Oleh Johansyah*
BANYAK di antara kita yang memiliki ide atau gagasan pendidikan yang berbeda dengan perspektif pendidikan nasional secara umum. Persoalannya, untuk mewujudkan ide tersebut tentu akan sulit jika diperjuangkan melalui sistem pendidikan nasional. Hal ini disebabkan karena pendidikan nasional sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas. Semuanya akan sangat bergantung siapa presiden dan siapa menteri pendidikannya. Dan yang jelas, kebijakan pendidikan tidak mungkin berdasarkan keinginan kita, tetapi sesuai dengan apa yang ada dalam benak pemerintah.
Upaya kritikan terhadap kebijakan pendidikan bisa saja ditempuh melalui sebuah organisasi atau perkumpulan. Misalnya ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diganti dengan kurikulum 2013 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kita melakukan protes dan kritik melalui perkumpulan ini. Sayangnya, karena kebijakan ini dibuat oleh pemerintah, maka sangat sulit mengubahnya. Kritikan kita memang didengar, tapi sedikit pun tidak memengaruhi kebijakan pendidikan yang telah dihasilkan pemerintah.
Selain melalui organisasi, kritikan terhadap pendidikan mungkin juga dapat ditempuh melalui jalur individu lewat tulisan di jurnal, menerbitkan buku, dan menulis artikel pada rubrik opini media massa. Namun lagi-lagi, hal ini juga tampaknya tidak berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan yang telah dibuat oleh pemerintah. Bolehlah ide, kritikan, maupun saran kita diakui, namun di sisi lain, semuanya hanya menjadi bahan bacaan menarik bagi publik yang seide dengan penulisnya.
Langkah strategis
Kalau begitu, bagaimana seharusnya mewujudkan gagasan pendidikan seperti yang ada dalam benak kita? Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan secara mandiri. Alasan utamanya adalah bahwa melalui lembaga yang didirikan ini, tentu kita memiliki otoritas penuh untuk memormulasi dan mengaplikasikan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan gagasan kita. Meski pun demikian, semuanya tentu tidak keluar dari kerangka pendidikan yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan nasional.
Paling tidak, di lembaga pendidikan yang telah kita dirikan, ada keleluasaan yang besar untuk menentukan model kurikulum, pola rekrutment guru dan penentuan kepala sekolah, dan hal lainya. Di sekolah negeri semuanya diremot oleh pemerintah, tidak ada kewenangan sekolah, baik dalam hal pengembangan kurikulum, penunjukan kepala sekolah, maupun penempatan guru. Akhirnya, sekolah memang menjadi wadah untuk mewujudkan kepentingan pemerintah, bukan kepentingan publik yang ideal. Hal ini memang sulit dihindari.
Contoh kongkrit
Salah satu contoh kongkrit dari upaya mewujudkan gagasan pendidikan adalah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang akhir-akhir ini perkembangannya begitu pesat di Indonesia. Berdasarkan referensi dan juga berdasarkan hasil penelitian saya, memang SDIT memiliki cita-cita pendidikan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan Islam. SDIT menginginkan agar para lulusannya memiliki kapasitas intelektual sekaligus berakhlak mulia. Lembaga ini memiliki program utama untuk mencetak generasi qur’ani yang mampu menghafal alqur’an dan mengamalkannya.
Sebenarnya sistem pendidikan di SDIT ini sama dengan sistem pendidikan nasional pada umumnya, terutama kurikulumnya. Namun yang saya lihat bahwa sebenarnya jauh sebelum pemerintah menerapkan kurikulum 2013, SDIT terlebih dahulu telah menerapkannya. Ternyata kurikulum 2013 itu sendiri merupakan hasil adopsi dari model kurikulum yang ada di Sekolah Islam Terpadu (SIT).
Di sisi lain, kelebihan SDIT sebenarnya bukan terletak pada model kurikulumnya, tetapi lebih ditentukan oleh kapasitas dan integritas guru yang mengajar di sana. Artinya, di SDIT guru benar-benar mampu memosisikan diri menjadi kurikulum, sosok yang dapat diteladani, aktif, kreatif, fasilitator, motivator, dan menjadi sahabat bagi peserta didiknya.
Hal ini tidak terlepas dari sistem rekrutment yang begitu ketat untuk para calon guru SDIT. Misalnya saja di SDIT Cendikia Takengon, calon guru diwajibkan memenuhi beberapa syarat, salah satunya adalah harus hafal alqur’an minimal setengah juz. Selain itu guru dituntut untuk mampu menguasai dan memeraktikkan model pembelajaran yang konstruktif dan humanistik, seperti model pembelajaran active learning, cooperative learning, atau model pembelajaran lainnya.
Selain itu, budaya sekolah dalam membentuk karakter peserta didik pada SDIT juga sangat kuat. Banyak proses habituasi dan keteladan yang dilakukan sekolah, baik di kelas maupun di luar kelas. Misalnya bagaimana membiasakan anak dengan pola hidup disiplin, bersih, dan menggunakan bahasa yang santun. Di kelas, guru menggunakan bahasa khusus untuk menyapa peserta didiknya dengan bahasa yang santun, menarik, dan inspiratif.
Selain SDIT, kita juga tidak asing dengan program Indonesia Mengajar yang dipelopori oleh Anies Baswedan. Program ini merupakan upaya mempersiapkan guru handal dan berkualitas yang siap ditempatkan di daerah-daerah terpencil negeri ini. Banyak yang mengapresiasi program ini. Program Kick Andy Metro TV beberapa kali mengundang beberapa guru dari Indonesia Mengajar untuk berbagi pengalaman dengan para pemirsa. Memang benar, cerita tentang pengalaman mereka ketika ditempatkan di sekolah daerah terpencil cukup menggugah, inspiratif, dan layak dicontoh.
Bila kembali pada lembaran sejarah pendidikan nasional tempo dulu, tentu kita juga tidak pernah melupakan kiprah pesantren, atau di Aceh disebut dengan Dayah. Kelahiran lembaga pendidikan dayah merupakan respon dan keprihatinan terhadap umat muslim pribumi waktu penjajahan dulu. Kala itu, orang-orang yang diberi peluang untuk mengenyam pendidikan sangat terbatas, sebagian besarnya tidak diberi keleluasaan. Kondisi inilah yang kemudian mendorong semangat kalangan ulama untuk mendirikan dayah. Dalam perkembangannya, dayah selain dimanfaatkan untuk menempa dan mengembangkan pengetahuan untuk generasi muda, juga dimanfaatkan untuk menentang kolonialisme.
Baik SDIT, program Indonesia mengajar, atau dayah, itu semua merupakan perwujudan dari cita-cita pendidikan yang dirintis dan dikembangankan secara otonom oleh penggagasnya masing-masing. Ide pendidikan dalam benak kita mungkin sampai kapan pun tidak akan pernah terwujud kecuali dengan cara mendirikan lembaga pendidikan yang dikelola dengan sungguh-sungguh. Apapun ceritanya, mendirikan lembaga pendidikan ini merupakan langkah nyata dalam membangun pendidikan. Dengan demikian, kehadiran kita dalam pendidikan bukan lagi sebagai kritikus kebijakan, tetapi mampu melakukan aksi nyata yang solutif bagi persoalan pendidikan Indonesia. Semoga!
*Pengamat Pendidikan. Email: johan.arka@yahoo.co.id