di Aceh, pasti selalu berharap agar Aceh menjadi oase; tempat yang nyaman dan teduh untuk didiami. Aceh diharapkan menjadi sebuah tempat yang dapat melahirkan kebahagiaan lahir dan batin tanpa gejolak, konflik, atau pertikaian. Aceh dimimpikan menjadi sebuah tempat yang dirindukan dari jauh, bukan sebuah tempat yang ingin dijauhi karena tidak pernah damai.

Berharap Aceh menjadi oase? Mungkin, jika ideologi dan falsafah hidup kita berangkat dari nilai-nilai fundamental Islam, terutama ideologi dan falsafah politik. Semua ini memungkinkan terwujud jika syariat diposisikan secara strategis dalam sistem politik lokal. Bahwa semua partai politik di Aceh mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian dari pada ambisi merebut kekuasaan yang melahirkan konflik.

Politik berdasarkan syariat berarti sistem politik menurut tuntunan dan tuntutan laqur’an dan hadits. Lebih ril lagi, politik berdasarkan syariat adalah berpolitik seperti yang diteladankan Nabi Saw kepada kita, yaitu berperilaku dengan akhlak yang mulia, cinta damai, permisif, toleran, demokratis, musyawarah, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan, membangun keadilan sosial, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Politik damai dalam konteks lokal adalah utopia, sebuah khayalan dan ilusi pengantar tidur. Terkadang menjadi beban batin yang melahirkan pesimis dalam membangun asa masa depan perdamaian Aceh. Mungkin juga menjadi sebuah kejemuan yang melahirkan keluh kesah kendati kurang disukai Tuhan. Beginilah kondisinya politik di wilayah syariat. Syariat hanya dijadikan simbol, dan akhirnya terkubur oleh aksi-reaksi diabolis orang dan kelompok yang memperebutkan kekuasaan. Wallahu a’lam bishawab!

*Pemerhati Pendidikan, Politik, Sosial dan Budaya. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.