Oleh : Kurnia*

TEPAT tanggal 17 bulan Agustus tahun 2013, Negara Republik Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-68 dari penderitaan Imprialisme yang menguasai bumi nusantara Indonesia mulai dari Protugis, Belanda dan Jepang.
Dalam merebut kemerdekaan tak ternilai perjuangan pejuang-pejuang yang mengorbankan nyawa, harta dan tenaga tanpa mengenal lelah dan takut hanya untuk sebuah hak yaitu kebebasan untuk bisa hidup layak dan makmur di bumi pertiwi “tanoh tembuné” walaupun hanya mengandalkan semangat senjata bambu runcing.
Tanoh Gayo juga tidak luput dari pertempuran-pertempuran sengit dengan penjajah yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Gayo pada waktu itu. Seperti Panglima Nyak Usin di pertempuran mempertahankan Idi tahun 1873, Tengku Tafa (Mustafa) memimpin gerilya di Upak Tanjung Seuamantuk di Aceh Timur dan Pase.
Lalu Pang Amin bertempur di Matang Gelumpang Dua tahun 1901, Pang Gembera dan Pang Putih di Pertempuran Tenge Besi tahun 1901, pertempuran Bur Pante Ketol tahun 1901, Pang Akup, Pang Bedel dan Pang Bin menghadang Belanda yang masuk dari aliran sungai Jambu Aye Semer Kilang, Sungai Bidin dan sungai Kanis tahun 1902, pertempuran di Pencampuren dan Pepedang (Bur Kul Belang Jorong) yang dipimpin oleh dua bersaudara Pang Abid dan adiknya Pang Rebenta, pertempuran di Atu Singkih di bawah pimpinan Petue Amin, Tengku Bedu dan Penghulu Aman Gamang;
Pertempuran di Alur Putih Kanis yang dipimpin oleh Tengku Tengoh, Tengku Bedu dan Petue Amin kemudian dilanjutkan pertempuran di Jelobok Kung, Belang Bebangka selama dua hari dua malam; Pertempuran di Bur ni Sange tahun 1905 pejuang Gayo yang gugur diantaranya Pang Merheben, Pang Kadem, Pang Dalem; Pertempuran di Bur Ni Pante sebelah timur Kampung Ketol tahun 1905 yang dipimpin oleh Pang Ali dengan persenjataan rencong dan pedang.
Selanjutnya pertempuran Amuek percampuran di sekitar daerah Bidin tahun 1908 yang dipimpin oleh Pang Ramung, Pang Cik, Pang Kedem, Pang Batu, Pang Polem dan Pang Intan; Pertempuran di Bur Kul yang dipimpin oleh Pang Ramung; pertempuran di Gurilen, Pertempuran di Asir-Asir yang menewaskan tujuh pejuang Gayo, Tgk. Ilyas Lebe memimpin Pasukan BAGURA di pertempuran Medan Area yang mengorbankan salah satu Komandan Pertempuran Aman Dimot tahun 1947.
Besarnya pengorbanan dan semangat juang para pejuang Gayo untuk merebut kemerdekaan Indoensia adalah sebagai cermin dan cambuk untuk kita sebagai generasi Gayo mengingat, mengenang dan melanjutkan semangat juang. Sekarang ini Gayo memang bersedih dan berduka namun kita tidak boleh larut dalam kesedihan itu. Inilah momentum Gayo bangkit dan memiliki semangat juang untuk menata kembali masa depan yang lebih baik.
Memperingati sejarah pengorbanan pejuang, bukan hanya sekedar hormat ketika menaikan bendera merah putih dalam upacara bendera tahunan. Yang lebih penting sebagai generasi kita harus mengetahui dan mengingat untuk menyadarkan kita bagaimana seharusnya mengisi manipestasi dari nilai-nilai kemerdekaan yang di pesankan melalui pengorbanan pejuang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah. Pesan perjuangan yang disampaikan dalam kutipan syair didong klub Kabinet yaitu “Bambu runcing kin alat perang berjuang rum putih ilang” kobaran semangat dalam syair ini yang harus tertanam dalam sanubari yang berani dan bersih seluruh elemen masyarakat dan aparat pemerintah di TANOH GAYO.
Dulu pejuang berjuang mempertahankan dan merebut kedaulatan negeri dengan darah dan nyawa atas hak yang dimilikinya yang ada di tangan penjajah. Sehingga kemerdekaan mutlak untuk dimiliki sebagai jiwa raga kebanggsaan. Namun, dewasa ini yang umur Negara sudah 68 tahun penguasa atau calon penguasa ingin merebut kembali kedaulatan dari rakyat dengan uang untuk merebut kekuasaan.
*Forum Pake Gayo