Menjadi Mulia atau Hina

oleh

Oleh Johansyah*

Tempatnya mulia ada dalam setiap kebaikan. Kebaikan itu sendiri merupakan pancaran ketakwaan dan keimanan yang mendiami batin seseorang karena kedekatannya dengan Allah. Maka setiap orang yang ingin hidup mulia di sisi Allah dan manusia, dia harus terus melakukan kebaikan tanpa batas selama dia hidup, bahkan setelah mati sekali pun.

Dalam keseharian kita, ternyata banyak orang yang mengukur kemuliaan seseorang dengan kekayaan, jabatan, atau keturunan. Hingga sering kali mereka menempuh langkah dan strategi bagaimana agar dapat menjadi kaya, memiliki jabatan, atau punya garis keturunan orang terhormat. Menurut mereka, hanya kekayaan, harta, dan jabatanlah yang akan mengangkat derajatnya menjadi orang terhormat dan mulia.

Tetapi yakinlah, jika kemuliaan seseorang ternyata hanya karena hartanya, maka suatu saat kemuliaan itu akan sirna seiring dengan hilangnya harta. Jika seseorang dimuliakan karena jabatannya, maka itu pun akan lenyap ketika dia tidak lagi memiliki jabatan. Jika kemuliaan seseorang hanya karena keturunan, maka selama apakah keturunan itu mempertahankan kehormatannya? Apalagi ketika dia melakukan kejahatan, atau penyimpangan, maka kehormatannya pasti lenyap. Jika seseorang mulia karena ketampanan atau kecantikannya, maka itu juga akan lenyap seiring dengan bertambahnya usia mereka. Semua bentuk kemuliaan tadi tidaklah kekal dan hanya bersifat semu.

Orang yang dimuliakan karena kekayaan, jabatan, atau keturunan sering kali terhempas dan dihantam zaman. Kalimat kekekalan tidak melekat pada diri mereka. Alqur’an memberikan contoh, bagaimana orang-orang kaya seperti Qarun yang ditenggelamkan Allah, lalu hartanya sama sekali tidak mampu menyelamatkan diri dan kehormatannya. Contoh lainnya adalah Firaun yang menjadi raja dan menuntut orang memuliakan dan menghormatinya? Akhirnya juga tenggelamkan di laut merah karena keangkuhannya yang mengaku sebagai Tuhan.

Dalam alqur’an, kemuliaan seseorang ditentukan oleh dua aspek, yaitu ilmu dan iman. Allah berfirman: “… Allah mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. al-Mujadalah: 11). Kedua aspek ini ibarat dua sisi mata uang atau entitas yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan, tanpa didukung oleh iman, boleh jadi akan menyalahgunakan pengetahuannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan bahkan cenderung merusak. Begitu pula orang-orang yang beriman, mereka harus memiliki pengetahuan yang memadai, sebab untuk beramal salih dibutuhkan pengetahuan.

Allah juga telah menegaskan dalam titah-Nya yang lain bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaan. Firman-Nya; “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang bertakwa…” (QS. Al-Hujurat: 13).

Rasulullah mengatakan bahwa kemuliaan manusia bukanlah ditentukan oleh bentuk fisik seperti warna kulit, keturunan, harta, atau kekuasaan, tetapi ditentukan oleh kebaikan dan ketakwaannya. Beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupamu dan hartamu, tetapi Dia melihat pada hatimu dan amalanmu” (HR. Muslim).

Pada wilayah praktis, berarti kemuliaan seseorang ditentukan oleh akhlak baiknya. Perbuatan-perbuatan baik (akhlakul kariman) yang diekspresikan seseorang dalam amalan sehari-hari merupakan wujud nyata dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Akhlak baiklah yang membuat seseorang mulia. Ketika dia membantu kesulitan orang lain, peduli, tidak pernah menyakiti perasaan orang lain, berbicara santun, bertanggung jawab, toleransi, tidak mau menyalahkan orang lain, dan akhlak baik lainnya, itulah yang akan mengangkat derajat seseorang dan membuatnya mulia di sisi manusia, dan di sisi Allah.

Berarti untuk menjadi orang mulia sebagaimana ekspektasi alqur’an ternyata sangat mudah, tetapi banyak orang yang mengabaikannya. Karena dorongan dunia, hawa nafsu, dan rayuan setan, banyak orang yang memilih jalan-jalan lain yang bersifat semu untuk memperoleh kemuliaan. Banyak orang yang mengejar kemuliaan di mata manusia, tetapi melupakan pemuliaan Tuhan kepada dirinya.

Ketika seseorang berakhlak buruk, melakukan kemaksiatan, membuat kerusakan, dan sering membuat orang-orang lingkungan sekitarnya tidak nyaman, maka sesungguhnya pada saat itulah status mulia kemanusiaannya tercabut sendiri dan menjadi hina di mata Allah. Ketika dia tidak lagi mendengarkan pesan-pesan alqur’an dan hadits, maka Allah menilainya seperti binatang, bahkan lebih hina lagi.

Firman-Nya; “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179)

Ketika kerbau menerobos pagar perbatasan, tentu kita tidak perlu kaget karena kerbau tidak akan pernah tau kalau pun ada pamphlet yang bertuliskan ‘dilarang menerobos pagar ini’. Tapi akan lain kesannya ketika manusia yang tau hukum dan tidak buta huruf, seenaknya saja menerobos lampu merah. Padahal dia tau dan sangat paham bahwa menorobos lampu merah adalah tindakan melanggar rambu-rambu lalu lintas. Kalau menurut ayat tadi, manusia yang menoros lampu merah lebih bodoh dan hina dibandingkan kerbau yang menerobos pagar.

Bagaimana dengan orang-orang yang menutupi kehinaannya agar tidak dicemooh dan tetap dihormati? Bisa jadi manusia luput dari perilaku buruknya, namun yang pasti Allah mengetahui semua perbuatannya. Malaikat yang ada di sisi kanan-kirinya akan terus mencatat semua perbuatan yang dilakukannya. Catatan ini akan ditulis oleh malaikat apa adanya, tidak ada laporan yang dimanipulasi atau direkayasa, dirahasiakan, ditambah atau dikurangi. Inilah yang tidak bisa dibohongi. Mungkin sekarang kita mulia di mata manusia, namun kelak Allah akan memperlihatkan yang sesungguhnya dari apa yang kita sembunyikan.

Mulia atau hina, kitalah yang menentukannya. Jika kita ingin hidup menjadi manusia mulia, maka jalannya sangat mudah yakni selalu mengisi aktifitas kita dengan amalan yang baik, positif, serta bermanfaat bagi orang lain. Mulia karena jabatan, harta, atau keturunan, itu terlalu kecil. Kemuliaan yang paling besar adalah setiap kebaikan yang kita lakukan. Dan itu kekal. Wallahu a’lam.

*Pegiat Studi Islam. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.