Komprominews: Didong, dendang sastra rakyat Gayo yang kian Langka

oleh

didongMEMPELAJARI karya sastra lokal masyarakat Gayo, berarti menyelami Didong. Didong adalah salah satu seni budaya dari Aceh yang memadukan unsur tari, vokal, sastra dan dibalut dengan nilai-nilai religius Islam. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII akan tetapi Abdul Kadir To`et lah orang yang pertamakali memperkenalkan kesenian ini di masyarakat. Di daerah asalnya, kesenian Didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.

Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.

Didong dalam pengertian lain juga sering diartikan ‘dendang’. Namun dalam kesenian Aceh kata didong juga mencakup beberapa jenis kesenian masyarakat Gayo lainnya, seperti seni sastra lisan, seni tari dan seni teater. Seni tradisional didong sangat terkenal dan disukai masyarakat Gayo, mereka akan setia menyaksikannya di hampir setiap malam minggu dari Isya hingga Subuh.

Kesenian tradisional Didong biasanya dipertontonkan para lelaki (ceh) secara berkelompok dengan jumlah sekitar 15 hingga 30 orang, diantaranya 4 sampai 5 orang adalah ceh dan sisanya adalah penunung. Para ceh dan penunung ini akan berekspresi dengan bebas sambil duduk bersila atau berdiri dengan mengentak-entakkan kakinya. Selain itu mereka juga akan melantunkan syair-syair berbahasa Gayo dengan suara merdu seraya manabuh gendang, bantal atau panci dan bertepuk tangan secara bervariasi, sehingga akan menghadirkan suara dan gerak yang indah dan menarik.

Syair-syair yang terdapat dalam didong dilantunkan dengan memadukan seni gerak, sastra dan suara. Para penonton akan terbuai dan hanyut untuk terus mendengar refleksi sosial dan religius dari ceh-ceh didong tentang pesan sosial yang ada di masyarakat, termasuk hubungan manusia dengan alam, agar hidup ini dapat disikapi secara bijaksana. Pesan-pesan dari lantunan ceh-ceh didong begitu terasa bersifat humanis dan menyentuh hati nurani.

Saat  kita menyaksikan seni didong maka anda akan menikmati perpaduan seni vokal dan seni suara dengan sastra puisi berupa syair-syair sebagai unsur utamanya. Nampak jelas perpaduan yang kompak antara seni gerak serta sintak (lagu) serta isi (syair puisi) yang romantis, alami, dan dinamik. Untuk menyaksikan didong tidak dipungut biaya kecuali pertunjukkan ini dikompetisikan atau dipertunjukkan dalam event-event tertentu sehingga mungkin dikenai biaya.

Takengon, Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah, adalah tempat paling tepat untuk dapat menyaksikan kesenian tradisional yang sarat akan pesan moral dan sosial ini. Dimana masyarakat Gayo sendiri adalah salah satu suku terbesar yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.

Sampai saat ini perkembangan kesenian didong tetap berjalan dengan baik. Penerus kesenian tradisional ini umumnya berasal dari mereka yang bersekolah di sekolah “rimba”. Pesan yang disampaikan oleh mereka sangat humanis dan menyesuaikan dengan hati nurani rakyat.

Didong biasanya dipentaskan di tempat terbuka. Bila ada event semalam suntuk kelompok yang bertanding saling mendendangkan teka-teki dan ceh didong akan membalasnya dengan lirik yang indah. Lebih tepatnya acara ini akan ditampilkan saat malam minggu. Meskipun pada awalnya didong hanya dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam (MKS/ZAS)

sumber:komprominews

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.