Syeh Kilang, Seniman Serba Bisa dan Pembaharu Seni Gayo

oleh

syeh_kilang1

DATARAN tinggi Tanoh Gayo melahirkan banyak tokoh dibidang seni budaya, salah seorang yang bisa dikatakan sebagai pembaharu seni budaya Gayo adalah Abdullah yang lebih populer dengan panggilan Syeh Kilang, seniman serba bisa atau multi talent di bidang seni budaya, baik tradisional maupun modern.

Syeh Kilang mampu menciptakan lagu, memainkan alat musik baik alat musik tradisional maupun modern, menjadi Ceh Didong, menjahit Kerawang Gayo, melukis, fotografi dan menciptakan alat tepuk Didong berupa bantal yang menambah warna iringan tepuk seni Didong hingga sekarang.

Di masa remaja, Syeh Kilang biasa dipanggil Hesy, kebalikan dari kata Syeh. Setelah kelahiran anaknya yang pertama, nama panggilannya menjadi Aman Zul. Ama bearti bapak dan Zul adalah nama anak pertamanya. Jadi Aman Zul adalah bapak si Zul. Nama panggilan ini dipandang sopan bagi masyarakat Gayo. Panggilan ini lah yang melekat di dalam keluarganya dan di lingkungan sudere (kerabat dekat-red).

Terciptanya nama Syeh Kilang juga tak lepas dari kelaziman dalam masyarakat Gayo. Kata Syeh Kilang berasal dari pengalan kata Syeh dan Kilang. Syeh dalam bahasa Gayo adalah Ahli (tukang), sedang Kilang adalah mesin jahit. Jadi Syeh Kilang sama dengan ahli (tukang) Jahit.

Panggilan itu memang punyai alasan yang kuat, karena dia lah satu-satunya orang yang memiliki mesin jahit dan orang dapat menjahit di kampung tempat tinggalnya. Keahlian menjahit bukan saja dapat melayani kepentingan orang laki-laki atau kaum bapak saja, tetapi juga mampu menjahit pakaian kaum ibu, khususnya Ukir Kerawang, yaitu pakaian tradisional Gayo.

Syeh kilang merupakan anak tertua dari empat bersaudara. Ia lahir di kampung Bebesen Takengon, Aceh Tengah pada tahun 1929. Saudara kandungnya ada Harun, Abu Bakar dan Zainab. Ayah nya bernama Mahmuda seorang utus (ahli konstruksi bangunan) yang mahir membuat rumah khususnya rumah tradisional Gayo. Sementara ibunya bernama Rapiah, seorang ibu rumah tangga biasa.

Pada tahun 1947 Syeh Kilang melangsungkan pernikahannya dengan Sairah, seorang guru SD yang berasal dari kampung Daling Takengon.  Dari perkawinan ini mereka dikaruniai 8 orang anak. Kedelapan anak-anak Syeh Kilang sempat mengenyam pendidikan tinggi dengan nama-nama antara lain Drs. Zulkifli. SK, Dra. Nurhayati. SK, Abdul Kadir. SK, SP, Ir. Nasiruddin. SK, MM, Dra. Irwani, Alm. Hamzaini, BSc (anek), Mokmeli,. SPd, dan anaknya yang bungsu Zubaidah, SPd.

Perhatian Syeh Kilang terhadap seni musik telah tampak setelah ia menyelesaikan pendidikan pada Vervolg School (SD zaman Belanda). Untuk mewujudkan cita-citanya ia melanjutkan pendidikan pada Perguruan Persatuan Murid-Murid (PPM) di Takengon.

Lembaga pendidikan ini didirikan oleh Angku Ali Jauhari lepasan dari pendidikan INS, Kayutaman Sumatra Barat. Mata pelajaran yang diberikan antaranya Seni Musik, Seni Tari, Tonel (drama) dan kerajinan seperti anyaman-anyaman. Dari pendidikan tersebut Syeh Kilang telah dapat memainkan biola, saxopon, dan gitar.

Pencipta Lagu dan Ceh Didong

Dalam periode 1937-1955 Syeh Kilang aktif berkecimpung dalam seni Didong, yaitu seni olah kata/suara dengan iringan tepukan tangan dan gerak sejumlah orang. Didong merupakan seni tradisional yang sangat mengakar dalam masyarakat Gayo.

Dalam menghidupkan seni Didong ini, pertama ia bergabung dalam klub Didong Alie Bunge  di kampung Bebesen antara tahun 1937-1940. Lalu klub Didong Sipi-sipi (1941-1945), Klub Didong Kejora (1946-1950) dan terakhir klub Didong Kabinet Baru di tahun 1951-1955.

Dalam meramaikan klub Didong ini ia dipercayakan sebagai ceh (pembawa didong). Selain sebagai Ceh, Syeh Kilang juga telah dapat menciptakan lagu-lagu Didong yang populer hingga saat ini dan telah diiringi musik modern diantaranya Diang-diang Manang-manang (1959), Kayu Medang Sengit (1968), Asam Kuncir (1985), Bunge Kemang (1974), Ringkeli Bintang (1980), Bagah Tagisa (1985), Berutem (1958), Remang Ketike (1958), Jang Jingket (1958) dan lain-lain.

