Terkait Prosesi Munirin Reje, Ini Kata Peneliti Budaya Gayo!

oleh
Munirin Reje (Ist)

TAKENGON-LintasGAYO.co : Seorang yang getol meneliti adat dan budaya Gayo, Salman Yoga S memberikan tanggapannya terkait prosesi munirin reje yang berlangsung Senin 17 Februari 2020 kepada Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar di kawasan Kelitu, Kecamatan Bintang oleh Majelis Adat Gayo (MAG)

Kepada LintasGAYO.co, Salman mengapresiasi pelaksanaan budaya sakral bagi ulu rintah (pemimpin) di Gayo itu. “Ini budaya yang sudah lama hilang, dan kini muncul kembali ke permukaan untuk diketahui lagi oleh generasi Gayo. Patut kita apresiasi, sebagai upaya pelestarian budaya,” ungkap Salman Yoga.

Dilanjutkan salah seorang peneliti Tari Sining ini, permasalahan yang terjadi pada acara munirin reje sama halnya permasalahan HUT Kota Takengon yang kini diperingati diusianya ke-443 tahun.

“Jika kita lihat permasalahan peringatan HUT Kota Takengon dimana tahunnya mencapai 443 tahun, hal tersebut tidak diikuti dengan kajian ilmiah serta kajian historis. Nah 443 tahun, referensi mana yang menyatakan Kota Takengon berusia 4 abad lebih. Peradaban setua itu, harusnya sudah ada buku kajiannya, dan sampai saat ini tidak saya lihat wujudnya. Jadi penetapan 443 tahun itu dari mana,” kata Salman yang saat ini juga fokus meneliti Reje Linge.

Salman Yoga bersama Penari Saman Binaan Dispar Gayo Lues (Ist)

Lanjutnya lagi, begitu juga dengan Munirin Reje, harusnya diikuti oleh kekuatan sejarah dan ritualnya. “Sepengetahuan saya, Munirin Reje itu menggunakan kain putih tanpa jahitan, filosopinya yakni memandikan jenazah agar bersih. Bukan kain kerawang berwarna kuning dimana itu merupakan simbol pakaian raja,” terang Salman.

Terkait waktu, Salman mengatakan Munirin Reje dalam pengetahuannya sama dengan memandikan bayi saat turun mandi dan sama juga dengan mengijabqabulkan aman mayak (pengantin pria).

“Waktunya persis saat matahari tengah naik, yah bisa dikatakan pukul 8 sampai pukul 10 pagi gitu. Bukan pagi buta. Filosofinya agar prosesi munirin reje itu bisa menjadi pencerah bagi lingkungan dan masyarakat, matahari simbul kehidupan dan penerangan,” tegas Salman.

Ditanya referensi dari buku-buku Belanda yang menyatakan bahwa acara Munirin Reje itu biasa dilaksanakan pada malam 17 atau 27 Ramadhan, Salman mengatakan terkait tanggal tidak dikhususkan.

Dan biasanya kata Salman lagi, karena prosesi munirin reje itu sebagai bentuk pengakuan kesalahan dan pembersihan kesalahan seorang reje dalam hal ini Bupati, maka prosesinya dilakukan pada saat awal pemerintahan itu dilantik dan setiap tahunnya dilakukan prosesi Munirin Reje pada tanggal dan bulan yang sama ditahun berikutnya.

“Jadi kalau kita ambil contoh, Bupati Shabela kan dilantik bulan Desember, harusnya setahun kemudian atau Desember tahun betikutnya, baru dilaksanakan lagi prosesi Munirin Reje ini. Tidak perlu dipaksanakan pada saat HUT Kota Takengon,” tegasnya.

“Terkait dengan referensi Belanda itu identik dengan rezim. Pada saat itu, ada yang menghendaki demikian walaupun belum waktunya. Saya sudah baca bukunya, itu disamakan dengan Nuzul Qur’an, dan dibelakang itu ada prosesi khataman Qur’an. Jadi inilah awal Munirin Reje yang dikaitkan dengan agama Islam. Tapi saya lebih cenderung ke argumen saya yang pertama,” tambahnya.

“Kenapa demikian, karena disitulah sang pemimpin mempertanggungjawabkan masa kepemimpinannya dalam setahun. Dan setelah dimandikan itu ada sambutan khusus semacam laporan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya selama setahun. Artinya prosesi Munirin Reje hari ini, dilakukan di mata air mengalir itu sudah benar, mungkin dari segi pakaian dan waktu itu harus dikaji ulang, jangan terlalu dipaksakan,” demikian Salman Yoga menimpali.

[Darmawan]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.