Sabela[1]
PASAL 74 (1) tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara tegas dan jelas telah mengatur mengenai kewajiban (mandatory) bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam dan/atau yang terkait dengan sumber daya alam untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR).[2]Bahkan Pasal tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review sejumlah perwakilan asosiasi bisnis dan perusahaan terkait dengan keberadaan ketentuan Mandatory CSR di UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.[3] Sehingga dengan demikian, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang secara tegas menyatakan bahwa CSR merupakan kewajiban hukum perusahaan.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka perseroan yang berbisnis di Indonesia yang terkait dengan sumber daya alam wajib mengalokasikan sejumlah dana untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Dana CSR yang dianggarkan tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Selanjutnya, pelaksanaannya dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kalimat “memperhatikan kepatutan dan kewajaran” merupakan kalimat yang masih luas dan perlu diterjemahkan secara rinci sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sebagai contoh; karakterisktik perusahaan pertambangan atau perkebunan akan sangat berbeda dengan perusahaan jasa, manufaktur dan perbankan.
Sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan sudah melaksanakan program yang disebut sebagai program CSR. Walaupun masing-masing perusahaan masih menggunakan istilah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya terkait dengan program CSR. Bagi perusahaan yang tergabung di dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mereka menyebut program CSR sebagai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sedangkan sebagian perusahaan lainnya khususnya perusahaan swasta nasional dan asing menyebut program CSRnya dengan Pemberdayaan Masyarakat (Community Development). Bahkan ada perusahaan yang menggunakan istilah community relations (Hubungan Masyarakat) dan corporate citizenship (Kewarganegaraan Badan Usaha. Ke depan seiring dengan terbitnya Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007 maka muncul istilah baru yaitu program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Meskipun ada perbedaan istilah yang dipakai antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya tetapi pada intinya masing-masing perusahaan berkeinginan kuat untuk berkontribusi secara nyata kepada masyarakat yang berada disekitar lingkungan perusahaannya. Konstribusi nyata tersebut diharapkan dapat semakin memberikan nilai tambah (value added) bagi operasionalisasi perusahaan baik secara jangka pendek, menegah maupun jangka panjang. Bahkan dapat terjalinnya hubungan yang harmonis antara masyarakat dan perusahaan. Pembangunan sarana fisik dan non-fisik di lingkungan sekitar perusahaan tersebut beroperasi secara keseluruhan memang tidak bisa dibebankan kepada perusahaan karena perusahaan juga merupakan entitas bisnis yang bertujuan untuk mencapai keuntungan tertentu yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga pelaksanaan program CSR harus memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran.
Ada beberapa model pelaksanaan program CSR yang telah dan sedang dipraktikkan oleh sejumlah perusahaan di Indonesia yaitu:
- Self- implementation, yaitu melaksanakan sendiri program CSR tersebut melalui unit khusus CSR yang dibentuk oleh perusahaan. Pelaksanaan kegiatan ini sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan dengan menempatkan staf yang khusus bertugas menjalankan program CSR.
 - Corporate Foundation, yaitu melaksanakan program CSR dengan cara pihak perusahaan mendirikan suatu yayasan yang khusus untuk menangani semua program CSR yang ada di dalam perusahaan tersebut.
 - Independent Organization, yaitu melaksanakan program CSR dengan cara menyerahkan sebagian atau seluruh dana CSR untuk membiayai program-program CSR tertentu yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga-lembaga independen dan tidak terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak manajemen perusahaan. Pelaksanaan kegiatan CSR yang demikian ini akan berdampak positif bagi akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan program CSR itu sendiri. Pelaksanaan program CSR dengan model ini biasaya dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak lembaga konsultan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi.
 
Sinergitas antara perusahaan dengan pihak ketiga dalam pelaksanaan CSR sangat diperlukan karena hal itu akan semakin mempertegas tingkat akuntabilitas dan transparansi dalam implementasinya. Bahkan diperlukan adanya asesmen kebutuhan masyarakat (community needs assessment) sebelum pelaksanaan program CSR dan evaluasi dampak (impact evaluation) setelah program tersebut selesai dilaksanakan. Bahkan diperlukan adanya suatu mekanisme CSR Project Management Unit (PMU) terhadap semua program CSR yang dilaksanakan oleh berbagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia khususnya bagi perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam dan/atau terkait sumber daya alam.