Sementara untuk lagu khusus pengiring tarian Gayo yang diciptakan Syeh Kilang diantaranya Tari Anyung (1958), Tari Belang (1965), dan lain-lain.

Syeh Kilang bersama biola kesayangannya. (Doc. Nasiruddin)
Syeh Kilang bersama biola kesayangannya. (Doc. Nasiruddin)

Modernisasi Didong dan Aransemen Musik

Patut di catat, karena dalam sejarah perkembangan seni Didong, Syeh Kilang telah melakukan perubahan, yang semula hanya memakai tepukan tangan sebagai alat ritmis mengiringi lantuan syair didong. Kecerdasan Syeh Kilang menambah khazanah seni ini dengan menambah perlengkapan yang terbuat dari kampas (bantal kecil) ukuran 20 x 20 cm. Pukulan-pukulan ritmis di bantal kecil ini membuat suara tepukan terasa lebih mantap yang mampu menambah kemeriahan dan kenikmatan  para pecinta seni Didong.

Setelah kelahiran anaknya yang pertama, seni Didong ditinggalkan dan perhatiannya dicurahkannya pada seni musik. Dengan berbekal ilmu musik diatonis yang diperolehnya dari perguruan Persatuan Murid-Murid (PPM), Syeh Kilang menggabungkan diri dengan group Orkes Sadar di tahun 1950-1958. Lalu bergabung bersama group Orkes Puspa Irama (1959-1962), group Orkes Oriel tahun 1962-1964 dan terakhir aktif bersama group Orkes Malem Dewa di tahun 1964-1968.

Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) I tahun 1958, seperti ditulis Novarizqa Saifoeddin di kompasiana.com edisi 29 Maret 2011 berjudul “Tuak Kukur Versi Pekan Kebudayaan Aceh I” disebutkan jika Syeh Kilang menjadi salah seorang Personil Orkes Sadar bersama Thomas Tarigan, Ismail M, Suwardi, A. Karim Aji, AR. Hakim, AR.Moese, AS. Kobat, Abdullah Sugeng mengiringi tarian gabungan tari Tuak Kukur, Jang Jingket serta Sek Kesek Uwi dengan personil tari Sadimah.S, Djeniah, Jemilah, Upik, Wastiah, Suryati, Siti Hajar serta deklamator Saifoeddin Kadir alias Zuska.

Untuk memperkaya khasanah musik, Syeh Kilang mengangkat lagu-lagu daerah, Gayo khususnya dan kemudian mengaransir lagu-lagu tersebut untuk dimainkan secara orkestrasi. Diantara lagu-lagu yang diaransirnya salah satunya adalah lagu Guduk-guduk ciptaan Ceh Lakiki. Lagu tersebut sempat sangat populer di Gayo ketika dibawakan oleh Aisyah.

Bukan saja lagu tersebut menjadi lebih populer, tetapi juga telah mengangkat ke pucuk kepopularitasan penyanyinya dengan mendapat julukan Esah Guduk-Guduk. Lagu lain yang dilansirnya adalah Renggali ciptaan Lakiki dan Ampung-ampung Pulo ciptaan Abu Kasim.

Syeh Kilang saat memainkan musk Gerantung ciptaannya. (doc. Nasiruddin)
Syeh Kilang saat memainkan musk Gerantung ciptaannya. (doc. Nasiruddin)

Dedengkot Penabuh Gegedem Tari Guel

Selain itu, Syeh Kilang juga mahir pula menabuh Gegedem (Gendang) dan Repa’i (Rebana) untuk mengiringi tari tradisi Gayo Guel. Tabuhannya dapat menghidupkan gerakan-gerakan yang dinamis dan indah mempesona sehingga si penari dapat melakukan refleksi gerakan yang memukau. Tak heran jika dia disebut-sebut sebagai “Dedengkot Gegedem Guel” di Tanoh Gayo.

Menurut pengakuan penari Guel ternama asal Juru Mudi, Aman Rabu pernah mengatakan, “saya mau menari kalau yang menabuh gendangnya Syeh Kilang, kalau yang menabuh orang lain saya menjadi enggan menari karena badan saya menjadi pegal.”

Keahlian menabuh Gegedem ini juga dituturkan Kandar SA, seorang penyanyi Gayo ternama. “Saya kenal baik dengan ayah (panggilan akrab Kandara kepada Syeh Kilang) dan banyak berguru kepadanya. Cara memukul Gegedem berbeda dengan yang lain dan suara pukulan sangat khas,” kata Kandar.

Selain itu, dia juga disebut-sebut sebagai kreator tari Munalo, sebuah tarian kreasi Gayo khusus untuk penyambutan tamu kehormatan atau penyambutan pengantin.

Peran di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)

Sebagai seniman ia adalah orang yang hangat dan mengesankan. Dalam mengangkat seni budaya bangsanya (Gayo), ia tidak pernah berbicara masalah untung dan rugi, sebagai ekonomi. Tetapi sebagai seniman yang menjadi obsesinya dan selalu menjadi kajiannya yang serius bagaimanakah supaya seni budaya Gayo bisa terangkat ke posisi terhormat.

