Oleh : Win Wan Nur*

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia merumuskan bahwa hakekat dari pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia secara merata di seluruh Tanah Air.
Pembangunan nasional itu sendiri meliputi beberapa bidang. Mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional, yang kesemuanya harus diperhatikan secara seimbang.
Tapi kenyataannya, pembangunan kesemua bidang itu tidaklah berjalan dengan seimbang. Dalam prioritas pembangunan sosial dan budaya seringkali diabaikan. Sehingga dalam bidang ini, terutama dalam bidang budaya peran negara seringkali tidak tampak. Sehingga terjadi yang kuat mendominasi yang lemah. Ketika di suatu daerah ada suatu budaya dominan, budaya lain yang minoritas seringkali diabaikan bahkan secara sadar atau tidak dimatikan.
Aceh adalah satu wilayah di Indonesia yang cukup plural secara budaya. Sayangnya, pemerintah di daerah ini tidak melakukan pembangunan di bidang budaya ini ini secara seimbang. Terlebih ketika Aceh mulai mendapat peran lebih besar dalam mengelola diri tanpa intervensi berlebihan dari pemerintah pusat. Semakin kentara terlihat jika dalam soal pembangunan budaya, maka hanya budaya dari suku mayoritas di provinsi inilah yang memperoleh perhatian. Sementara budaya suku-suku minoritas semakin tersisihkan.
Suku Gayo adalah salah satu dari sekian suku minoritas di Aceh. Dan sebagaimana suku minoritas lain di Aceh, Gayo mendapat diskriminasi baik secara tersembunyi maupun terang-terangan dari penguasa di provinsi ini yang tentu saja kebanyakan diisi oleh suku mayoritas, sehingga eksistensinya terancam. Adat dan budaya Gayo di satu sisi diabaikan. Tapi beberapa warisan budaya suku Gayo dibajak dan diakui sebagai produk budaya suku mayoritas. Salah satu contoh nyata dari sikap penguasa yang seperti ini bisa kita lihat, bagaimana sekarang di Indonesia orang telah telah salah kaprah menyangka tari Saman adalah Tari Rateeb Meuseukat milik suku mayoritas yang ditarikan oleh perempuan.
Situasi seperti ini kalau terus dibiarkan, bisa berpotensi membuat generasi Gayo mendatang melupakan budayanya sendiri. Padahal sekali saja suatu generasi melupakan budayanya sendiri, maka warisan budaya yang menjadi kepribadian suku Gayo itu akan lenyap. Bangsa/suku yang kehilangan kepribadiannya akan menjadi bangsa/suku yang lemah, bangsa/suku yang lemah akan runtuh dari luar dan hancur dari dalam.”
Selain dari perlunya menjaga warisan budaya. Suku-suku di Indonesia yang sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri juga memiliki berbagai hukum adat yang sekian lama dipraktekkan untuk melindungi dan menjaga keharmonisan masyarakatnya. Meskipun sekarang Indonesia sudah merdeka dan menjadi sebuah negara yang berbentuk republik tapi penerapan hukum adat, sebenarnya masih diakui oleh negara. Ini ditopang oleh landasan hukum dengan adanya Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959, pasal 24 UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 (Surojo Wignjodipuro SH Pengantar dan azas azas hukum adat)
Di Gayo, selama ini kita lihat ketika penguasa mengambil kebijakan-kebijakan tertentu. Hukum adat yang sudah eksis di daerah ini sekian lama, sama sekali tidak masuk pertimbangan. Ini bisa kita lihat dari contoh masuknya beberapa desa di Gayo ke dalam kawasan hutan yang keputusannya diambil di pusat berdasarkan hukum nasional tanpa sama sekali merasa perlu untuk mendengarkan pendapat dari penduduk yang sudah menetap di desa-desa yang usianya sudah lebih lama dari usia republik.
Contoh lain adalah bagaimana seorang kepala pemerintahan daerah bisa dengan sewenang-wenang mencaplok tanah penggembalaan yang secara adat diakui untuk dijadikan sebuah kawasan peternakan terpadu. Dengan alasan tiap orang hanya berhak menguasai tanah sebanyak dua hektar saja. Dengan mengabaikan budaya berternak yang membutuhkan lahan yang luas. Ini bisa kita lihat terjadi di wilayah yang sekarang diberinama Ketapang II. Dulunya ini adalah daerah tempat merupakan wilayah penggembalaan ternak dari peternak tradisional. Tapi sekarang dicaplok oleh pemerintah daerah dengan kebijakan transmigrasi lokal untuk ternak.
Dan untuk pengembangan ternak inipun pemerintah daerah yang memilih mengembangkan ternak sapi sama sekali mengabaikan adat dan kebiasaan masyarakat Gayo setempat yang sejak dahulu akrab dengan peternakan kerbau.
Padahal sebenarnya itu semua adalah hak-hak dasar orang Gayo sebagai manusia, yang harus dihormati oleh siapapun termasuk oleh suku mayoritas dan penguasa.
Tapi sayangnya untuk kasus Gayo, sampai sejauh ini tidak ada lembaga apapun yang hadir untuk membela hak-hak dasar orang Gayo ini. Wakil rakyat yang diwakili oleh para politisi dari partai-partai politik, sampai saat ini terbukti lebih banyak memperjuangkan pribadi dan kelompoknya sendiri dibandingkan dengan kepentingan orang Gayo sendiri.
Adat Gayo benar-benar telah kehilangan wibawa.
Meski tidak terucapkan, tapi perasaan ini tampaknya dirasakan oleh banyak orang Gayo yang berasal dari berbagai kalangan. Ini terlihat dalam acara diskusi “Menatap Gayo” yang diselengarakan di Takengen Kamis malam 7 November 2014 silam.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat Gayo ini ratusan peserta diskusi yang memadati aula Hotel Linge Land mendesak untuk segera mendeklarasikan Dewan Adat Gayo, sehingga sekarang Gayo memiliki kekuatan, bersatu untuk membela hak- haknya yang selama ini dilanggar. Karena selama ini terbukti, partai politik dan saluran aspirasi formal gagal total dalam menyuarakan aspirasi Gayo tidak terwujud. Sehingga kedepannya dengan kekuatan Dewan Adat Gayo, hak-hak dasar orang Gayo bisa terawasi dan aspirasi murni masyarakat Gayo yang belum dicemari kepentingan politis tertentu juga bisa tersalurkan keluar.
Nanti setelah Dewan Adat ini berfungsi. Ketika masyarakat Gayo berbenturan dengan pemerintah, kita bisa mengharapkan fungsionaris adat, untuk menjadi mediator antara Pemerintah dengan masyarakat. Dan masyarakat Gayo juga tidak perlu lagi mengalami kegoncangan batin dan mendapatkan diskriminasi dan mendapat perlakuan tidak adil, hanya karena terlahir sebagai suku Gayo.
*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

 
													




 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										