Aspek-aspek penting tersebut perlu diatur secara tegas dan lebih rinci baik di dalam peraturan perundangan-undangan Indonesia maupun di dalam best practices, panduan dan standar pelaksanaan mandatory CSR di Indonesia. Sehingga berbagai pihak terkait seperti pemerintah, praktisi, akademisi, penerima manfaat dan masyarakat umum lainnya dapat mengakses informasi terkait dengan pelaksanaan program mandatory CSR dari masing-masing perusahaan yang ada di Indonesia khususnya perusahaan yang berbisnis di bidang sumber daya alam dan/atau terkait dengan sumber daya alam.
Perlu ada satu aturan tegas yang mengatur sejauh mana dan untuk kegiatan apa saja dana CSR perusahaan bisa dipergunakan dan mekanisme koordinasi pelaksanaan kegiatan tersebut dengan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka sinkronisasi kegiatan agar tidak tumpang-tindih dengan kegiatan pemerintah yang tercantum Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP). Bahkan alangkah lebih baik jika dana CSR hanya dapat digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang bersifat non-fisik seperti pembangunan kapasitas (capacity building), seminar, pelatihan, workshop, rapat-rapat terfokus dan bentuk kegiatan-kegiatan non-fisik lainnya. Sehingga pemerintah bisa semakin fokus untuk melaksanakan program pembangunan fisik seperti pembangunan sarana jalan, sekolah, rumah ibadah dan infrastruktur fisik lainnya. Jika sinergitas dari segi perencanaan program tersebut dapat tercapai maka sinergitas antara dana CSR dengan sektor lainnya akan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat khususnya penerima manfaat utama disekitar lingkungan perusahaan.
Sejak dikeluarkannya UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum maka negara berkewajiban mengalokasikan sejumlah dana bantuan hukum untuk membantu masyarakat miskin dan kelompok marjinal lainnya yang terlibat masalah hukum. Bantuan hukum yang diberikan melalui Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah lulus verifikasi faktual dan terakreditasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Bantuan hukum yang diberikan meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi dan nonlitigasi.[4]
Khusus untuk kegiatan litigasi, layanan bantuan hukum yang diberikan berupa pendampingan kuasa hukum di pengadilan baik pada perkara pidana, tata usaha negara maupun perdata. Sedangkan untuk kegiatan nonlitigasi dapat berbentuk kegiatan seperti; penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan hukum masyarakat, pendampingan di luar pengadilan dan penyusunan dokumen hukum.[5] Demikian luasnya ruang kegiatan nonlitigasi merupakan peluang besar bagi para perusahaan yang memiliki dana CSR untuk bersinergi dengan Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi oleh KEMENKUMHAM RI untuk bersama-sama membantu masyarakat miskin dan kelompok marjinal dalam perkara hukum yang sedang dihadapinya. Sekaligus membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam berbagai aspeknya.
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dengan akses transportasi dan komunikasi yang terbatas selalu memiliki permasalahan hukum yang demikian banyak dan mereka tidak tahu harus kemana meminta bantuan atau berkonsultasi. Sehingga keberadaan dana CSR yang demikian besar seharusnya memberikan dampak yang signifikan bagi pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat. Sehingga sinergitas berbagai pihak khususnya perusahaan-perusahaan yang memiliki dana CSR dengan OBH, lembaga riset hukum dan perguruan tinggi hukum mutlak harus dilakukan dalam rangka memperluas akses terhadap keadilan (access to justice) bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat miskin dan kelompok marjinal.
[1] PhD Candidate College of Law, Government and International Studies Universiti Utara Malaysia
[2] Pasal 74 (1) TJSL UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
[3] Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 mengenai Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[4] Pasal 4 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[5] Pasal 16 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum

													