Dengan penuh dedikasi dan dan pengabdian terus melangkah untuk mendorong roda seni dengan tidak mengenal kata sudah. Ia terus memacu kreativitasnya untuk berkarya dan untuk berkarya dan mencipta. Pikiran-pikirannya telah melahirkan gagasan vital untuk menempatkan seni musik, khususnya seni Gayo menjadi primadona di daerah Gayo (Aceh Tengah).

Berkat kejelian dibantu beberapa rekannya dalam menata panggung yang serasi telah mengantar kabupaten Aceh Tengah untuk meraih juara umum dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II yang berlangsung di Banda Aceh tahun 1972.

Gagasannya tidak pernah kering, terus menetes yang didapat dari pengalaman hidup yang dilaluinya dan ini ditandai atas keberhasilan Kabupaten Aceh Tengah dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) III tahun 1988 untuk meraih juara umum lagi.

Syeh Kilang saat membuat alat musik Gerantung. (Doc. Nasiruddin)
Syeh Kilang saat membuat alat musik Gerantung. (Doc. Nasiruddin)

Ciptakan Musik Gerantung

Dengan pencarian terus-menerus, pada tahun 1987, Syeh Kilang telah dapat menampilkan hasil kreasinya berupa alat musik melodis bertangga nada diatonis yang terbuat dari Gerantung (sejenis genta untuk ternak kerbau terbuat dari bambu atau kayu khusus).

Musik ciptaannya ini kemudian dikenal dengan nama musik Gerantung dan alat musik ini turut diikutsertakan pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-3 tahun 1988.

Alat musik Gerantung juga berhasil meraih peringkat ke tujuh dalam Gatra Kencana Kebudayaan Tingkat Nasional yang diselenggarakan dan ditayangkan TVRI Stasiun Pusat Jakarta di tahun yang sama.

Musik Gerantung di ini di generasi berikutnya semakin dikuatkan oleh AR. Moese dan saat ini Gerantung sudah menjadi alat musik yang kerap ditampilkan oleh sanggar seni di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Urang Gayo Pertama sebagai Fotografer

Sosok Syeh Kilang dikenal sebagai orang yang tidak suka berdiri didepan, dia rendah hati lebih suka bekerja di belakang layar dan dikenal murah hati dikalangan sahabat dan murid-muridnya.

Dia tercatat sebagai fotografer pertama dikalangan penduduk pribumi Gayo yang diawali pada tahun 1953. Saat itu ada beberapa fotografer di Aceh Tengah namun bukan penduduk asli beretnis Cina.

Dengan alat-alat yang sederhana tapi di tunjang oleh kemahirannya, ia telah dapat melakukan cuci cetak foto hitam putih. Harusnya Syeh Kilang bisa hidup mapan dari pekerjaan ini, namun karena rasa kekeluargaan yang tinggi dikalangan masyarakat Gayo, telah menyebabkan usaha foto ini berjalan ditempat.

Kebanyakan yang datang minta di foto meminta penangguhan pembayaran alias mengutang. Apalagi mereka merasa yang menjadi tukang kodak (tukang poto) masih saudara sehingga ada perasaan tidak usah di bayar. Akibatnya, usaha Syeh Kilang pun bangkrut.

Syeh Kilang saat bermain musik bersama rekan-rekannya. (Doc. Nasiruddin)
Syeh Kilang dengan saxophone saat bermain musik bersama rekan-rekannya. (Doc. Nasiruddin)

Pemain Orkes

Berbicara soal musik, Syeh Kilang bukanlah tipe pemusik fanatik berpegang pada satu alat musik saja. Tetapi dalam memainkan alat musik ia sangat mahir baik alat musik tradisional maupun modern.

Sejumlah grup musik dibentuk Syeh Kilang bersama rekan-rekannya seperti Thomas Tarigan, Ismail, Otto, Rahmadsyah, Mursalan Ardi, Gundalapathy, AR. Hakim, Alih Hasan Rady, Suardi dan lain-lain di tahun 1950-1958 sempat eksis grup musik orkestra Sadar. Lalu Orkes Puspa Irama di tahun 1950-1962.  Dan di era 1963-1965 ada orkes Urril Dim 0106 dan Malim Dewa. Dan dimasa yang lebih baru sekitar tahun 1970-an membentuk dan membina sanggar Time Ruang.

Dengan seni, ia telah dapat menghidupkan suasana musik di dalam keluarga dan ini di tandai dengan terkoleksinya alat musik seperti piano, biola, gitar, saxophone, dan alat-alat musik tradisional Gayo.

Syeh Kilang tutup usia pada 2 Juni 1990 di Jakarta dan kini makamnya dipindahkan ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gelengung Daling Kecamatan Bebesen Aceh Tengah. (Kha A Zaghlul)

(Dikutip dari beberapa sumber tertulis, keterangan ahli waris dan pernyataan beberapa tokoh)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.