Memperkuat Dimensi Psikologis Pendidik

oleh

Oleh : Dr. Johansyah*

Di antara persoalan serius pendidikan, terutama guru adalah minimnya kreativitas metodologis ketika menghadapi berbagai persoalan dalam pembelajaran. Peserta didik ribut, semangat belajar rendah, terlalu aktif, dan berbagai persoalan lainnya sering membuat guru buyar dan bingung bagaimana harus mengatasinya. Kalau sudah buntu, ujung-ujungnya marah dan sedikit mengancam peserta didik. Minsalnya guru mengatakan; ‘ini yang tidak mau diam, akan ibu skor, tidak bisa masuk selama tiga kali pertemuan, dan wajib berdiri di luar’. Peserta didik yang dikenai punishment merasa dongkol hati, atau mungkin mengomel sendiri; ‘kejam amat ibu ini’.

Terkadang masih banyak ditemukan kenapa peserta didik satu kelas sangat takut dengan guru tertentu. Setelah ditelisik, ternyata mereka takut dengan pola punishment yang diterapkan guru. Dalam banyak kasus juga, ada peserta didik yang segan sekali terhadap guru tertentu. Alasannya, guru tersebut memiliki beragam cara untuk merayu peserta didiknya agar termotivasi untuk belajar. Dia bahkan tidak pernah marah, apalagi melontarkan kalimat kasar dan kotor kepada peserta didiknya. Satu guru ditakuti karena killernya, dan satu guru lagi disegani peserta didik karena kepiawaiannya dalam memecahkan persoalan internal dan eksternal peserta didik. Guru yang pertama menggunakan pendekatan hukuman, sedangkan guru yang kedua menggunakan pendekatan psikologis.

Di banyak lembaga pendidikan, pendekatan hukum masih lebih dominan dari pendekatan psikologis dalam upaya membentuk kepribadian peserta didik. Dunia pesanteran adalah contoh dekatnya. Di pesantren para santri harus mengacu pada tata tertib yang telah dibuat oleh pesantren. Jika dilanggar, akan diberikan sanksi. Minsalnya, beberapa santri tidak disiplin dalam berbahasa, maka mereka akan mendapatkan sanksi dari para ustadznya.

Uniknya, walau pun pendekatan hukum, jarang sekali, bahkan hampir tidak ada orangtua yang komplin dengan tindakan ustadz. Kalau di sekolah umum, tindakan seperti ini bisa jadi ‘peluang bagus’ orangtua untuk memolisikan gurunya karena ada payung hukum yang cukup kuat, yakni Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dan sebagai catatan pula, rata-rata santri jebolan pesantren berhasil, baik di perguruan tinggi, tempat kerja, maupun di masyarakat. Minimal mereka bisa menjadi perceramah dan khatib jum’at.

Dalam tinjauan pendidikan kontemporer, pendekatan yang ditekankan adalah pendekatan psikologis. Guru lebih diarahkan untuk membaca kondisi psikologis peserta didik, melihat bakatnya, bagaimana kecenderungan dan cara belajarnya, bagaimana cara efektif untuk menasihatinya, hal apa yang dibenci dan apa saja yang disenangi, bagaimana kondisi keluarga? Dan semua hal informasi terkait peserta didik digali semaksimal mungkin.

Dari upaya penyelaman terhadap kepribadian peserta didik ini, seorang guru kemudian mencari metode dan model belajar yang kira-kira dapat membangkitkan gairah belajar dan mengembangkan potensi peserta didik. Dua hal yang menjadi kunci; kesabaran dan kreativitas. Kesabaran adalah kunci utama dalam memanaj persoalan dan melacak ide serta meramu ide-ide baru untuk melahirkan model pembelajaran baru. Targetnya bukan untuk membuat takut peserta didik terhadap guru seperti pola pendidikan dalam militer, tapi lebih pada upaya penyadaran dan penumbuhan kemauan dari diri peserta didik.

