Oleh : Sabela Gayo[1]
Penyelenggara Pemilu sebagai Pilar Demokrasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang karena kekhususannya di Aceh disebut sebagai Komisi Independen Pemilihan (KIP). Anggota KIP yang terpilih akan melaksanakan tahapan pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRA dan Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga anggota penyelenggara pemilihan umum harus diisi oleh orang-orang yang profesional, berintegritas, capable dan accountable. Sesuai dengan diktum “menimbang” dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum disebutkan bahwa “kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional, mempunyai integritas, kapabilitas dan akuntabilitas”. Bahkan di dalam diktum “menimbang” Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum di Aceh disebutkan bahwa “Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia dan jujur dan adil sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat akan berhasil dengan baik apabila dilaksanakan oleh penyelenggara yang mempunyai integritas, profesional dan bertanggungjawab”. Dari kedua diktum produk hukum tersebut terdapat satu semangat (spirit) dalam melaksanakan semua tahapan proses penyelenggaraan pemilu harus sesuai dengan standar etika tertentu sehingga kualitas penyelenggaran pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara moral dihadapan masyarakat. Karena sesungguhnya nilai-nilai moral merupakan aspek terpenting yang mempengaruhi substansi Pasal demi Pasal di semua produk peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia.
Sebagai bentuk penjabaran diktum “menimbang” tersebut di atas khususnya dalam konteks Aceh maka dalam Pasal 14 Qanun No. 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh diatur tentang tata cara rekrutmen anggota KIP Kabupaten/Kota yang menyebutkan bahwa “DPR kabupaten/kota membentuk tim independen yang bersifat ad hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon anggota KIP Kabupaten/Kota,[2] Tim independen berjumlah 5 (lima) orang,[3] dan yang terpenting anggota tim independen tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu; Warga Negara Indonesia yang berdomisili di kabupaten/kota yang bersangkutan, yang dibuktikan dengan KTP yang sah, berusia paling rendah 30 (tigapuluh) tahun pada saat pendaftaran, pendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau sederajat, bersedia tidak menjadi calon anggota KIP, tidak pernah menjadi anggota partai politik atau partai politik lokal yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang sah atau paling kurang dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelumnya tidak lagi menjadi anggota partai politik atau partai politik lokal yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik atau partai politik lokal, tidak pernah dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, tidak sedang menjadi tersangka, terdakwa atau terhukum dan mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur dan adil.[4] Bahkan komposisi tim independen tersebut harus mewakili beberapa unsur penting yaitu akademisi, LSM, tokoh masyarakat dan keterwakilan kaum perempuan.[5]
Beberapa persyaratan untuk menjadi anggota tim independen penjaringan dan penyaringan anggota KIP Kabupaten/Kota yang demikian ketat menunjukkan bahwa adanya keinginan kuat dari si pembuat undang-undang agar nantinya hasil rekomendasi tim independen tersebut yang berupa nama-nama calon anggota KIP Kabupaten/Kota dapat dipertanggungjawabkan dihadapan publik. Sesuai dengan Surat Keputusan Pimpinan DPRK Aceh Tengah terdapat 5 (lima) orang nama yang di SK-kan menjadi anggota tim independen yaitu; Suhartini, SH,MHi, Hirma Astuti, Nora Dewi, Suprapto, ST, dan Mukhariza. Dari kelima nama anggota tim independen tersebut, masyarakat (public) di Aceh Tengah dapat menilai tingkat profesionalisme, integritas, kapabilitas dan akuntabilitas mereka melalui sejumlah pertanyaan berikut; apakah pribadi kelima orang tersebut sudah memenuhi semangat (spirit) penyelenggaraan pemilu yang berkualitas sesuai dengan amar diktum “menimbang” kedua produk peraturan perundang-undangan diatas atau tidak?, apakah mereka sudah memenuhi persyaratan normatif calon anggota tim independen sesuai dengan Pasal 14 (3) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh atau tidak? Dan apakah rekam jejak(track record) mereka sudah mumpuni/layak untuk disebut sebagai orang-orang yang mewakili unsur akademisi, LSM, tokoh masyarakat dan keterwakilan kaum perempuan? Jika mayoritas jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah TIDAK maka patut diduga bahwa sejak awal ada upaya-upaya tertentu, terselubung dan tersembunyi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota DPRK Aceh Tengah untuk “menyetir” dan “mempengaruhi” proses rekrutmen calon anggota KIP Aceh Tengah. Bahkan ada desas-desus yang beredar di kalangan masyarakat bahwa salah satu anggota tim independen tersebut terafiliasi dengan partai politik tertentu.