Setiap anak memiliki potensi, bakat, dan persoalan masing-masing. Setiap mereka pula membutuhkan teman, pendamping, dan pembimbing yang mampu mengerti mereka, mengarahkan keinginan mereka, dan membentuk potensi mereka. Di sini kehadiran guru menjadi faktor utama dalam upaya mengolah potensi yang masih berbentuk bahan baku tersebut. Guru akan membantu peserta didik untuk mewujudkan minat dan bakat peserta didik. Guru tidak bertugas untuk mengarahkan dan mengalihkan bakat dan minat anak yang tidak sesuai keinginannya.

Bahan Diskusi Untuk FKIP atau Tarbiyah

Guru adalah produk fakultar keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) atau fakultas tarbiyah di perguruan tinggi Islam. Saya merupakan satu di antara alumni tarbiyah. Semasa kuliah, saya melihat tidak ada kajian yang intens untuk psikologi pendidikan sebagai modal utama pendidik. Seingat saya, psikologi pendidikan hanya 2, atau paling banyak 4 SKS. Itupun diampu oleh dosen yang menurut saya kurang menguasai psikologi (praktiknya). Dengan modal ilmu psikologi yang minim ini, sarjana pendidikan yang kemudian turun menjadi tenaga pendidikan tidak cukup mumpuni untuk menghadapi berbagai corak perilaku peserta didik dan persoalan pendidikan secara umum. Mereka keok dan bahkan buntu dalam mencari solusi. Puncaknya adalah marah dan jenuh.

Bagi saya, ini persoalan serius. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan; pertama, jika memungkinkan, fakultas tarbiyah harus mereformasi kurikulum dengan coba memperkuat dimensi psikologis calon tenaga pendidik. 2 atau 4 SKS psikologi pendidikan terlalu minim untuk calon pendidik. Perlu penambahan sehingga calon pendidik lebih memahami dan menguasai psikologi pendidikan. Harapannya, ketika turun menjadi pendidik yang sesungguhnya, mereka dapat lebih bijak dalam mengelola dan memutuskan masalah pendidikan, terutama terkait dengan perilaku peserta didik.

Kedua, mengarahkan para calon guru untuk lebih memahami psikologi pendidikan bukan berarti ingin mengambil atau menyerobot lahan para guru bimpen, dan mungkin psikolog. Apa pun ceritanya, guru harus menguasai psikologi dan sejatinya semua guru menjadi bimpen dan psikolog. Pendidik yang sejatinya pendidik adalah pendidik yang mampu mewujudkan kenyamanan peserta didiknya, bukan ketakutan karena pola sanksi yang diterapkan guru tersebut.

Kalau pola semacam ini mampu diformulasi dan diimplementasikan, saya kira kita tidak perlu guru bimpen secara khusus karena semua guru dapat berperan menjadi bimpen. Untuk beberapa kasus, orangtua sering membawa anaknya ke psikolog. Setelah berkomunikasi dengan psikolog, tidak sedikit dari anak yang berkeluh kesah kepada sang psikolog bahwa mereka mendapat tekanan di sekolah atau di rumah. Mereka dipaksa belajar, dimarahi, dan terkadang dihukum. Setelah sang psikolog berdisikusi dari hati ke hati, tampak keceriaan di raut muka anak ini, bebannya seolah hilang.

Kalau sang psikolog mampu membuat jiwa anak kita enjoy, maka bukankah guru sejatinya juga demikian. Guru sejatinya dirindukan peserta didiknya dan selalu ditunggu ketika waktunya tiba di sekolah, sang guru belum tiba. Guru merangkap psikolog? Wajar dan semestinya begitu. Kenapa psikolog harus dibatasi untuk menyelesaikan persoalah orang-orang yang dekpresi atau gangguan jiwa yang ditempatkan di rumah sakit, atau klinik pribadi dengan modal sendiri. Ke depat, calon guru harus mampu diarahkan untuk pendidik yang psikolog. Mari kita diskusikan!

*Johansyah, Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah. Email; johan.arka@yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.