Cacat Hukum Formil dan Materiil
Dalam hukum dikenal adanya 2 (dua) terminologi cacat hukum yaitucacat hukum formil/formal dancacat hukum materiil/material. Cacat hukum formil yaitu tidak sahnya suatu proses hukum yang tidak memenuhi syarat formil/formal, contohnya; tidak punya KTP yang membuktikan bahwa seseorang Warga Negara Indonesia dan tidak menyerahkan surat keterangan yang menyatakan bahwa seseorang tersebut tidak pernah menjadi anggota partai politik atau partai politik lokal. Dan cacat hukum materiil yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur materiil dalam suatu proses hukum, contohnya; seseorang yang disebut mewakili unsur akademisi ternyata baru 2 (dua) tahun menjadi dosen di sebuah perguruan Tinggi tertentu. Jika cacat hukum formil maka secara nyata dapat dilakukan upaya pembatalan secara serta merta/seketika dan jika cacat hukum materiil maka upaya pembatalannya dilakukan dengan cara menyampaikan bukti-bukti tertulis kepada otoritas yang berwenang.
Upaya Politik dan Upaya Hukum
Upaya advokasi yang dapat ditempuh terkait proses rekrutmen calon anggota KIP Aceh Tengah dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu upaya politik dan upaya hukum. Upaya politik dilakukan melalui negosiasi-negosiasi dan lobi-lobi politik secara intensif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas hasil penetapan DPRK Aceh Tengah terkait calon anggota KIP Aceh Tengah. Dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik terhadap dugaan adanya ketidakindependenan tim independen dan juga adanya dugaan keterkaitan “orang dalam” di DPRK Aceh Tengah terkait proses rekrutmen calon anggota KIP Aceh Tengah maka DPRK dapat didorong untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), tim khusus atau panitia khusus (pansus) yang bertugas memverifikasi dan menyelesaikan dugaan sejumlah kalangan tersebut. Hal ini penting dilakukan dalam rangka terjaminnya penyelenggaraan pemilu yang berkualitas di kabupaten Aceh Tengah. Hasil dari Pansus/tim khusus tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pimpinan DPRK Aceh Tengah untuk menerima/menolak hasil rekrutmen calon anggota KIP tersebut. Jika pimpinan DPRK Aceh Tengah tetap menerima hasil rekrutmen calon anggota KIP tersebut maka upaya selanjutnya yang dapat ditempuh yaitu upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Semoga kisruh rekrutmen calon anggota KIP Aceh Tengah dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana oleh DPRK Aceh Tengah dalam rangka menjaga kepercayaan rakyat di Aceh Tengah terhadap integritas, profesionalisme, kapabilitas dan akuntabilitas anggota KIP Aceh Tengah.
[1] Kandidat Doktor Hukum Universiti Utara Malaysia dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Biro Bantuan Hukum-Sentral Keadilan (YBBHSK) www.bbh-sk.org
[2] Pasal 14 (1) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh
[3] Pasal 14 (2) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh
[4] Pasal 14 (3) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh.
[5] Pasal 10 (2) Qanun No.7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh berlaku secara mutatis mutandisterhadap kompisisi tim independen di tingkat Kabupaten/Kota.